Konferensi pers tersebut diakhiri dengan sesi foto-foto. Bagi Rain bukan lagi hal yang luar bisa. Berbeda dengan Lady. Baginya ini adalah pengalaman pertama. Ia merasa canggung dan risi saat kilatan lampu kamera menerpa wajahnya tanpa henti sedari tadi.“Senyum yang lebar.” Rain berbisik karena awalnya Lady berekspresi datar.Perempuan itu cepat-cepat mengganti rona muka dan memamerkan senyum paling manis.Di saat itu Lady langsung teringat kedua orang tuanya yang sudah berpulang. Jika masih hidup keduanya pasti bangga mengetahui anaknya bersuamikan publik figur sebagaimana yang dikatakan beberapa orang temannya.‘Kamu beruntung banget, Dy, bisa nikah sama Rain. Di saat cewek-cewek mimpiin dia, Rain malah milih kamu.”Lady hanya tersenyum hampa. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana perasaannya dan apa yang sebenarnya terjadi.Berakhirnya acara itu membuat Lady menghela napas lega. Bersyukur akhirnya terbebas dari situasi yang tidak disukainya.”Kamu cantik malam ini, Juliet sa
Rain masih menenggelamkan muka di ceruk leher Lady. Sementara tangannya tidak bergeser sesenti pun dari tubuh perempuan itu, berjam-jam lamanya. Seakan tubuh Lady adalah tempat ternyaman baginya.Lady menepis tangan Rain pelan-pelan. Ia juga menggeser kepala laki-laki itu agar menjauh darinya. Semalaman Rain tidur sambil mendekap Lady. Posisi tubuhnya tidak berubah hingga pagi.Memiringkan kepalanya, Lady menatap Rain yang masih tidur dengan pulas. Rain sama sekali tidak terusik saat tadi Lady menggeser tubuhnya.Saat nyawanya mulai terkumpul bersama dengan ingatannya, Lady merenung. Memikirkan semua perkataan Rain kemarin malam. Sikap dan kata-kata laki-laki itu begitu manis. Tapi sayangnya karena Rain sudah terlalu sering mempermainkannya membuat Lady sudah tidak bisa lagi membedakan kapan Rain serius dan kapan bergurau dengannya. Jadi ia anggap saja kalau kemarin Rain hanya sedang mempermainkannya.Lady memandang Rain lebih lekat. Setiap detail dari bagian wajah laki-laki itu ia re
Lady duduk di sebelah Ale memerhatikan Rain yang sedang unjuk kemampuan. Tanpa ia sadari, Lady mengagumi Rain di dalam hati. Rain tidak hanya keren dalam kostum balapnya. Lelaki itu juga piawai saat mengedari lintasan di sirkuit.”Rain keren ya?”Lady menoleh ke sebelah, mendapati Ale yang sedang berbicara padanya.“Iya.” Mau tidak mau Lady harus mengakui. Meski selalu berbenturan dengan laki-laki itu, namun Lady masih bisa memisahkan antara urusan hati dan lainnya.“Dari kecil Rain sudah bercita-cita jadi pembalap.” Ale menyambung kalimat dan mulai bercerita tanpa diminta. “Dulu Tante Kanayya nggak setuju dan mati-matian menolak karena trauma. Tapi akhirnya Rain membuktikan kalau nggak main-main.”Lady manggut-manggut.“Bulan depan Rain bakal ikut F3, dan dia satu-satunya dari Indonesia.”“Hebat,” cetus Lady tanpa sadar.Ale tersenyum mendengarnya. “Suami kamu.”“Eh, iya.” Lady jadi salah tingkah. Setiap kali mendengar kata ‘suami kamu’ mengingatkannya bahwa Rain adalah miliknya, pun
Ale berjalan mondar-mandir sendiri. Sudah sejak tadi hatinya gelisah. Berjam-jam berlalu sejak Rain ditangani, tapi hingga saat ini belum ada kabar apa pun.Tadi, Ale menyusul Rain serta Lady ke toilet. Ia menemukan Rain dan Lady dalam keadaan memprihatinkan. Sementara Sydney berada di sana dengan ekspresi ketakutan.Ale yang lalu mengerti apa yang telah terjadi segera bertindak dengan cepat. Ia membawa Rain dan Lady ke rumah sakit, sedangkan Sydney langsung diamankan petugas keamanan.Lelaki itu kemudian melihat jam tangannya yang entah keberapa kali ia lakukan sejak tadi. Masih belum ada tanda-tanda seseorang dari dalam sana akan keluar dan memberi kabar. Tidak hanya Rain, Lady juga dirawat karena kondisi tubuhnya yang lemah akibat penganiayaan yang dilakukan Sydney. Ale tidak menyangka sama sekali jika Sydney akan senekat itu.Pintu ruangan lalu terbuka, Kanayya muncul dari dalamnya. Raut penuh khawatir tergambar dengan jelas di parasnya. Ale segera menghampiri dan mengejar dengan
Sudah belasan jam berlalu, namun Rain masih belum juga sadarkan diri. Kondisinya yang memprihatinkan membuat semua orang terdekatnya khawatir.“Kak Ayya, gimana kondisi Rain?” tanya Alana yang baru saja tiba di rumah sakit.”Rain masih belum sadar, Na,” sahut Kanayya tidak bersemangat.”Sabar ya, Kak. Rain pasti bangun. Aku yakin itu.” Alana mengusap pelan pundak Kanayya.Kanayya menjatuhkan kepalanya di sandaran kursi. Sejak Rain dibawa ke rumah sakit, ia nyaris tidak beristirahat. Selera makannya juga menguap hingga membuat badannya lemah. Kanayya takut jika kemungkinan paling buruk itu betul-betul terjadi. Kanayya tidak akan sanggup jika Rain benar-benar pergi dan tidak akan bangun lagi.“Darahnya gimana, Kak? Udah ada?”Gelengan lemah kepala Kanayya dilihat Alana.”Jadi gimana dong? Kalau bener-bener nggak dapet, gimana Rain?” Alana memburu.Kanayya mengusap muka. Ia semakin panik memikirkannya.“Kenapa sih Rain darahnya beda sama kita semua?” keluh Alana. “Kenapa aku, Kak Ayya sa
Setelah mengantar Lady ke ruangan Rain, Kanayya dan suster keluar, meninggalkan mereka hanya berdua.Dari tempatnya duduk Lady memerhatikan Rain tanpa melewatkan seinci pun bagian dari diri laki-laki itu. Rain tampak tenang dalam lelap, namun entah apa yang terjadi di dalam dirinya. Mungkin saat ini Rain sedang berjuang melawan maut dan mati-matian mencoba untuk bangun.Lady memberanikan diri menyentuh tangan Rain. Ia melakukannya dengan hati-hati. Tangan suaminya itu terasa dingin saat kulit mereka saling bersentuhan. “Rain, ini aku, Lady.” Ia berujar pelan.Tidak ada respon apa-apa. Rain tetap di posisi semula. Ya, tentu saja. Rain kan tidak sadarkan diri.”Kapan kamu bangun? Kasihan Bunda. Bunda nggak berhenti nangis mikirin kamu. Aku juga cemas ngeliat keadaan kamu kayak gini. Nggak cuma aku dan Bunda, tapi Alana dan Ale juga. Kami semua sayang sama kamu, Rain…”Ucapan Lady terhenti ketika teringat sesuatu. Ia merasa ada yang salah dengan kalimatnya. Sayang? Benarkah ia sayang p
Kanayya meremas ujung bajunya sambil mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Ia menyadari sepenuhnya bahwa tidak mungkin menyembunyikan fakta sesungguhnya dari Rain. Cepat atau lambat Rain harus tahu.Rain merasa aneh melihat muka-muka tegang di hadapannya. Bergantian dipandanginya Lady dan Kanayya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ada apa? Apa ada hal besar yang dirahasiakan darinya?“Ini Bunda sama Lalad kenapa sih diem-dieman kayak gini? Apa ada yang disembunyiin dari aku?” Rain bertanya curiga.Lady dan Kanayya masih membisu ketika Rain menggeser posisinya dan mencoba untuk duduk. Rain merasa ada yang berbeda dengan tangannya yang membuatnya menolehkan mata ke arah itu.Tangannya terasa kaku begitu Rain coba untuk menggerakkannya. Ringisan muncul di wajahnya ketika merasakan perih. Tangannya sakit.“Nda, tangan aku kenapa? Berasa kaku banget dan susah digerakin.” Rain mengadu pada Kanayya.“Iya, Rain, memang begitu. Itu akibat luka tusuk kemarin,” jawab Kanayya pelan.“Ahh, tapi ini s
Rain masuk ke kamar setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Kanayya padanya. Lady langsung waspada kalau saja Rain akan meledakkan kemarahan.”Lo kenapa? Takut sama gue?” ujar Rain melihat Lady duduk dengan tangan mencengkram permukaan kasur.Lady menggelengkan kepala. Ia tidak bohong. Bukan Rain yang membuatnya ketakutan, tapi kemarahan laki-laki itu.Rain mendekat pelan-pelan. Ia ikut duduk di sebelah Lady. Sesaat diembuskannya napas sembari mencari kata yang tepat untuk membuka obrolan.“Lad…”“Ya?”“Tadi Bunda cerita semuanya sama gue. Jadi gue baru tahu sekarang. Apa bener lo yang donorin darah buat gue?”“Kalau Bunda bilang begitu apa mungkin Bunda bohong?” Lady menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”Lo jangan berbelit-belit. Gue mau denger dari mulut lo langsung. Lo tinggal jawab iya apa nggak.”“Sepenting apa memangnya jawaban aku buat kamu? Sebesar apa pengaruhnya?””Bawel banget ya lo? Tinggal jawab doang apa salahnya malah pake muter-muter dulu.” Rain geram sendiri m
Rumah besar itu semakin sepi karena semua penghuninya sibuk di kamar masing-masing.Kanayya tidak habis pikir pada ide gila yang disampaikan Jacob tadi siang. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkannya. Kanayya tidak bisa membayangkan apa tanggapan Jasmine jika mengetahui ide tidak waras suaminya.Kanayya menjangkau ponselnya ketika dentingan notifikasi terdengar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Kanayya membacanya pelan-pelan.“Gimana, dokter Kanayya? Apa tawaran saya tadi siang sudah dipikirkan?”-JacobOh, ternyata dia. Kanayya tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan nomor ponselnya. Tapi tentu saja bukan hal yang sulit bagi orang semacam Jacob untuk mencari tahu nomor selulernya. Pria itu punya kaki tangan di mana-mana.“Maaf, Pak Jacob, saya tidak bisa.” Kanayya menolak tegas keinginan laki-laki itu.“Anda yakin? Apa Anda sudah pikirkan baik-baik? Saya tahu anda sangat menyayangi Rain dan menantu anda. Tentu anda tidak akan membuat mereka menderita kan?”“Iya,
Jacob tidak serta merta menjawab permintaan Rain. Pria itu tampak berpikir untuk sesaat. Menimbang-nimbang apa yang diinginkan oleh Rain. Bagaimana baik dan buruknya maupun dampak serta resikonya."Papi, aku pikir nggak ada salahnya Papi kasih Rain kesempatan. Masalahnya ini bukanlah segampang yang kita pikir." Zee yang sejak tadi diam saja membaca situasi kini menyampaikan pendapatnya."Mami nggak setuju, jangan terlalu mudah percaya, Pi, Mami khawatir dia akan kabur. Sedikit pun jangan kasih dia kesempatan untuk lolos, jangan kasih dia celah, kasihan anak kita, nanti Sydney yang akan jadi korbannya." Jasmine bersikeras mempertahankan pendapatnya dan terus memengaruhi suaminya."Rain orangnya nggak kayak gitu, Mi, Pi. Dia nggak akan kabur atau lari. Aku udah lama kenal Rain," ujar Zee lagi."Kenal bukan berarti kamu tahu semua tentang dia, Zee!" Jasmine menyergah dengan keras putri bungsunya."Bener, Mi, tapi Rain–""Sudah! Sudah! Mami nggak minta pendapat kamu. Mending kamu diam aja
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau
Keluarga Rain dan keluarga Sydney sudah tiba di rumah sakit sejak lima belas menit yang lalu. Mereka diminta menunggu untuk beberapa saat. Rain dan Lady duduk berdampingan dengan tangan saling menggenggam seakan sedang berbagi kekuatan satu sama lain. Alana yang semula ragu akhirnya memutuskan untuk ikut ke rumah sakit. Sedangkan keluarga Sydney menunggu di sudut lain.Sydney tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Rain. Tatapannya begitu mendamba. Meski Rain tidak sedetik pun ingin menoleh padanya tapi perempuan itu tak peduli. Rain boleh saja bersikap seperti itu sekarang. Rain boleh benci padanya. Yang diyakini perempuan itu Rain pasti akan kembali ke pelukannya cepat atau pun lambat. Ya.Kanayya menghilang dari sisi mereka untuk mengurus segala sesuatunya. Sedangkan Rain sudah semakin tidak sabar. Satu-satunya yang terlihat paling rileks di antara mereka adalah Sydney. Sekarang sang selebgram begitu asyik memeriksa notifikasi sosial media miliknya dan membalas satu demi satu
Setelah menanti beberapa hari yang benar-benar menguji kesabaran dan ketahanan jantung, maka saat itu pun tiba. Saat di mana mereka akan mengetahui hasil tes DNA yang dilakukan tempo hari. Semua diliputi perasaan harap-harap cemas dan mengencangkan doa di hati masing-masing. Semoga hasil tes DNA yang mereka terima nanti adalah hasil yang paling jujur. Hanya dalam hitungan jam maka mereka semua akan mengetahui bagaimana hasilnya. Tiga hari ini adalah hari terpanjang yang pernah mereka lalui. Selama tiga malam ini pula mereka kesulitan untuk memejamkan mata.”Nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia bukan anak aku!” Rain berteriak sekuat yang ia bisa. Ia memandang ketakutan pada Sydney yang berdiri di hadapannya sambil menggendong seorang bayi dan tak henti menyodorkan pada Rain. Perempuan itu menyeringai lebar dan tampak mengerikan.”Rain, ini anak kamu, gendong dia, Rain, ini darah daging kamu.”“Bukan! Dia bukan anakku! Pergi kalian!” Rain kembali berteriak ketakutan. Ia berlari sekencang
Lady tiba di rumah tepat lima menit sebelum pukul tujuh malam. Lady langsung masuk ke kamar. Ia disambut oleh dekapan hangat Rain yang terasa begitu lekat di badannya.“Kenapa baru pulang jam segini, Lad? Aku chat kamu tapi pending, aku telfon tapi nggak aktif.””Hp aku mati, tadi low bat.”“Kan udah aku kasih tau bawa power bank ke mana pun kamu pergi. Kalau perlu dikantongin.””Sorry, Rain, aku lupa.”Embusan napas Rain menerpa pipi Lady. Sementara dekapannya melingkar semakin erat. Rain memang paling suka memeluk Lady dari belakang dan menopangkan dagu di pundak perempuan itu.”Hmm… lain kali jangan sampai lupa lagi ya. Aku kan susah mau ngehubungin kamu.”“Ya,” jawab Lady datar.Mengetahui Lady yang berbeda dari biasanya, Rain membalikkan badan perempuan itu agar mengarah padanya. Rain menemukan muka Lady yang lesu. Rain tahu pasti penyebabnya adalah karena memikirkan masalah Sydney.Rain menggandeng Lady, menuntunnya menuju kaca besar setinggi orang dewasa di kamar mereka. Ia kem
Segaris senyum manis dari pria bermata teduh langsung menyambut ketika Lady baru saja menapaki anak tangga terakhir yang menghubungkan ke lantai dua. Lady membalas senyuman itu dan berjalan mendekat.“Sudah lama?” tanya Lady sembari duduk di kursi seberang Ale, lantas melirik cangkir kopi di atas meja yang tampaknya belum tersentuh.“Baru sepuluh menitan.” Ale menjawab sambil melirik arloji.Ada jeda yang mengisi setelah obrolan pembuka itu. Ale berdeham, memandang Lady lebih dekat dan lekat. Mencoba membaca perasaan perempuan itu melalui ekspresi wajahnya.Nyatanya raut Lady yang datar tidak memberi informasi apa-apa. Apa Lady memang setegar itu atau ia terlalu pandai menyembunyikan perasaannya?Batuk kecil Ale mengantar pada kalimat berikutnya. “Aku lagi ada janji sama kakakku, mungkin sebentar lagi dia datang.”“Dia mau ke sini?””Iya. Nanti dia juga bakal ngomong sama kamu.””Soal apa?” Lady penasaran sekaligus terkejut mengetahuinya.”Kebetulan kakakku mau ada acara, jadi aku re
Tidak tahu berapa lama Rain berada di kamar Kanayya. Tadi setelah bertangisan, meminta maaf, dan berbicara dari hati ke hati Rain berbaring di samping Kanayya sambil memeluknya hingga keduanya sama-sama tertidur. Saat Rain terbangun, Kanayya masih tidur. Tapi Rain tidak yakin jika Kanayya benar-benar pulas. Sesekali bundanya itu tersentak dan bergerak-gerak seperti sedang mengalami mimpi buruk. Rain harap semoga saja kejadian pahit ini tidak terbawa ke dalam mimpinya.“Maafin aku, Bunda,” pinta Rain sekali lagi sambil mengecup dahi Kanayya. Setelahnya ia keluar dari sana.Rain berpapasan dengan Lady di depan pintu kamar mereka. Istrinya itu sudah rapi. Sebelah tangannya menjinjing kantong besar berisi oleh-oleh yang dibelinya untuk anak toko Cake Palace.“Lad, tadi aku ketiduran di kamar Bunda. Kamu mau ke mana?” tanya Rain.“Mau ke toko.” Lady yakin dengan beraktivitas di luaran pikiran dan perasaannya akan jauh lebih baik.“Pake mobil kamu?”Lady gelengkan kepala. Setelah Ale resig
Keluarga Sydney sudah pergi meninggalkan rumah Kanayya sejak lima menit yang lalu. Setelahnya Kanayya langsung masuk ke kamar. Meninggalkan Rain dan Lady berdua di ruang tamu.Lady ikut angkat kaki dari sana, masuk ke dalam kamarnya seperti Kanayya. Pengakuan Sydney dan keluarganya tadi membuat otaknya kosong. Lady tidak dapat berpikir apa-apa.Rain yang baru saja menyadari jika Lady sudah beranjak dari sisinya menyusul ke kamar. Ia dapati istrinya itu sedang duduk sendiri di tepi jendela sambil melamun.Rain berjalan mendekat, menghampiri Lady. Ia ikut duduk di sebelah perempuan itu. Mereka sama-sama terdiam untuk menit yang lama. Rain tidak tahu harus mulai dari mana. Hingga detik ini ia masih mencoba meredakan kecamuk di dadanya.Dalam diam Rain meraih tangan Lady, menguncinya dalam genggaman. Tidak ada penolakan apa-apa dari perempuan itu. Semenit, dua menit, tiga menit, keduanya masih sama-sama diam. Hingga menit kelima Rain tidak tahan untuk tetap bungkam.“Lad, kamu marah?”Lad