PS: Buat yang puasa bacanya setelah buka ya.***"Aku turun di sini aja," celetuk Lady tiba-tiba. Dari tadi ia diam dan hanya mendengarkan percakapan dua lelaki di depannya."Lo mau ke mana?" Rain menoleh ke belakang."Biar aku naik ojek aja," jawab Lady. Matanya berlarian gelisah ke arah jalan raya, mencoba menemukan sesuatu yang bisa membawanya pulang."Lo jangan aneh-aneh," timpal Rain, tidak ingin mengabulkan permintaan perempuan itu."Tapi aku--""Nggak ada tapi-tapian. Lo jangan nambah masalah gue lagi. Semua ini gara-gara lo, ngerti nggak?"Lady menggeleng tak percaya. Tidak mengerti kenapa orang egois ini selalu saja menyalahkannya atas kesalahan yang bahkan tidak ia lakukan.Ale yang mendengar interaksi Rain dengan Lady mengunci mulut dan memilih tidak ikut campur.Dering ponsel yang terdengar membuat Ale dan Lady sama-sama diam dan membiarkan suara Rain sebagai satu-satunya yang terdengar di antara mereka."Halo, Han?""Kamu di mana, Bae? Kenapa ninggalin aku sendirian? Kamu
Rain baru saja mengantarkan Sydney ke rumahnya ketika dering ponselnya terdengar. Ia mengerutkan kening demi meyakinkan jika penglihatannya tidak salah saat melihat nama penelepon yang tertera di layar.'Ngapain Opi nelfon gue?' Hatinya bertanya-tanya. Opi adalah orang tua laki-laki ayahnya.Menyadari jika pertanyaannya tidak akan terjawab jika hanya diam, Rain segera menerima panggilan tersebut."Halo, Pi.""Rain, kamu lagi di mana?""Di jalan, Pi.""Kalau lagi nggak sibuk kamu bisa ke sini? Ini Omimu baru bikin puding kesukaanmu."Rain mengulas senyum tipis. Dari zaman masih kecil, neneknya itu selalu rajin membuatkan puding untuknya. Setiap weekend biasanya mereka akan menjemput Rain dan membawa ke rumah mereka. Di sana Rain akan dimanjakan dengan segala penganan lezat dan membelikan apa pun yang lelaki itu inginkan. Intinya, sebagai cucu satu-satunya Rain begitu dimanjakan. Apa pun keinginannya langsung terwujud saat itu juga tanpa drama panjang."Ya udah, Pi, mumpung aku lagi ng
"Tumben banget Bunda sama Tante duduk bareng?" sapa Rain setelah turun dari mobil. Ia ikut bergabung duduk bersama kedua perempuan beda generasi itu."Kamu juga tumben ke sini?" balas Alana senada."Tiba-tiba aja aku kangen sama Tante makanya aku ke sini.""Tuh kan, panggil Tante lagi." Alana merengut.Rain tertawa renyah. Mengganggu dan menggoda Alana adalah hobinya dari dulu. Rain belum akan puas jika belum melihat perempuan itu merengut kesal. Andai saja Alana tahu betapa menggemaskan ekspresinya saat itu. Jika Alana bukan tantenya sudah Rain pacari dari dulu."Kamu ini, Rain, kapan sih nggak bikin tantemu kesal?" kata Kanayya menimpali. Rain tertawa lagi. "Lady mana?""Mana aku tahu, Nda, emangnya aku serumah sama dia?" sahut Rain ringan."Maksud Bunda, kenapa kamu nggak ajak dia ke sini sekalian?""Ngapain juga aku ajak dia, lagian bukannya dia kerja ya?”“Oh iya, Bunda lupa.” Kanayya kemudian membetulkan posisi duduknya. “Gimana hubungan kamu sama dia?”“Ya gitu deh.”“Gitu gi
"Rain, keluar dulu, temenin Lady gih," suruh Kanayya pada Rain setelah memanggilnya di kamar Alana."Ck! Kenapa harus ditemenin segala, Nda? Siapa suruh dia ke sini?" "Bunda yang suruh," jawab Kanayya tegas. Bukan apa-apa, Kanayya hanya ingin mendekatkan Lady dengan Rain."Aku capek, Nda,mau istirahat." Rain masih menolak, tidak ingin bertemu dengan perempuan itu."Rain, kamu lupa janji kamu sama Bunda?""Aku nggak lupa, aku inget kok, tapi--""Rain, jangan membantah." Kanayya seperti tahu betapa putranya itu teramat menyayanginya dan tidak akan berani menolaknya."Iya, Nda, iya..." Dengan berat hati Rain bangkit dari ranjang lalu menyeret langkah terpaksa keluar dari kamar. Lady sedang melamun sendiri saat Rain muncul di depannya. Hanya dengan mengenakan kaos rumahan serta rambut yang awut-awutan, laki-laki itu sudah sedemikian menarik."Ngapain lo hujan-hujan ke sini? Kangen sama gue?" tanya Rain ketus begitu baru saja mendudukkan diri di sofa tunggal yang berada di hadapan Lady.
Selama beberapa saat Rain hanya bisa termangu memandang ponsel dalam genggamannya. Ia bingung harus menjawab apa. ‘Duh, gimana nih? Nggak enak sama Bunda udah masak masakan kesukaan aku, tapi ntar kalau nggak jadi pasti Sydney bakal ngambek,’ pikir Rain.Kalau Bunda yang merajuk masih bisa diatasi. Tapi kalau Sydney? Jari-jari Rain kemudian bergerak membalas pesan dari perempuan itu.“Jadi dong, Han. Dandan yang cantik ya, nanti aku jemput kamu.”Balasan dari Sydney datang beberapa detik setelahnya. “As you wish, Bae. Love you.”“Love you more, Han…”***Di ruang belakang, Lady, Kanayya serta Bi Titi sedang masak bersama. Lady terlihat tidak canggung saat memegang benda-benda dapur karena sudah biasa melakukannya.“Dy, kamu udah tahu belum makanan kesukaan Rain?” tanya Kanayya pada Lady.”Belum, Dok,” jawab Lady yang baru saja memasukkan daging ke dalam panci presto.“Rain tuh suka sama sop daging yang mau kita masak sekarang. Nggak cuma sop, apa pun olahan daging Rain pasti suka. Ta
Kalau ada orang paling rese', selalu membuat repot dan menyusahkan orang lain, maka Lady adalah orangnya. Setidaknya itu menurut Rain. “Kasihan dia pakai motor hujan-hujan begini, Rain, kamu antar sebentar ya…” Kalimat penuh permintaan yang disampaikan Kanayya membuat Rain tidak memiliki alasan apa-apa lagi untuk menolak.Dan saat ini perempuan itu duduk seperti anak kucing yang kedinginan di sebelahnya. Lady menyilangkan tangan, memeluk dirinya sendiri. Lebih dari lima menit yang lalu ia tidak bersuara sepatah kata pun. Hingga kemudian celetukan perempuan itu membuat Rain harus menoleh padanya.“Rain, sorry, bisa anterin aku ke rumah dulu? Baju kerjaku ketinggalan, aku nggak mungkin pake baju ini.” Lady juga baru menyadari hal tersebut. Bahkan hingga sekarang ia masih memakai baju Alana tadi.“Apa lo bilang? Mau ke rumah lo dulu? Lo pikir gue sopir yang bisa ngenterin lo ke mana-mana? Lagian udah gue bilang dari dulu jangan kerja di sana lagi, tapi lo masih nggak mau dengerin gue. A
Rain tiba di rumah Sydney setelah memutuskan untuk tetap ke sana meskipun perempuan itu melarangnya. “Sydney ada, Zee?” tanya Rain pada Zee yang membukakan pintu untuknya.“Ada, di kamar, udah ganti baju lagi. Dari tadi tuh anak nggak berhenti ngomel,” kata adik perempuan Sydney itu memberitahu.Rain tersenyum kecut. “Bisa panggilin nggak, Zee? Aku mau ngomong sama dia.”“Bentar, aku panggilin dulu.” Zee menyuruh Rain duduk dan meninggalkannya di ruang tamu sendiri.“Ney, ada Rain di depan, katanya jadi pergi dinner nggak?” seru Zee dari depan pintu kamar Sydney yang terkunci.“Nggak usah, suruh dia pulang aja!” sahut Sydney dari dalam.“Beneran nih suruh pulang aja?” “Iya!”Beranjak dari depan kamar Sydney, Zee kembali ke ruang tamu menemui Rain.“Gimana, Zee?” kejar lelaki itu tidak sabar.“Dia nggak mau, katanya pulang aja, Rain.”Rain tampak kecewa mendengar jawaban Zee. Sudah jauh-jauh ke sini membuang waktu dan tenaganya tapi berakhir sia-sia. Semua ini salahnya juga sih. Cob
Kanayya sendiri yang membukakan pintu kala Rain tiba di rumah tepat pukul dua belas malam. Tadi Rain menemani Sydney dulu hingga perempuan itu tertidur. Jika tidak begitu, Sydney tidak akan mengizinkan Rain pulang.“Kenapa Bunda belum tidur?” tanya Rain sambil merangkul punggung Kanayya memasuki rumah.“Bunda menunggu kamu, Rain. Udah selesai urusannya?”“Udah, Nda.””Tadi kamu jadi nganterin Lady ke tempat kerjanya?”“Jadi.””Nggak dijemput sekalian?” Kanayya memandang ke arah Rain yang berjalan di sebelahnya.Rain melihat arloji. “Masih jam dua belas, paling jam kerjanya belum selesai.”“Kalau begitu, nanti kalau sudah selesai kamu jemput ya. Kasihan dia, motornya kan tinggal di sini.”“Ya ampun, Nda, kok aku lagi yang jemput?”“Ya mesti kamu dong, Rain. Kasihan kan dia, masa gajinya habis untuk bayar taksi.”‘Ah, Bunda selalu saja punya alasan,’ bisik Rain di dalam hati yang membuat Rain lagi-lagi tidak bisa untuk menolak.“Nda, bisa nggak Bunda minta ke dia biar nggak kerja di san
Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan didampingi kuasa hukum masing-masing.“Maaf, kalau kami terlambat,” kata Wisnu membuka percakapan.“Tidak sama sekali.” Reno yang menjawab. Keduanya sama-sama melempar senyum hangat.Wisnu kemudian menyapa keluarga Jacob satu per satu. “Gimana kabarnya, Pak Jacob? Sehat?”Jacob menganggukkan kepala sambil tersenyum berwibawa.“Bu Jasmine sehat juga kan? Arisan lancar, Bu?”“Lancar, Pak. Bisa kita mulai sekarang?” Perempuan itu sudah kehabisan kesabarannya.“Tentu saja bisa, Bu. Tapi sebelum dimulai dan saya membacakan isi kesepakatan, sebaiknya Sydney juga hadir di sini.”“Sebentar.” Jasmine lalu beranjak dari sana untuk kemudian memanggil anaknya di kamar.Selagi menunggu, Wisnu dan Reno saling mendekat dan berbicara dengan suara separuh berbisik mengenai kesepakatan mereka.Selang beberapa menit kemudian Jasmine kembali muncul beserta Sydney serta perawat pribadi. Sementara yang lain duduk di sofa, Sydney duduk sendiri di ku
Sudah berbatang-batang rokok Rain isap. Puntungnya juga hampir menggunung memenuhi asbak. Sementara Wisnu sedang berbicara dengan Kanayya di dalam rumah.Rain menggeleng-gelengkan kepalanya nyaris putus asa kala menyadari saat ini sedang berhadapan dengan siapa. Mau tidak mau Rain mulai menyadari kebenaran perkataan Wisnu bahwa untuk menghadapi orang seperti Jacob dibutuhkan intrik yang cerdik.‘Tuhan… bantuin gue dong…’ Ia berteriak di dalam hati. Di saat itu Rain baru menyadari bahwa mungkin seseorang bisa membantunya. Ale. Jika selama ini sahabatnya itu selalu ada untuknya maka kali ini pasti Ale bisa menolong.”Nyet, bantuin gue,” ucap Rain ketika panggilan terhubung dengan Ale melalui saluran telepon.“Gue harus bantu apa? Kalau gue bisa pasti akan gue lakuin.” Ale menjawab dari seberang sana.“Gue udah bikin perjanjian sama bokapnya Sydney, tapi masa iya sih semua poinnya merugikan gue.” Rain kemudian menceritakan secara detail apa saja isi kesepakatan itu termasuk menyebutkan
“Gimana, Mas Rain? Apa sudah cukup jelas? Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” tanya Reno, pengacara keluarga Jacob setelah sekian menit Rain masih termangu.“Saya nggak bisa tandatangani surat ini sekarang, Pak.” Rain menjawab sembari memandang lurus ke arah sang kuasa hukum.Seluruh keluarga Sydney terkejut mendengar penolakan Rain.“Kenapa? Apa ada yang kurang jelas? Saya bisa terangkan kalau Mas Rain masih kurang mengerti.”“Saya mengerti apa maksud dan tujuannya. Tapi saya nggak setuju pada beberapa poin di dalam surat perjanjian ini.” Rain menyatakan keberatan.“Bagian mana yang Mas Rain tidak setuju? Mungkin kita bisa bicarakan sama-sama.” Reno terus berusaha membujuk Rain. Sebagai kuasa hukum tentunya pria itu piawai bersilat lidah dan andal bernegosiasi.”Hampir semua bagian saya tidak setuju, terutama poin nomor dua, lima dan enam. Untuk apa konferensi pers? Apa kalian ingin membuat saya malu? Kalian ingin orang-orang jadi tahu, begitu tujuan kalian?”“Mas Rain, tolong jang
Jasmine sontak memandang pada Rain dengan tatapan curiga. Untuk apa laki-laki itu hanya meminta berdua saja dengan anaknya di dalam ruangan? Jangan-jangan Rain akan mencelakakan Sydney. Pikiran buruk perempuan itu semakin liar berputar di kepalanya."Kenapa kami harus keluar? Kamu mau apa?" Jasmine memandang miring pada Rain."Saya mau bicara dengan anak Tante.""Tapi kenapa harus berdua? Memangnya apa yang mau dibicarakan?""Tentang solusi masalah ini. Apa Tante nggak ngerti juga? Nanti kalau saya sudah selesai bicara dengan Sydney, Tante dan semuanya boleh masuk. Tapi sekarang tolong kasih saya waktu untuk bicara berdua." Suara tegas Rain kembali membahana.Kemudian Jasmine memandang pada suaminya meminta pertimbangan. Lelaki itu mengerti dan lekas angkat suara. "Kalau kamu memang mau membicarakan solusinya kenapa hanya berdua? Kenapa kami tidak boleh berada di sini?""Om tenang saja, saya hanya minta waktu sebentar. Saya nggak akan mencelakai Sydney kalau memang hal itu yang ada d
Sukar dijabarkan dengan kata-kata bagaimana terkejutnya Kanayya setelah mendengarkan penuturan Jacob padanya. Pikirannya masih sibuk mencerna beberapa menit setelah panggilan dari laki-laki itu berakhir. Hingga kemudian ia tersadar lantas bergerak keluar dari kamarnya.“Rain, ini Bunda!” Kanayya berseru seraya memanggil nama sang putra. Ia merasakan getaran dari suaranya sendiri.Selang beberapa detik setelahnya daun pintu pun terbuka bersama dengan sosok Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya.”Iya, Nda?””Rain mana, Dy?” kejar Kanayya cepat.”Lagi pasang baju, baru siap mandi.”“Kalau sudah selesai langsung temui Bunda.”“Baik, Nda.”Kanayya meninggalkan kamar anaknya sedangkan Lady menutup pintu dan menghampiri Rain yang sedang berpakaian.“Rain, tadi Bunda yang manggil, kalau udah selesai langsung temui.” Lady memberitahu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Kanayya tadi.“Bunda mau ngomong apa, Lad?”“Aku juga nggak tahu, tapi dari yang aku lihat di mukanya Bunda kayak yan
Dentingan notifikasi handphone Rain menginterupsi Rain dan Lady yang sedang bermesraan. Mereka baru saja tiba di rumah sekitar beberapa menit yang lalu dan menghabiskan waktu di kamar.“Siapa lagi sih?” gumam Rain kesal.Lady membantu Rain menjangkau ponsel dan memberikan pada sang suami.Mendapati pesan dari Sydney, Rain berdecih jengkel. “Mau apa lagi sih dia?”Rain kemudian menekuri ponselnya selama beberapa saat. Membaca pesan yang dikirimkan Sydney padanya. Sempat terdiam namun kemudian tertawa ringan. “Ada-ada aja,” gumamnya pelan.“Ada apa, Rain? Siapa yang chat?” tanya Lady di sebelahnya. Rain memberikan gawainya pada Lady agar sang istri bisa membacanya sendiri.Menerima ponsel yang disodorkan Rain, Lady terdiam cukup lama. Sebagai sesama wanita hatinya jelas tergugah. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan Sydney. Kasihan, pikirnya.Apa yang Lady pikirkan lantas ia sampaikan pada sang suami. “Rain, kasihan dia.”“Lad, itu hanya modus, aku harap kamu jangan sampai luluh. Dia
“Kamu mau ke mana?” tanya Kanayya pagi itu pada Rain yang sudah rapi.“Mau ikut Lalad ke toko, Nda.”“Tumben?” “Sekali-sekali aku pikir nggak ada salahnya. Lagian aku juga nggak ada kegiatan di rumah.”Kanayya tidak bertanya lagi. Rain juga tidak mengatakan jika sesungguhnya ia akan bertemu dengan Sydney. Nanti saja. Rain pikir Kanayya tidak perlu tahu urusannya dengan perempuan itu.“Rain, kamu nggak mau ambil job iklan atau apa?” tanya Alana sebelum Rain dan Lady keluar meninggalkan rumah. “Kapan-kapan kali ya, Na, biar masalah ini kelar dulu.”“Bunda setuju. Nanti kamu nggak usah cari manajer baru, biar Lady yang manajerin kamu.” Kanayya menyarankan.Rain memandang pada Lady dan tersenyum lebar. "Boleh juga,” ucapnya. Lalu ia beralih pada Lady, meminta pendapat sang istri. “Kamu mau kan, Lad?”Lady kelihatan bingung. Perempuan itu menggigit bibirnya. “Caranya gimana? Aku nggak punya pengalaman sama sekali.”“Nggak perlu punya pengalaman apa-apa kok, Lad. Kerjaan kamu cuma arrange
“Rain, dibales,” beritahu Lady pada Rain yang sudah naik duluan ke ranjang sedangkan Lady baru saja memakai krim malamnya.“Dia bilang apa?” tanya Rain tanpa membuka mata.“Okay, Bae, besok aku ke sana. I love you.” Lady menyampaikan balasan chat dari Sydney yang baru saja ia baca di handphone Rain.Rain detik itu membuka mata. “Jangan main-main, Lad.” Rain sangka Lady sedang meledeknya dengan kata I love you yang diucapkan Sydney.“Main-main gimana? Nggak percaya nih baca sendiri.” Lady memberikan ponsel di tangannya pada Rain.Lady ternyata tidak bohong. Rain melihat sendiri di gawainya balasan dari Sydney sama persis dengan yang diucapkan Lady.Rain berdecih, lalu setelahnya mematikan ponsel dan meletakkan di nakas.”Nggak kamu bales?” tanya Lady yang kini ikut berbaring di samping Rain di kasur.”Nggak ada yang perlu dibales. Infonya sudah jelas.”“Nggak mau bilang I love you too?” Perempuan itu menggodanya.”Jangan nakal ya, Lad, atau nanti aku–”“Aku apa?” potong Lady kilat.Ra
Malam itu juga Rain meluncur ke apartemen Ale berdua dengan laki-laki itu. Ketika Ale bertanya untuk apa laptop lama tersebut dan apa yang akan mereka cari, Rain masih merahasiakannya. Membuat Ale penasaran setengah mati.“Ayolah, Rain, untuk apa laptop itu?” Ale yang menyetir terus mendesak agar Rain memberitahu.“Nanti lo juga bakal tahu sendiri.” Rain masih bersikukuh merahasiakannya.”Apa bedanya sih nanti sama sekarang?”“Ya bedalah, Nyet. Tapi lo yakin kan kalo laptop itu masih ada?” Sudah sejauh ini akan sia-sia kalau ternyata hasilnya zonk.”Ada kalo nggak dimakan kecoa,” ucap Ale asal.“Garing.”Dengan tidak sabar Rain menarik langkah cepat setelah mereka tiba di Heaven Residence. Gerak-gerik Rain membuat Ale benar-benar penasaran apa sebenarnya yang ingin dicari Rain di laptopnya."Kalo misal nggak ada, gimana?" Ale menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi."Jangan macem-macem lo ya!" ujar Rain cemas."Gue nggak macem-macem. Itu kan misalnya.""Pokoknya harus