Lady sontak mengangkat kepala dari atas dada Rain. Sulit untuk memercayai apa yang baru saja ia dengar dari mulut laki-laki itu.“Gimana, Rain? Bisa ulangi lagi?”“Lo nyebelin ya, Lad.”Lady mungkin tidak akan tahu betapa susah Rain untuk mengucapkannya, malah minta diulangi.“Kok nyebelin sih? Aku kan cuma nanya tadi tuh kamu lagi ngomong apa?””Masa lo nggak denger.”“Iya, emang aku nggak denger. Suara kamu terlalu pelan.” Lady berbohong pada bagian ini. Tadi ia mendengar dengan jelas apa yang disampaikan laki-laki itu. Hanya saja Lady ingin mendengarnya sekali lagi.Rain mengesah lelah, mengembuskan napasnya yang berat. ”Gue mau minta maaf atas sikap gue selama ini. Gue banyak salah sama lo.”Hufffttt… Lega sekali mendengarnya.”Itu kamu ngomongnya sungguh-sungguh atau disuruh Bunda?” tatap Lady curiga. Ia masih sulit mempercayai jika Rain yang gengsian, yang egonya tinggi akan meminta maaf padanya apalagi secara tiba-tiba begini.“Emang muka gue nggak kelihatan serius?”Lady menat
Eh, apa? Morning, Love?Lady balas memandang Rain dan membaca setiap detail ekspresi yang terlukis di wajah laki-laki itu.Rain terlihat lembut. Tidak ada kebengisan di wajahnya. Tidak ada amarah di sana. Caranya menatap tidak berubah dan masih serupa dengan saat mereka bercinta kemarin malam. Meskipun merasa lega mengetahuinya namun Lady tetap waswas kalau saja setan dalam diri Rain bangkit lagi.“Kamu udah bangun?” tanya Lady hati-hati pada Rain yang menahan tangannya.”Menurut lo gimana? Kalo gue udah buka mata begini artinya apa?”Senyum mengembang di bibir Lady begitu menyadari pertanyaan bodoh yang baru saja terlontar dari mulutnya.“Aku keluar dulu ya, mau nyiapin sarapan.”“Kan udah gue bilang lo bukan pembantu di rumah ini. Kenapa sih lo doyan banget memosisikan diri kayak gitu?”“Bukannya gitu, tapi kalau bukan aku siapa lagi? Nggak mungkin Bunda atau Tante kamu. Aku juga harus tahu diri.”Rain mengesah menyadari perkataan Lady yang mungkin ada benarnya juga. “Ya udah. Nanti
“Love, tolong tambah airnya dong.” Rain menunjuk gelasnya yang hampir kosong. Saat itu mereka sedang sarapan bersama di ruang makan. Tidak hanya berdua. Ada Kanayya dan Alana juga.“Love?” ulang Kanayya terkejut. Pun dengan Alana. Kedua saudara kandung itu saling berpandangan dengan pikiran tersimpan di kepala masing-masing.Sedangkan Lady merona malu ketika Kanayya dan Alana gantian memandang padanya. Tidak tahu harus menyembunyikan mukanya ke mana. Yang dilakukannya adalah segera mengisi gelas Rain dengan air.”Iya, Nda, ada yang salah?” Rain menanggapi dengan ringan.“Nggak ada yang salah, udah bener kok.” Kanayya tersenyum hangat. Ada rasa bahagia mengalirinya. Meski di satu sisi masih ada perasaan sedih yang melingkupinya akibat musibah yang menimpa Rain, setidaknya begitu banyak hikmah dari kejadian itu. Salah satunya adalah membaiknya hubungan Rain dengan Lady.”Cieee… yang love-love-an.” Alana menimpali menggoda Rain. “Kalau udah sayang-sayangan kayak gini harusnya jangan pake
Rain duduk dengan gelisah di sebelah Ale yang sedang menyetir. Sesekali memajukan badan dan menyandarkan kembali beberapa saat kemudian seakan jok yang didudukinya mengandung ranjau.”Lo kenapa sih sebenernya? Gue nggak yakin lo minta dia pulang cuma karena minta ditemenin makan.””Masalahnya dia udah janji mau pulang jam dua belas tiga puluh, tapi sekarang coba lo lihat udah jam berapa?” Rain berargumen.“Tapi biasanya lo nggak peduli. Sekarang kenapa lo kayak yang care banget?”“Itu dulu, ya beda sama sekarang.”“Emang sekarang gimana?” pancing Ale ingin tahu.“Gue udah baikan sama dia,” ungkap Rain jujur yang menuai cibiran dari Ale.“Jadi lo baikan sama dia karena Sydney udah ninggalin lo?”“Bukan dia yang ninggalin gue tapi gue yang ninggalin dia. Catet!” balas Rain tidak terima.”Whatever. Sama aja. Intinya lo balik ke Lady gara-gara lo putus sama Sydney. Iya kan?”“Bukan.” Rain membantah tudingan Ale.“Nggak usah bohong sama gue. Gue tahu siapa lo.”“Seriusan, bukan itu.” Rain
Setelah kejadian kemarin hubungan Rain dan Lady kian membaik. Rain belajar banyak hal dari Lady. Lady yang mandiri dan dewasa memang sudah sepantasnya mendampingi Rain yang egois dan terkadang childish. Bukan dengan Sydney yang dominan dan bahkan jauh lebih egois dari Rain.Lady mulai berkutat dengan buku-buku pelajaran untuk persiapan ujian nanti malam. Sedangkan Rain menemani di sebelahnya. Sesekali Rain mengajari jika Lady menanyakan sesuatu yang tidak ia mengerti. Tatapan Rain juga tidak lepas dari wajah perempuan itu. Semakin dilihat, perempuan biasa itu tampak semakin memesona.‘Kenapa sih gue?’ Rain mengusap muka. Mencoba mengingkari penglihatannya sendiri. Nyatanya ia masih melihat hal yang sama ketika kembali memandang Lady. Perempuan yang dulu menurutnya hina dan membuatnya benci setengah mati kini malah membuat Rain ingin menatapnya berkali-kali.”Kenapa sih ngeliatin aku kayak gitu?” Lady yang menyadari jika sejak tadi Rain diam-diam memerhatikannya menoleh ke arah laki-la
Malam itu Lady sudah bersiap-siap. Paling lambat satu jam lagi ia harus tiba di kampus. Awalnya Lady berniat pergi sendiri, namun Rain bersikeras ingin menemani.“Gue bakal tunggu di luar,” katanya.“Tapi kamu nanti bisa bosan. Aku ujiannya lama,” ujar Lady. Ia kurang yakin jika Rain akan betah di sana.”Nggak bakal, pokoknya gue ikut nemenin lo ujian.” Rain masih bersikukuh dengan keinginannya.Kerasnya kemauan Rain yang ingin ikut dengannya membuat Lady jadi berpikir panjang. Kenapa Rain bisa sebegitu keras? Apa jangan-jangan karena Rain tahu bahwa malam ini Farrel juga ikut ujian? Jangan-jangan Rain akan bertingkah lagi.“Kalau kamu ikut, ke sananya gimana? Emangnya kamu mau pake motor?”“Ya jangan pake motor juga.”“Terus pake apa? Taksi?” Lady memberi alternatif lain.”Bukan. Biar gue suruh Ale nganterin kita.”“Nggak enak ah, jadinya ngerepotin dia,” tolak Lady keberatan. “Lagian dia kan manajer kamu, bukan supir.””Sama aja kali, Love. Dia tuh manajer multifungsi yang bisa ngap
Rain dan Lady sama-sama merebahkan badan di pembaringan. Lelahnya luar biasa.Kantong-kantong belanjaan dari berbagai brand ternama berdempetan di lantai tak beraturan. Mereka baru saja pulang belanja. Rain yang memaksa meskipun Lady tidak ingin.“Capek?” tanya Rain melihat tubuh lunglai istrinya.“Iya, tapi happy.””Me too.” Rain menimpali. Berjam-jam lamanya mereka menghabiskan waktu di luar. Mengelilingi pusat perbelanjaan. Keluar masuk dari satu tenan ke tenan lainnya. Rain membelikan Lady apa saja yang didominasi oleh pakaian. Bahkan Rain terkesan sedikit memaksa meski Lady sudah menolak.“Kamu mau beli apa lagi, Lov?” Lady yang sedang memandangi langit-langit kamar memindahkan tatapan pada lelaki di sebelahnya. “Udah, Rain, semuanya udah cukup. Udah lengkap banget. Aku takutnya malah nggak kepake.””Pasti kepake, nggak mungkin nggak kepake. Eh, bisa ambilin hp aku nggak?” Rain menunjuk meja tempatnya meletakkan ponsel.“Tunggu bentar.” Turun dari ranjang, Lady langsung menuju
Makan malam romantis itu sudah berakhir sejak tadi. Rain dan Lady saat ini sudah berada di mobil yang akan membawa mereka pulang. Masih sama seperti tadi. Ale yang menyetir, sedangkan keduanya duduk berdua di jok belakang.Rain tidak melepaskan sedetik pun tangan Lady dari genggamannya. Meskipun istrinya itu mencoba melepaskannya, namun Rain meraihnya lagi dan lagi. Bahkan mengunci dalam genggamannya dengan lebih erat.Saat Lady menoleh, ia mendapati sepasang mata teduh Rain yang menatap mesra padanya. Ada senyum lembut di bibir laki-laki itu.“Gimana perasaan kamu malam ini?” Rain bertanya.Lady tidak seketika menjawab. Jujur saja hingga detik ini ia masih sukar memercayai semuanya. Segalanya bagai mimpi. Ia tidak butuh kemewahan berlimpah seperti ini. Baginya memiliki pasangan yang menyayangi, setia dan menerima apa adanya sudah lebih dari cukup.”Lov, kamu denger nggak aku tuh lagi nanya sama kamu?” Rain mengingatkan dengan mengusap punggung tangan istrinya itu.“Eh iya, aku denger
Jasmine sontak memandang pada Rain dengan tatapan curiga. Untuk apa laki-laki itu hanya meminta berdua saja dengan anaknya di dalam ruangan? Jangan-jangan Rain akan mencelakakan Sydney. Pikiran buruk perempuan itu semakin liar berputar di kepalanya."Kenapa kami harus keluar? Kamu mau apa?" Jasmine memandang miring pada Rain."Saya mau bicara dengan anak Tante.""Tapi kenapa harus berdua? Memangnya apa yang mau dibicarakan?""Tentang solusi masalah ini. Apa Tante nggak ngerti juga? Nanti kalau saya sudah selesai bicara dengan Sydney, Tante dan semuanya boleh masuk. Tapi sekarang tolong kasih saya waktu untuk bicara berdua." Suara tegas Rain kembali membahana.Kemudian Jasmine memandang pada suaminya meminta pertimbangan. Lelaki itu mengerti dan lekas angkat suara. "Kalau kamu memang mau membicarakan solusinya kenapa hanya berdua? Kenapa kami tidak boleh berada di sini?""Om tenang saja, saya hanya minta waktu sebentar. Saya nggak akan mencelakai Sydney kalau memang hal itu yang ada d
Sukar dijabarkan dengan kata-kata bagaimana terkejutnya Kanayya setelah mendengarkan penuturan Jacob padanya. Pikirannya masih sibuk mencerna beberapa menit setelah panggilan dari laki-laki itu berakhir. Hingga kemudian ia tersadar lantas bergerak keluar dari kamarnya.“Rain, ini Bunda!” Kanayya berseru seraya memanggil nama sang putra. Ia merasakan getaran dari suaranya sendiri.Selang beberapa detik setelahnya daun pintu pun terbuka bersama dengan sosok Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya.”Iya, Nda?””Rain mana, Dy?” kejar Kanayya cepat.”Lagi pasang baju, baru siap mandi.”“Kalau sudah selesai langsung temui Bunda.”“Baik, Nda.”Kanayya meninggalkan kamar anaknya sedangkan Lady menutup pintu dan menghampiri Rain yang sedang berpakaian.“Rain, tadi Bunda yang manggil, kalau udah selesai langsung temui.” Lady memberitahu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Kanayya tadi.“Bunda mau ngomong apa, Lad?”“Aku juga nggak tahu, tapi dari yang aku lihat di mukanya Bunda kayak yan
Dentingan notifikasi handphone Rain menginterupsi Rain dan Lady yang sedang bermesraan. Mereka baru saja tiba di rumah sekitar beberapa menit yang lalu dan menghabiskan waktu di kamar.“Siapa lagi sih?” gumam Rain kesal.Lady membantu Rain menjangkau ponsel dan memberikan pada sang suami.Mendapati pesan dari Sydney, Rain berdecih jengkel. “Mau apa lagi sih dia?”Rain kemudian menekuri ponselnya selama beberapa saat. Membaca pesan yang dikirimkan Sydney padanya. Sempat terdiam namun kemudian tertawa ringan. “Ada-ada aja,” gumamnya pelan.“Ada apa, Rain? Siapa yang chat?” tanya Lady di sebelahnya. Rain memberikan gawainya pada Lady agar sang istri bisa membacanya sendiri.Menerima ponsel yang disodorkan Rain, Lady terdiam cukup lama. Sebagai sesama wanita hatinya jelas tergugah. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan Sydney. Kasihan, pikirnya.Apa yang Lady pikirkan lantas ia sampaikan pada sang suami. “Rain, kasihan dia.”“Lad, itu hanya modus, aku harap kamu jangan sampai luluh. Dia
“Kamu mau ke mana?” tanya Kanayya pagi itu pada Rain yang sudah rapi.“Mau ikut Lalad ke toko, Nda.”“Tumben?” “Sekali-sekali aku pikir nggak ada salahnya. Lagian aku juga nggak ada kegiatan di rumah.”Kanayya tidak bertanya lagi. Rain juga tidak mengatakan jika sesungguhnya ia akan bertemu dengan Sydney. Nanti saja. Rain pikir Kanayya tidak perlu tahu urusannya dengan perempuan itu.“Rain, kamu nggak mau ambil job iklan atau apa?” tanya Alana sebelum Rain dan Lady keluar meninggalkan rumah. “Kapan-kapan kali ya, Na, biar masalah ini kelar dulu.”“Bunda setuju. Nanti kamu nggak usah cari manajer baru, biar Lady yang manajerin kamu.” Kanayya menyarankan.Rain memandang pada Lady dan tersenyum lebar. "Boleh juga,” ucapnya. Lalu ia beralih pada Lady, meminta pendapat sang istri. “Kamu mau kan, Lad?”Lady kelihatan bingung. Perempuan itu menggigit bibirnya. “Caranya gimana? Aku nggak punya pengalaman sama sekali.”“Nggak perlu punya pengalaman apa-apa kok, Lad. Kerjaan kamu cuma arrange
“Rain, dibales,” beritahu Lady pada Rain yang sudah naik duluan ke ranjang sedangkan Lady baru saja memakai krim malamnya.“Dia bilang apa?” tanya Rain tanpa membuka mata.“Okay, Bae, besok aku ke sana. I love you.” Lady menyampaikan balasan chat dari Sydney yang baru saja ia baca di handphone Rain.Rain detik itu membuka mata. “Jangan main-main, Lad.” Rain sangka Lady sedang meledeknya dengan kata I love you yang diucapkan Sydney.“Main-main gimana? Nggak percaya nih baca sendiri.” Lady memberikan ponsel di tangannya pada Rain.Lady ternyata tidak bohong. Rain melihat sendiri di gawainya balasan dari Sydney sama persis dengan yang diucapkan Lady.Rain berdecih, lalu setelahnya mematikan ponsel dan meletakkan di nakas.”Nggak kamu bales?” tanya Lady yang kini ikut berbaring di samping Rain di kasur.”Nggak ada yang perlu dibales. Infonya sudah jelas.”“Nggak mau bilang I love you too?” Perempuan itu menggodanya.”Jangan nakal ya, Lad, atau nanti aku–”“Aku apa?” potong Lady kilat.Ra
Malam itu juga Rain meluncur ke apartemen Ale berdua dengan laki-laki itu. Ketika Ale bertanya untuk apa laptop lama tersebut dan apa yang akan mereka cari, Rain masih merahasiakannya. Membuat Ale penasaran setengah mati.“Ayolah, Rain, untuk apa laptop itu?” Ale yang menyetir terus mendesak agar Rain memberitahu.“Nanti lo juga bakal tahu sendiri.” Rain masih bersikukuh merahasiakannya.”Apa bedanya sih nanti sama sekarang?”“Ya bedalah, Nyet. Tapi lo yakin kan kalo laptop itu masih ada?” Sudah sejauh ini akan sia-sia kalau ternyata hasilnya zonk.”Ada kalo nggak dimakan kecoa,” ucap Ale asal.“Garing.”Dengan tidak sabar Rain menarik langkah cepat setelah mereka tiba di Heaven Residence. Gerak-gerik Rain membuat Ale benar-benar penasaran apa sebenarnya yang ingin dicari Rain di laptopnya."Kalo misal nggak ada, gimana?" Ale menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi."Jangan macem-macem lo ya!" ujar Rain cemas."Gue nggak macem-macem. Itu kan misalnya.""Pokoknya harus
Rumah besar itu semakin sepi karena semua penghuninya sibuk di kamar masing-masing.Kanayya tidak habis pikir pada ide gila yang disampaikan Jacob tadi siang. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkannya. Kanayya tidak bisa membayangkan apa tanggapan Jasmine jika mengetahui ide tidak waras suaminya.Kanayya menjangkau ponselnya ketika dentingan notifikasi terdengar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Kanayya membacanya pelan-pelan.“Gimana, dokter Kanayya? Apa tawaran saya tadi siang sudah dipikirkan?”-JacobOh, ternyata dia. Kanayya tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan nomor ponselnya. Tapi tentu saja bukan hal yang sulit bagi orang semacam Jacob untuk mencari tahu nomor selulernya. Pria itu punya kaki tangan di mana-mana.“Maaf, Pak Jacob, saya tidak bisa.” Kanayya menolak tegas keinginan laki-laki itu.“Anda yakin? Apa Anda sudah pikirkan baik-baik? Saya tahu anda sangat menyayangi Rain dan menantu anda. Tentu anda tidak akan membuat mereka menderita kan?”“Iya,
Jacob tidak serta merta menjawab permintaan Rain. Pria itu tampak berpikir untuk sesaat. Menimbang-nimbang apa yang diinginkan oleh Rain. Bagaimana baik dan buruknya maupun dampak serta resikonya."Papi, aku pikir nggak ada salahnya Papi kasih Rain kesempatan. Masalahnya ini bukanlah segampang yang kita pikir." Zee yang sejak tadi diam saja membaca situasi kini menyampaikan pendapatnya."Mami nggak setuju, jangan terlalu mudah percaya, Pi, Mami khawatir dia akan kabur. Sedikit pun jangan kasih dia kesempatan untuk lolos, jangan kasih dia celah, kasihan anak kita, nanti Sydney yang akan jadi korbannya." Jasmine bersikeras mempertahankan pendapatnya dan terus memengaruhi suaminya."Rain orangnya nggak kayak gitu, Mi, Pi. Dia nggak akan kabur atau lari. Aku udah lama kenal Rain," ujar Zee lagi."Kenal bukan berarti kamu tahu semua tentang dia, Zee!" Jasmine menyergah dengan keras putri bungsunya."Bener, Mi, tapi Rain–""Sudah! Sudah! Mami nggak minta pendapat kamu. Mending kamu diam aja
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau