"Ap-apa, Gi? Fans garis keras?" kata Swabitha mengulangi ucapan Giandra. Ia tidak terima lantaran laki-laki itu tidak mengakuinya bahwa dulu mereka pernah menjadi sepasang kekasih.Giandra tersenyum lebar, tidak peduli pada ekspresi kesal perempuan di hadapannya. “Faktanya kan emang gitu.”“Tapi kita ka pernah–”"Kamu sendirian?" potong Gindra memutus kata-kata perempuan itu. Sedangkan tangannya tetap melingkari bahu Celine."Iya." Swabitha menjawab lirih. Sedangkan hatinya merasa berkecamuk melihat kebersamaan Giandra dan Celine."Jonas mana?""Gian, aku kan sudah bilang kalau aku dan dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia bukan pacarku. Jadi tolong jangan tanya dia lagi." Swabitha memohon dengan muka dibuat sememelas mungkin.Giandra tersenyum sinis. "Memang bukan pacar tapi partner in bed," tudingnya.Swabitha kehabisan kata-kata. Upayanya membela diri dipatahkan Giandra dengan telak."Gini deh. Aku sama cewekku kan lagi makan. Kita lagi laper-lapernya. Jadi kehadiran kamu tuh bikin s
“Aku pikir kamu udah tamat kuliah,” ujar Celine. Saat itu mereka sedang berada di mobil dalam perjalanan menuju kampus Giandra.Laki-laki itu lalu menoleh pada perempuan di sebelahnya dan mengulas senyum kecil. “Harusnya sih udah, tapi karena sibuk ngeband jadi terbengkalai.” Ia mengemukakan alasan.”Tanggapan orang tua kamu gimana?””Mereka sih oke-oke aja.” Awalnya Alana memang keberatan jika Giandra terlalu sibuk dengan bandnya. Bagi Alana meski bagaimanapun pendidikan harus tetap menjadi nomor satu. Tapi saat itu Ale membela Giandra. Giandra diizinkan dengan bandnya dengan syarat nanti tetap menyelesaikan kuliah.“Beruntung ya punya orang tua yang pengertian,” ujar Celine lagi.Giandra tersenyum lebar. Dirinya memang seberuntung itu. Memiliki orang tua yang sayang padanya, pengertian dan bisa dijadikan teman.”Kalau kamu sendiri gimana?” Giandra balas bertanya.“Apanya?” “Orang tuamu.””Orang tuaku tinggal Mami, Papiku sudah meninggal,” jawab Celine dengan suara mengecil.”Oh, m
Siksaan buat Brienna pun berakhir ketika mobil yang dikendarai Max berhenti tepat di depan rumahnya.Dua gadis berparas manis itu pun turun setelah mengucapkan terima kasih. “Thanks ya, Max.” Yang dijawab Max dengan senyum kecil.Setelah turun dari mobil, Brienna berjalan duluan masuk ke dalam rumah, sedangkan Qey menunggu sampai mobil Max berlalu dan menghilang dari ruang matanya.Tiba di kamar, Brie langsung hempaskan tubuh di kasur. Ia merasa sangat lelah sekarang. Tadinya sih nggak berasa apa-apa karena ada Max. Akan tetapi setelah euforia itu pergi, sekarang tidak hanya tubuhnya yang remuk namun hatinya juga.Terngiang lagi di telinganya akan percakapan Max dan Qey. Dari kecil Brie tahu jika Max menyukai Qey tapi Brie membutakan diri dan tidak peduli. Ia harap seiring dengan bergulirnya waktu maka Max akan membuka hati untuknya. Nyatanya tidak. Max tetap tidak tersentuh. Brie masih seperti pungguk yang merindukan bulan. Brie juga tidak punya nyali untuk bicara langsung mengakui
Celine bersandar di balik pintu kamar. Berdiri di sana sangat lama. Perempuan itu merenung memikirkan apa yang telah dilakukannya tadi. Bagaimana bisa ia mencium pipi Giandra? Bahkan mereka baru kenal hitungan hari. Apa dirinya benar-benar sudah tersihir oleh pesona laki-laki itu?Celine tidak mengerti pada apa yang dilakukannya tadi. Seakan semua terjadi di luar kendalinya dan berada di alam bawah sadarnya. Apa Giandra tadi membiusnya dan membuat Celine blank hingga tidak sadar apa-apa?Bahkan selama berhubungan dengan David ia tidak berani mencium laki-laki itu. Tapi ia melakukannya pada Giandra, cowok slengean yang sangat jauh dari tipenya. Lebih parah lagi Celine mengenal laki-laki muda itu baru dalam hitungan hari.Suara petir yang menggelegar mengagetkan Celine, yang memaksanya untuk beranjak dari belakang pintu. Celine tidak tahu entah sudah berapa lama dirinya berada di sana. Yang ia tahu saat ini di pikirannya hanya ada Giandra.Celine merebahkan diri di kasur sembari memeluk
Giandra terkejut ketika Celine memeluknya dengan tiba-tiba. Pelukan yang sangat erat dan begitu rapat. Meski awalnya ragu namun kemudian Giandra membalas pelukan Celine dan mengusap-usap punggung perempuan itu."Lin, udah, kamu nggak usah takut. Kamu udah aman sekarang. Ada aku di sini." Giandra berbisik lembut menenangkan perempuan itu.Bukannya melepaskan, Celine justru tenggelam semakin dalam di dada Giandra. Tadi saat berada di dalam toilet dan berniat akan keluar setelah selesai buang air pintunya mendadak tidak bisa dibuka yang membuat Celine panik setengah mati. Lebih-lebih Celine sangat phobia pada ruangan sempit. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berteriak minta tolong. Tapi tidak ada yang mendengarnya karena tempat itu sedang sepi. Merasa putus asa, Celine tak kuasa membendung air mata dan berujung dengan tangis. Syukurlah akhirnya Tuhan mendengar doanya dengan mengutus malaikat penyelamat yang bernama Giandra. Celine berterima kasih banyak pada laki-laki itu. Jik
Brienna tertegun mendengar perkataan Giandra. Saat itu juga dirinya tahu bahwa Giandra sedang membohonginya. Tapi Brienna tidak tahu apa tujuan lelaki itu membohonginya. Tentu saja Brienna kaget. Akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu dan menyunggingkan senyumnya.Akhirnya mereka pun tiba di rumah Rain. Sebelum turun Brienna menawarkan pada Giandra untuk mampir.“Mampir dulu yuk, Gi?””Kapan-kapan aja ya, Brie, kebetulan aku ada janji sama Papa.” Giandra menolak halus tawaran tersebut. Ia meninggalkan senyum manis sebelum pergi dari sana.Brie kemudian masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Di ruang tamu Rain sedang berbicara dengan Bobby. Saat ini sehari-hari rutinitas Rain adalah menjadi pelatih para pembalap muda. Ia juga mendirikan sekolah balap bagi para pemula. Di samping itu, Rain juga memiliki showroom mobil yang menjual mobil sport.Brie baru beberapa menit rebahan di kasur ketika Rain masuk ke kamarnya.”Lagi tidur, Brie?” tanya laki-laki itu pada anaknya.“Nggak, Pa,