Ehmm… Ehmm…Ale berdeham menjernihkan tenggorokannya yang keruh. Bersamaan dengan itu ia membuka matanya. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui sela-sela tirai jatuh menerpa wajahnya dan membuatnya tidak nyaman.Ale bergerak memutar badan membelakangi sumber cahaya. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sedang tidur di sebelahnya. Mata redup lelaki itu sontak melebar. Kaget tentu saja. Ale tidak tahu siapa perempuan itu karena mukanya tertutup helaian rambutnya yang panjang.”Zee?” Ale tidak tahu bagaimana perempuan itu bisa ada di sebelahnya. Lelaki itu lantas berusaha keras untuk berpikir dan mereka ulang adegan demi adegan yang terjadi kemarin malam. Tapi sulit.Astaga!Ale terkesiap begitu menyingkap selimut dan mendapati tubuhnya tanpa busana.Apa ia telah meniduri Zee?Ale mengusap muka. Napasnya sesak seketika, tidak menduga bahwa dirinya berani melakukan hal tersebut.Tadi malam ia mabuk, meminta Zee mengantarnya pulang, lalu mereka masuk ke mobil. Zee menyetir hing
Paradiso. Sebuah nama night club atau klub malam atau kelab malam ternama, malam itu menunjukkan geliatnya seperti malam-malam sebelumnya. Hanya saja ada satu hal yang berbeda. Tempat itu saat ini tidak dibuka untuk umum. Zee menyewanya untuk merayakan momen pergantian usia.Tempat itu dibuat seprivat mungkin. Hanya bagi para tamu yang memiliki undangan yang diizinkan masuk merayakan pesta ulang tahun Zee.Zee yang berbahagia malam itu tampak cantik bagai ratu. Off shoulder dress merah menyala yang melekat sangat pas di tubuhnya, bukan hanya mengekspos pundak serta leher dengan teramat jelas. Namun juga memikat berpasang-pasang mata agar menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat atensi.Pesta ulang tahun itu dihadiri oleh teman-teman dekat Zee. Andai saja tidak sedang hamil tadinya Sydney juga ingin ikut. Zee juga mengundang Rain dan Lady, tapi keduanya tidak datang. Dan hingga saat ini Zee belum melihat kehadiran Alana di tengah-tengah pesta. Meskipun sudah resmi berpacaran, tap
Alana hampir saja berdiri untuk melepas kepergian Zee ketika sahabatnya itu mencegahnya. "Istirahat aja, Na, nggak usah dianter. Besok kalau masih nggak enak badan nggak usah ngantor dulu.""Iya, hati-hati ya, Zee, nyetirnya pelan-pelan."Tangan Zee sudah berada di gagang pintu ketika matanya menangkap buket bunga yang berada di nakas. Sudah sejak tadi benda itu berada di sana tapi baru sekarang terlihat olehnya. Mungkin karena tadi dirinya terlalu larut oleh kebahagiaan tentang hubungannya bersama Ale. "Na, itu bunga dari siapa?""Dokter Romy," jawab Alana singkat. Ia harap Zee tidak banyak bertanya dan mengabaikannya.Nyatanya harapan Alana tak terkabul karena detik selanjutnya Zee berjalan mendekat menghampiri nakas. Zee mengangkat buket mawar itu dan membaca untaian kalimat yang tertera di kartu"Ih, romantisnya! Dokter Romy siapa sih, Na? Aku belum pernah denger. Kamu belum cerita ke aku kan?""Belum. Dia temenku, konsumen kita juga. Orang tuanya yang punya Healthy Hospital. Ak
Alana mengembalikan gawai ke nakas. Berniat menyambung lagi waktu istirahatnya. Hari ini Alana akan tidur sepuasnya. Berharap semua lukanya akan tertinggal di dalam mimpi. Jadi saat bangun nanti pikirannya jauh lebih ringan dan tidak ada lagi yang membebani.Niatnya untuk tidur sampai besok pagi harus tertunda. Alana terbangun tepat jam sembilan malam.’Ternyata belum pagi,’ gumamnya setelah melihat jam dinding.Alana menggeliatkan badan. Tepat di saat itu matanya bertemu dengan nakas. Ada buket mawar merah di sana, di dekat ia meletakkan handphonenya.Mata Alana yang redup melebar seketika. Ia sontak terduduk dan memusatkan perhatian pada buket mawar tersebut. Alana meraihnya, membaca baik-baik deretan kata-kata yang tertera di sana.-Semoga cepat sehat, Lana. Semesta merindukan cahayamu. Malam ini langit gelap tanpamu. Karena kamu adalah rembulan.--Romy FortifAstaga, ternyata dari laki-laki itu. Tanpa Alana inginkan senyum terbit dari bibirnya saat mengulang kembali membaca tulisa
Lady memutar gagang pintu dengan perlahan, dan ternyata tidak dikunci. “Na, boleh aku masuk?” tanya Lady di sisi pintu, meminta izin. Ia tidak ingin Alana menganggapnya lancang. “Tadi nggak sengaja aku putar gagangnya, ternyata nggak dikunci,” sambungnya lagi.”Ya, masuk aja.”Lady menarik langkah menghampiri Alana yang meringkuk di ranjang dan duduk di sana.”Kamu masih sakit?””Masih. Suruh dia pulang aja, Dy, aku lagi nggak mau ketemu siapa-siapa.”“Tapi aku ngerasa nggak enak, takut dibilang nggak sopan.” Lady yang polos selalu menjunjung tinggi yang namanya tata krama.“Emang kamu nggak bilang aku lagi sakit?”“Udah, tapi dia ngotot pengen ketemu.”“Coba deh bilang sekali lagi.”Lady langsung keluar dari kamar Alana, menemui Romy yang masih menanti di ruang tamu. Pria itu sontak menegakkan duduk saat melihat Lady muncul, penasaran karena tidak ada Alana.“Romy, maaf, tapi Alana sedang sakit, dia nggak bisa bangun.””Gitu ya?” Alana salah jika mengira Romy akan menyerah. Percuma
Jam dinding di ruangan itu berada di angka sepuluh dan tiga. Pukul sepuluh malam lewat lima belas menit. Hingga sejauh ini Alana masih belum kembali, membuat seisi rumah jadi khawatir.“Kira-kira dia ke mana ya, Rain?” tanya Kanayya setelah lelah mondar-mandir sejak tadi.“Aku juga nggak tahu, Bunda, kan aku di rumah seharian.”“Bunda udah telfon dia?” tanya Lady yang juga ada di sana.“Udah dari tadi tapi nomernya nggak aktif,” jawab Kanayya. “Apa dia sibuk ngurus kepindahan ke Amsterdam ya?” ”Pindah ke Amsterdam?” Rain memang belum tahu akan hal tersebut. Satu-satunya di rumah itu yang sudah tahu mengenai rencana Alana adalah Kanayya.”Iya. Tantemu katanya mau resign terus katanya pindah ke Amsterdam."“Kok tiba-tiba?” Lady yang bertanya.“Bunda juga heran tapi Alana bilang bukan tiba-tiba. Udah dipikirin dari lama tapi waktu yang tepat baru sekarang,” jawab Kanayya menyampaikan sesuai yang dikatakan Alana padanya.“Aku kok kurang yakin ya?” Rain meragukan mengingat selama ini tant
"Kenapa, Na? Ada yang mau diomongin?" tanya Ale saat melihat bibir Alana yang bergerak-gerak halus.Seketika Alana menjadi grogi dan ragu tentang niatnya tadi. Apa nanti Ale tidak menganggapnya rendah? Apa tidak akan mempermalukan dirinya sendiri? Tapi kalau bukan sekarang kapan lagi? Mumpung mereka semobil. Karena belum tentu ada kesempatan lain besok dan besoknya lagi."Ale...," panggil Alana lirih."Ya, Na?" Ale yang tadinya sudah kembali memandang lurus ke depan terpaksa harus mengembalikan mata pada perempuan itu."Rencananya aku mau resign.""Kenapa? Udah dapat pekerjaan yang jauh lebih baik?" kata Ale menanggapi. Suara laki-laki itu terdengar datar. Tidak merasa kaget atau antusias."Bukan, aku mau pindah ke Amsterdam. Tinggal di sana sama Mama dan Papa.”Alana salah jika ia mengira Ale akan menahan ataupun melarangnya. Karena setelahnya komentar laki-laki itu membuat Alana menjadi semakin menyadari bahwa ia memang tidak ada artinya."Bagus, Na, aku setuju. Daripada di sini men
Romy yang sudah selesai menelepon kemudian masuk ke dalam rumah.”Lana, saya harus pergi sekarang, kebetulan ada urusan mendadak.” “Nggak minum dulu?” Alana mengarah pada minuman yang sudah terhidang di atas meja.Romy tersenyum, duduk sesaat dan meneguk pelan teh hangat untuknya. Ia juga menyicip seiris brownies untuk mengahargai tuan rumah. Kalau saja tidak ada panggilan mendadak ia masih ingin berlama-lama di sana. Lebih tepatnya mengisi waktu bersama Alana.”Mau ke mana buru-buru?” tanya Ale begitu Romy baru saja meletakkan cangkir tehnya.“Ada meeting dadakan. Biasalah, bokap dari dulu emang impulsif. Gue pergi ya guys.” Romy berpamitan sembari menatap Rain dan Ale bergantian. Ia kemudian menatap pada Alana. “Lana, nggak apa-apa kan kalau nanti kamu balik ke kantor sendiri? Sorry banget saya nggak bisa nganterin kamu.”“Nggak apa-apa, nanti saya bisa naik taksi,” jawab Alana.“Tenang aja, Rom, biar Ale yang nganter Tante,” celetuk Rain menimpali yang langsung mendapat belalakan
Lebih kurang dua puluh menit lamanya waktu yang dihabiskan Alana bersama Romy mengitari rumah yang rencananya akan dibeli Romy. Lelaki itu tampak puas dan tidak lagi sebawel tadi. Selama Alana menerangkan Romy diam mendengarkan bagai seorang siswa sedang mendengarkan gurunya. Sedangkan mata laki-laki itu begitu lekat di wajah Alana.”Fix, saya ambil rumah yang ini.” Pria itu menegaskan setelah Alana selesai dengan uraiannya.“Okay, setelah ini saya akan atur untuk proses pembeliannya.”“Tapi masih dengan kamu kan?” kejar lelaki itu cepat.“Bukan, itu bukan bagian saya.”“Tapi nanti dampingi saya ya?” Romy memelas penuh harap. Memasang tatapan ala puppy eyes yang mungkin akan membuat siapa saja jadi luluh.”Kalau tanpa saya gimana?””Saya nggak enak kalau sendiri. Lagian dari awal kamu yang handle saya. Mestinya sampai akhir juga sama kamu.”Ada-ada saja alasan laki-laki itu. Agaknya dia sudah terlatih menggunakan seribu satu cara agar orang-orang mau mengikuti keinginannya.“Ya sudah