Sudah sekian menit berlalu…Malam di rumah itu terasa sangat mencekam. Hujan deras yang turun di luar menguarkan atmosfir tidak menyenangkan.Sudah sejak tadi Kiran terus memaksa agar Alana mengatakan siapa laki-laki yang telah menghamilinya. Kiran telah menggunakan berbagai cara. Mulai dari cara paling halus, halus, hingga setengah halus.Akan tetapi sekeras apa pun Kiran mencoba agar Alana bersuara maka sekuat itu pula Alana bertahan untuk menyembunyikan jati diri pria penabur benih. Alana menggunakan air matanya sebagai senjata.”Masalah ini nggak akan selesai kalau kamu terus nangis kayak gini, Na. Mama nggak akan marah, yang penting kamu jujur.”Alih-alih akan diam isak Alana bertambah kencang.“Aku nggak tau, Ma, aku nggak tau…”Alana tak berhenti menangis dan kini membelakangi Kiran sambil menutup mukanya dengan bantal.Sadar usahanya hanya sia-sia, Kiran memutuskan untuk meninggalkan kamar Alana. Ia kembali ke kamarnya sendiri.Kiran tidak menemukan Rasya di kamar. Ternyata su
"Aku lagi nggak mau ngomong apa-apa sama dia, Ma, suruh dia pulang aja deh. Lagian tuh orang sinting kali ya baru kenal beberapa bulan udah ngajak nikah." Alana tetap menolak meski sudah Kiran nasihati."Jangan negatif thinking dulu, Na, Mama pikir dia orangnya baik. Jarang-jarang lho laki-laki gentle kayak dia selain papa kamu."Mau tidak mau Alana tersenyum karena Kiran menyebut-nyebut Rasya."Coba deh kamu bayangkan, jauh-jauh ke sini hanya untuk datang dan melamar kamu. Jakarta dan Amsterdam tuh nggak dekat, Na.""Emang nggak, tapi kan ada pesawat." Alana terus berkilah dan mendebat apa pun yang dikatakan Kiran.Kiran lalu terdiam. Kehilangan kata-kata untuk membujuk putri bungsunya itu. Diamatinya wajah Alana lebih lekat sembari menerka apa isi hatinya. Kenapa Alana sangat antipati pada Romy? Apa Alana sudah punya seseorang? Atau setidaknya menyimpan seseorang di dalam hatinya?"Jujur sama Mama, kenapa kamu nggak suka sama Romy? Apa kurangnya dia?" tatap Kiran menyelidik."Ya ka
“Jangan main-main, Romy,” ucap Alana.“Saya nggak main-main. Kalau ternyata tinggal di sini lebih membahagiakan dari pada di Indonesia saya akan pilih tinggal di sini.” Romy meyakinkan dengan mukanya yang bersungguh-sungguh.”Kamu ada-ada saja,” balas Alana tak percaya. Namun kemudian ia mulai khawatir ketika raut serius lelaki di hadapannya tidak juga berubah setelah beberapa menit. Jangan-jangan Romy adalah tipe pria nekat yang akan melakukan apa saja.”Nggak percaya? Saya bisa buktikan semua ke kamu.” Romy berkata seolah tahu jika Alana meragukan niatnya.”Pekerjaan kamu kan di Indonesia.”“Pekerjaan saya sifatnya fleksibel, saya bisa kerja di mana saja,” ucap laki-laki itu penuh percaya diri.“Kamu mungkin bisa kerja di mana saja, tapi di sini izinnya susah, nggak semudah itu.” Setiap kali Romy bicara maka setiap itulah Alana akan mematahkannya.Tapi Romy tidak patah arang. Tak peduli Alana menghalangi dengan alasan apa pun, ia tidak akan pernah mundur.“Tapi saya pikir tidak lebi
Tiga bulan sudah Alana berada di Amsterdam. Sedikit demi sedikit ia mulai lagi menata hatinya. Pelan dan perlahan Alana melupakan Ale dan segala luka yang ditorehkan laki-laki itu padanya.Alana juga sudah membuka diri untuk berkomunikasi. Tapi hanya sebatas pada keluarga dekatnya saja seperti Kanayya, Rain dan Lady. Alana sudah tahu mengenai musibah yang menimpa Lady. Ia ikut prihatin mendengarnya. Yang bisa dilakukannya adalah memberi Lady semangat dan mendoakan agar secepatnya dipercayakan untuk hamil lagi. Dan tentang Sydney yang sudah melahirkan, Alana juga mengetahuinya dari Kanayya. Hingga sejauh ini mereka masih merahasiakannya dari Rasya dan Kiran.Untuk mengisi hari-harinya Alana sudah mulai bekerja. Bukan di perusahaan yang terikat dengan waktu dan peraturan tertentu. Akan tetapi Alana membuka jasa konsultan sendiri. Dan sejauh ini ia menikmatinya. Pelan-pelan pikirannya pun mulai teralihkan, terutama dari laki-laki itu.***P
Kanayya meletakkan Brienna kembali ke dalam box. Ia bersikap sewajarnya dan biasa-biasa saja. Barulah setelah memutar tubuhnya Kanayya menyadari ada Lady di belakangnya."Eh, Dy..." Kanayya kaget, khawatir kalau Lady mendengar semua bisik-bisiknya dengan Rain tadi.Rain ikut menoleh ke belakang."Rain, boleh aku lihat Brienna?" Lady meminta izin."Lihat aja." Rain menggeser kaki, memberi Lady tempat.Lady memajukan badannya, melihat sendiri manisnya bayi di dalam sana. Rasanya Lady ingin menggendong dan mendekap di dadanya, tapi tidak punya keberanian untuk melakukan hal tersebut."Dia cantik ya, Nda, mirip sama–" Lady menjeda kata, memandang pada Rain di sisi kiri. "Rain, dia manggil kamu apa? Papa atau Papi?""Brienna manggil Rain daddy." Sydney yang menjawab mewakili Rain.Lady memandang ke arah Sydney dan tersenyum. "Iya, dia mirip daddy-nya.""Mirip gimana maksud kamu, Dy?" tanya Kanayya. "Kalau Bunda ngeliatnya nggak mirip siapa-siapa tuh.""Tapi aku ngeliatnya mirip sama Rain,
Tidak ada Rain saat Lady membuka mata pagi itu. Permukaan kasur di sebelahnya dingin dan kosong. Mungkin Rain sedang di kamar mandi pikir Lady.Lady menunggu sesaat hingga Rain keluar dari sana karena ia juga akan ke kamar mandi. Namun setelah hampir setengah jam Rain tak juga muncul, Lady memutuskan bangun dan bergerak dari tempat tidur.Ia langkahkan kakinya ke kamar mandi sambil menyerukan nama sang suami. “Rain, kamu ada di dalam?”Tidak ada respon atau sahutan dari sana yang membuat Lady harus membuka pintu. Ternyata Rain memang tidak ada di sana yang selanjutnya membuat Lady jadi berpikir mungkin saja saat ini Rain sedang berada di luar kamar.Lady mengabaikan dan langsung mandi. Ia sudah mulai lagi dengan rutinitas hariannya. Selesai mandi Lady tetap tidak menemukan Rain di luar, termasuk mobil laki-laki itu yang membuatnya lantas bertanya pada sang mertua.“Bunda tahu Rain ke mana? Tadi waktu aku bangun dia udah nggak ada. Aku pikir lagi di kamar mandi, tapi ternyata mobilnya