“Indonesia panas ya?” keluh perempuan itu sembari menyalakan pendingin udara di kamarnya. Disusul dengan merebahkan badan ke pembaringan yang empuk. Penerbangan panjang lebih dari dua belas jam membuatnya bener-benar lelah tapi happy.Semestinya perempuan itu masih belum akan kembali ke Indonesia. Hanya saja ia ingin memberi kejutan pada kekasihnya yang setengah mati ia rindukan.”Gimana Maldives?” tanya Zee yang baru saja masuk ke kamarnya.”Menyenangkan. Aku jadi males pulang. Aku kepikiran buat diriin resort di sana. Aku pikir prospeknya pasti bagus,” jawab Sydney, perempuan yang baru saja pulang dari Maldives setelah hampir dua minggu berada di sana.”Boleh juga, Papi pasti setuju. Ntar deh aku lobi Papi.”Percakapan antara Zee dan Sydney yang awalnya membahas prospek usaha resort di Maldives, kemudian bergeser. Wajah Zee berubah tegang ketika Sydney mulai menanyakan Rain.”Zee, selama aku pergi kamu pernah ketemu sama Rain?””Ehm, nggak tuh.” Zee berbohong. Di saat yang sama ia m
Dengan panik Sydney merogoh tas mencari ponsel. Satu-satunya yang sangat ingin ia lakukan saat ini adalah menelepon Rain dan meminta penjelasan dari laki-laki itu.”Cepetan jawab telepon aku, Rain!!!” teriak Sydney tidak dapat lagi menahan emosinya.“Mbak, jangan teriak-teriak di sini, nanti tetangga bisa denger, nggak enak.” Dengan kalemnya Lady mengingatkan.“Diam lo!” sergah Sydney, sementara ponsel semakin erat menempel di telinganya.Tidak ingin memperpanjang pertengkaran dan membuat Sydney semakin emosi, Lady membungkam mulut. Namun matanya tidak beranjak dari muka perempuan itu, mengawasinya.”Duh, Rain, kamu ke mana aja sih? Angkat telfonnya please!” Sydney yang kehilangan kesabaran lantaran Rain tidak menjawab panggilannya mondar-mandir di apartemen Rain dengan ponsel tetap menempel di telinga. Kenapa justru di saat begini Rain malah susah dihubungi?“Rain ke mana?” sergahnya pada Lady.Lady tersenyum kalem sembari mengedikkan bahu.“Katanya lo istrinya, kok nggak tahu?”“Say
Rain membawa Sydney pergi dari apartemennya. Tidak tahu ke mana. Tapi yang jelas jauh dari sana.“Han, kamu udah makan? Kita makan dulu ya, aku laper nih.” Rain mengusap perut dengan sebelah tangan untuk menguatkan pernyataannya.”Aku udah kenyang, aku nggak mau makan. Lagian kamu dari tadi kenapa sih ngomongnya muter-muter?””Muter-muter gimana, Han?”“Kamu nggak jawab pertanyaan aku, malah ngelantur ke mana-mana. Aku cuma pengen klarifikasi dari kamu. Yang dibilang cewek halu tadi nggak bener kan? Dia bohong kan? Lagian kenapa dia bisa ada di apartemen kamu? Dia jadi pembantu di sana? Disuruh bunda kamu lagi?”Rain berdeham menjernihkan tenggorokannya yang keruh. Sementara matanya aktif mencari tempat bicara yang tepat dengan Sydney.”Bae, ngomong dong, jangan diam aja!” Sydney yang tidak sabar mengguncang-guncang lengan Rain agar segera bicara. Membuat lelaki itu menepi di pinggir jalan.“Ngapain kita di sini?” tanya Sydney sambil menganalisa situasi di sekitarnya.“Katanya mau ngo
Sudah larut malam, dan Lady masih betah menunggu di sofa depan televisi. Seharusnya ia bisa masuk ke kamarnya dan langsung tidur. Tapi telepon dari Kanayya beberapa menit yang lalu membuatnya tetap bertahan di sana sampai Rain pulang.Malam ini gara-gara insiden dengan Sydney tadi Lady terpaksa bolos kuliah karena sudah terlambat juga. Lalu Kanayya meneleponnya.“Kamu di mana, Dy?”“Di apartemen, Nda.””Nggak kuliah?””Nggak, Nda, dosennya lagi ada urusan jadi cuma dikasih tugas disuruh kumpulin minggu depan.” Pada bagian ini Lady berbohong karena tidak mungkin mengatakan tentang keributan kecil dengan Sydney tadi.”Rain mana?”“Rain lagi ke luar, Nda.”“Kamu nggak ikut?””Nggak, lagian katanya Rain nggak lama, cuma sebentar.”“Tapi hubungan kalian baik-baik aja kan?””Baik, Nda. Semua lancar, nggak ada masalah.”“Bunda nggak lagi nanya kamu ada masalah lho, Dy.”Lady akhirnya terjebak oleh pernyataannya sendiri.“Eh, maksudku hubunganku dengan Rain baik-baik aja. Tadi Rain ke luar ka
Pagi-pagi sekali saat sedang menyiapkan makanan di ruang belakang Lady mendengar suara bel di depan sana yang membuatnya mengabaikan sejenak aktivitasnya menyediakan menu sarapan pagi untuk Rain.Lady menggegas langkah ke ruang depan dan mendapati Ale sedang berdiri tegak di hadapannya. Tingginya persis sama dengan Rain. Membuat Lady berada tepat di bawah dagu mereka. Pria ini juga tak kurang gagahnya. Jika wajah Rain lebih baby face maka Ale memiliki garis rahang yang tegas.”Pagi, Lady, Rain sudah siap?””Dia mau ke mana? Dia mau pergi ya?” tanya Lady kebingungan karena seingatnya Rain tidak mengatakan apa-apa padanya.“Pagi ini aku dan Rain akan ke Megantara, Rain ada jadwal latihan.””Oh, Rain belum bangun. Emang latihannya jam berapa?”’Ya ampuh tuh bocah!’ Ale memekik geram di dalam hati.”Jam delapan pagi ini.”“Wah, satu jam lagi berarti!” Lady ikut panik mengetahuinya. “Masuk dulu, Le, silakan duduk.” Lady mempersilakan manajer Rain itu setelah sedari tadi mereka berbicara sam
Rain mengusap keringat yang meleleh di pelipisnya sambil meneguk air minum dari botol mineral di tangannya. Latihan hari ini sangat melelahkan dan ia lumayan kesulitan membangun konsentrasi. Entah kenapa.“Kamu lagi ada masalah? Nggak biasanya kamu kayak gini,” tegur Kendrick—pelatihnya—bule asal Swedia yang teramat fasih berbahasa Indonesia. “Kalau ada masalah tinggalin dulu di rumah, jangan dibawa ke sini,” sambungnya lagi.“Nggak ada, aku nggak ada masalah apa-apa.” Rain membantah karena menurutnya ia baik-baik saja.”Kalau nggak ada kenapa kamu bisa ngerem mendadak kayak tadi?”“Mungkin karena aku kelamaan libur, jadinya lupa cara pegang setir.”“Ah, ada-ada saja. Besok aku nggak mau terima apa pun alasan kamu. Ingat, Rain, F3 sebentar lagi, kita mesti prepare semua dari sekarang.”Rain menghela napas panjang. “Ya, aku tahu.””Sekarang mau lanjut atau break dulu?””Break aja deh, kayaknya aku lagi kurang vitamin.”Pelatihnya mengangguk sambil menepuk ringan pundaknya. “Pulanglah,
Mereka tiba di rumah Kanayya setelah dua puluh menit perjalananan. Rentang waktu yang cukup lama untuk berbicara panjang lebar dan bercerita banyak hal.“Kamu pekerjaannya bener-bener cuma mengurus Rain?” tanya Lady tadi.“Iya, kenapa?” Ale menjawab dan mengulas senyum. Pria itu begitu murah senyum. Sebenarnya ia menyimpan sesuatu dari orang-orang dan hanya Rain yang tahu. Tapi biar saja cukup dirinya dan orang-orang terdekatnya yang tahu.”Nggak, cuma nanya aja. Kamu udah lama jadi asisten Rain?””Lumayan, sejak Rain pulang ke Indonesia.”Lady mengangguk-angguk tanda mengerti. Kehabisan bahan untuk bicara apa lagi guna mengisi waktu selama perjalanan mereka.”Gantian nanya, boleh?”“Ya, tanya aja, aku akan jawab selagi aku bisa,” sahut Lady.Ale membuka kacamata hitam yang sejak tadi membingkai wajahnya sekadar menghargai perempuan di sebelahnya. ”Kamu kenapa mau menikah sama Rain?”Lady tersenyum singkat. Ia belum terlalu sering mendengarnya. Justru yang kerap sampai di telinganya a
“Rain!!!” Sydney berteriak kaget saat tiba-tiba lelaki itu menyingkirkan dari atasnya. Ia hampir saja terjengkang ke belakang. “Kebiasaan kamu, Rain!” makinya kesal lantaran hampir mencapai klimaks namun terhenti tiba-tiba.Rain tidak peduli dan bergerak cepat menyambar ponsel. Menekan answer, menghentikan nada panggilan. Dengan napasnya yang masih terengah lelaki itu pun menyapa.“Halo, Nda.””Kamu habis lari-lari?” Dijawab dari seberang sana.“Nggak, Nda.””Tapi Bunda denger nafas kamu sesak.”“Ah, masa sih? Perasaan Bunda aja kali.” Rain tertawa disusul dengan berdeham untuk menyamarkan irama napasnya.“Bukan perasaan, tapi emang beneran Bunda denger kayak gitu,” sangkal Kanayya membantah. “Emang sekarang kamu lagi di mana? Kenapa tadi nggak angkat telfon dari Lady? Telfon dari Bunda kamu juga lama ngejawabnya.”“Ng, aku—aku lagi di luar, Nda.” Rain gelagapan sambil menggaruk leher belakang kebingungan. Ia sama sekali tidak mengantisipasi kemungkinan itu. Mendingan tadi dimatikanny
“Rain, dibales,” beritahu Lady pada Rain yang sudah naik duluan ke ranjang sedangkan Lady baru saja memakai krim malamnya.“Dia bilang apa?” tanya Rain tanpa membuka mata.“Okay, Bae, besok aku ke sana. I love you.” Lady menyampaikan balasan chat dari Sydney yang baru saja ia baca di handphone Rain.Rain detik itu membuka mata. “Jangan main-main, Lad.” Rain sangka Lady sedang meledeknya dengan kata I love you yang diucapkan Sydney.“Main-main gimana? Nggak percaya nih baca sendiri.” Lady memberikan ponsel di tangannya pada Rain.Lady ternyata tidak bohong. Rain melihat sendiri di gawainya balasan dari Sydney sama persis dengan yang diucapkan Lady.Rain berdecih, lalu setelahnya mematikan ponsel dan meletakkan di nakas.”Nggak kamu bales?” tanya Lady yang kini ikut berbaring di samping Rain di kasur.”Nggak ada yang perlu dibales. Infonya sudah jelas.”“Nggak mau bilang I love you too?” Perempuan itu menggodanya.”Jangan nakal ya, Lad, atau nanti aku–”“Aku apa?” potong Lady kilat.Ra
Malam itu juga Rain meluncur ke apartemen Ale berdua dengan laki-laki itu. Ketika Ale bertanya untuk apa laptop lama tersebut dan apa yang akan mereka cari, Rain masih merahasiakannya. Membuat Ale penasaran setengah mati.“Ayolah, Rain, untuk apa laptop itu?” Ale yang menyetir terus mendesak agar Rain memberitahu.“Nanti lo juga bakal tahu sendiri.” Rain masih bersikukuh merahasiakannya.”Apa bedanya sih nanti sama sekarang?”“Ya bedalah, Nyet. Tapi lo yakin kan kalo laptop itu masih ada?” Sudah sejauh ini akan sia-sia kalau ternyata hasilnya zonk.”Ada kalo nggak dimakan kecoa,” ucap Ale asal.“Garing.”Dengan tidak sabar Rain menarik langkah cepat setelah mereka tiba di Heaven Residence. Gerak-gerik Rain membuat Ale benar-benar penasaran apa sebenarnya yang ingin dicari Rain di laptopnya."Kalo misal nggak ada, gimana?" Ale menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi."Jangan macem-macem lo ya!" ujar Rain cemas."Gue nggak macem-macem. Itu kan misalnya.""Pokoknya harus
Rumah besar itu semakin sepi karena semua penghuninya sibuk di kamar masing-masing.Kanayya tidak habis pikir pada ide gila yang disampaikan Jacob tadi siang. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkannya. Kanayya tidak bisa membayangkan apa tanggapan Jasmine jika mengetahui ide tidak waras suaminya.Kanayya menjangkau ponselnya ketika dentingan notifikasi terdengar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Kanayya membacanya pelan-pelan.“Gimana, dokter Kanayya? Apa tawaran saya tadi siang sudah dipikirkan?”-JacobOh, ternyata dia. Kanayya tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan nomor ponselnya. Tapi tentu saja bukan hal yang sulit bagi orang semacam Jacob untuk mencari tahu nomor selulernya. Pria itu punya kaki tangan di mana-mana.“Maaf, Pak Jacob, saya tidak bisa.” Kanayya menolak tegas keinginan laki-laki itu.“Anda yakin? Apa Anda sudah pikirkan baik-baik? Saya tahu anda sangat menyayangi Rain dan menantu anda. Tentu anda tidak akan membuat mereka menderita kan?”“Iya,
Jacob tidak serta merta menjawab permintaan Rain. Pria itu tampak berpikir untuk sesaat. Menimbang-nimbang apa yang diinginkan oleh Rain. Bagaimana baik dan buruknya maupun dampak serta resikonya."Papi, aku pikir nggak ada salahnya Papi kasih Rain kesempatan. Masalahnya ini bukanlah segampang yang kita pikir." Zee yang sejak tadi diam saja membaca situasi kini menyampaikan pendapatnya."Mami nggak setuju, jangan terlalu mudah percaya, Pi, Mami khawatir dia akan kabur. Sedikit pun jangan kasih dia kesempatan untuk lolos, jangan kasih dia celah, kasihan anak kita, nanti Sydney yang akan jadi korbannya." Jasmine bersikeras mempertahankan pendapatnya dan terus memengaruhi suaminya."Rain orangnya nggak kayak gitu, Mi, Pi. Dia nggak akan kabur atau lari. Aku udah lama kenal Rain," ujar Zee lagi."Kenal bukan berarti kamu tahu semua tentang dia, Zee!" Jasmine menyergah dengan keras putri bungsunya."Bener, Mi, tapi Rain–""Sudah! Sudah! Mami nggak minta pendapat kamu. Mending kamu diam aja
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau
Keluarga Rain dan keluarga Sydney sudah tiba di rumah sakit sejak lima belas menit yang lalu. Mereka diminta menunggu untuk beberapa saat. Rain dan Lady duduk berdampingan dengan tangan saling menggenggam seakan sedang berbagi kekuatan satu sama lain. Alana yang semula ragu akhirnya memutuskan untuk ikut ke rumah sakit. Sedangkan keluarga Sydney menunggu di sudut lain.Sydney tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Rain. Tatapannya begitu mendamba. Meski Rain tidak sedetik pun ingin menoleh padanya tapi perempuan itu tak peduli. Rain boleh saja bersikap seperti itu sekarang. Rain boleh benci padanya. Yang diyakini perempuan itu Rain pasti akan kembali ke pelukannya cepat atau pun lambat. Ya.Kanayya menghilang dari sisi mereka untuk mengurus segala sesuatunya. Sedangkan Rain sudah semakin tidak sabar. Satu-satunya yang terlihat paling rileks di antara mereka adalah Sydney. Sekarang sang selebgram begitu asyik memeriksa notifikasi sosial media miliknya dan membalas satu demi satu
Setelah menanti beberapa hari yang benar-benar menguji kesabaran dan ketahanan jantung, maka saat itu pun tiba. Saat di mana mereka akan mengetahui hasil tes DNA yang dilakukan tempo hari. Semua diliputi perasaan harap-harap cemas dan mengencangkan doa di hati masing-masing. Semoga hasil tes DNA yang mereka terima nanti adalah hasil yang paling jujur. Hanya dalam hitungan jam maka mereka semua akan mengetahui bagaimana hasilnya. Tiga hari ini adalah hari terpanjang yang pernah mereka lalui. Selama tiga malam ini pula mereka kesulitan untuk memejamkan mata.”Nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia bukan anak aku!” Rain berteriak sekuat yang ia bisa. Ia memandang ketakutan pada Sydney yang berdiri di hadapannya sambil menggendong seorang bayi dan tak henti menyodorkan pada Rain. Perempuan itu menyeringai lebar dan tampak mengerikan.”Rain, ini anak kamu, gendong dia, Rain, ini darah daging kamu.”“Bukan! Dia bukan anakku! Pergi kalian!” Rain kembali berteriak ketakutan. Ia berlari sekencang
Lady tiba di rumah tepat lima menit sebelum pukul tujuh malam. Lady langsung masuk ke kamar. Ia disambut oleh dekapan hangat Rain yang terasa begitu lekat di badannya.“Kenapa baru pulang jam segini, Lad? Aku chat kamu tapi pending, aku telfon tapi nggak aktif.””Hp aku mati, tadi low bat.”“Kan udah aku kasih tau bawa power bank ke mana pun kamu pergi. Kalau perlu dikantongin.””Sorry, Rain, aku lupa.”Embusan napas Rain menerpa pipi Lady. Sementara dekapannya melingkar semakin erat. Rain memang paling suka memeluk Lady dari belakang dan menopangkan dagu di pundak perempuan itu.”Hmm… lain kali jangan sampai lupa lagi ya. Aku kan susah mau ngehubungin kamu.”“Ya,” jawab Lady datar.Mengetahui Lady yang berbeda dari biasanya, Rain membalikkan badan perempuan itu agar mengarah padanya. Rain menemukan muka Lady yang lesu. Rain tahu pasti penyebabnya adalah karena memikirkan masalah Sydney.Rain menggandeng Lady, menuntunnya menuju kaca besar setinggi orang dewasa di kamar mereka. Ia kem
Segaris senyum manis dari pria bermata teduh langsung menyambut ketika Lady baru saja menapaki anak tangga terakhir yang menghubungkan ke lantai dua. Lady membalas senyuman itu dan berjalan mendekat.“Sudah lama?” tanya Lady sembari duduk di kursi seberang Ale, lantas melirik cangkir kopi di atas meja yang tampaknya belum tersentuh.“Baru sepuluh menitan.” Ale menjawab sambil melirik arloji.Ada jeda yang mengisi setelah obrolan pembuka itu. Ale berdeham, memandang Lady lebih dekat dan lekat. Mencoba membaca perasaan perempuan itu melalui ekspresi wajahnya.Nyatanya raut Lady yang datar tidak memberi informasi apa-apa. Apa Lady memang setegar itu atau ia terlalu pandai menyembunyikan perasaannya?Batuk kecil Ale mengantar pada kalimat berikutnya. “Aku lagi ada janji sama kakakku, mungkin sebentar lagi dia datang.”“Dia mau ke sini?””Iya. Nanti dia juga bakal ngomong sama kamu.””Soal apa?” Lady penasaran sekaligus terkejut mengetahuinya.”Kebetulan kakakku mau ada acara, jadi aku re