Share

3. Tetangga 05 itu...

Penulis: Arthamara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-24 01:23:00

Pagi itu, Doni baru saja keluar dari kampus. Dia kesal bukan kepalang. Sudah tiga kali ini dia mengajukan judul penelitian untuk tugas akhir. Hasilnya masih ditolak, tidak di Acc. Padahal dia merasa sudah melakukan semua saran dari dosen pembimbing.

“Apa harus ganti dosen pembimbing agar bisa lulus 3,5 tahun?” katanya dalam hati diatas sepeda motor matic berwarna dominan putih dengan strip merah tersebut.

Meski masih pagi, udara di sekitar sudah terasa panas. Doni menepikan sepeda motor yang dia tumpangi ke sebuah minimarket modern yang didominasi warna merah dan biru tersebut. Dia segera menyandarkan sepeda motor dan masuk ke dalam.

“Selamat datang di Tiara Mart kak, selamat berbelanja.” Sapa kasir ritel tersebut. Doni cuek dan tidak memperhatikan mereka. Toh, itu juga template pelayanan yang selalu mereka ucapkan.

Netra Doni tertuju pada kulkas berisi minuman segar. Kaki jangkarnya segera menggerakan badan dan tangan membuka penutup bening tersebut. Dia mengambil sebotol air mineral dan kopi susu sejuta umat dari dalam. “Ini saja cukup. Sisanya bisa buat rokok.” Kata Doni pelan.

Dia segera membawa dua botol minuman itu ke kasir, “silakan kak, ada tambahan lain? Ini ada promo wafer cokelat kak. Beli dua gratis 1, “ sapa petugas kasir itu ramah.

“Tambah rokok Djarum Black ya mbak.” Kata Doni.

“Yang ini ya kak? “ tanya petugas itu, sambil menunjukan rokok yang dimaksud pada Doni.

Doni melihat rokok yang dimaksud. Lalu, mengalihkan pandang pada petugas kasir. Wajah yang terlihat familiar, “Kak Erna?”

Erna yang bertugas di kasir itu hanya tersenyum. Tidak segera menjawab. Erna terlihat lebih cantik memakai seragam ketat itu. Buah dadanya terlihat lebih menonjol di tengah putihnya. Tahi lalat di pipi semakin menambah manis senyuman, berbeda dengan malam yang lalu.

“Semuanya 53.200 rupiah kak. Sekalian isi pulsanya?”

Doni tersenyum kecut, “kak Erna formal banget. Aku gak mau bayar loh.”

Erna segera menyahut, ”Kamu sih, dari tadi masuk melihat ke bawah mulu. Nyari duit jatuh? Kalau ada sudah kuambil duluan lah. Mau pakai kantong kresek buat wadah gak? Tambah lima ratus perak ya.”

Doni terkekeh, lalu menyerahkan uang bergambar bapak proklamator bangsa. ” Iya kak. Maaf, habis dari kampus. Kesel bimbingan gak acc dari kemarin.”

Doni segera mengambil kembalian lalu membisikan godaan ke Erna yang tidak lain adalah tetangga apartemennya tersebut. “Kak itu nomorku, telepon saja kalau kakak kesepian.”

Erna meliriknya. Matanya mendelik, raut wajahnya seketika berubah.

Doni merasa kalau yang dia lakukan tadi salah. Dia kembali mendekat, “Maaf kak, bercanda. Kebawa suasana.”

Tiba-tiba Erna langsung tertawa lagi. “Kamu lucu kalau takut, dasar Doni.”

“Eeh…aku kira marah. Ya sudah kak. Aku pulang dulu, selamat bekerja.” kata Doni.

“Hati-hati Don, sampai jumpa nanti malam.” Goda Erna yang langsung disambut dengan lirikan oleh teman-teman sesama karyawan minimarket tersebut.

Doni kembali memacu sepeda motornya menuju ke apartemen Serenity Park. Setelahnya dia memarkirkan kendaraan di parkiran utama seperti biasa. Baru berjalan gontai sambil menenteng tas belanjaan tadi.

Dari parkiran, terdengar suara seorang perempuan paruh baya sedang menggedor pintu apartemen Erna, unit 05. Mendengar itu, Doni berniat memeberi tahu bahwa Erna masih bekerja.

“Permisi bu, cari Mbak Erna ya? Mbak Ernanya lagi…”

“Kasih tahu ya sama Erna. Jangan ngilang terus! Sudah jatuh tempo! Pakai alasan !” jawab perempuan paruh baya itu dan langsung meninggalkan Doni yang tidak lengkap menjelaskan.

“Woow, sudah tua bau tanah kok banyak tingkah! Kok bisa aku yang dimarahin, gak tahu apa-apa juga.” Gerutu Doni yang langsung masuk ke apartemen untuk tamasya ke pulau kapuk.

Beberapa jam kemudian, Erna mengetuk pintu apartemen Doni yang tentu membuatnya harus memaksa membuang lem yang ada di pelupuk mata. Guna membuka pintu.

“Aduh, anak perjaka masih tidur. Sudah sore begini, sudah makan siang belum? Nih aku bawa nasi kotak lagi. Ayo maem bareng.” Sapa Erna.

“Eeh iya kak. Belum sih, masuk kak. “ Jawab Doni. Dia langsung mencuci muka dan mengambil peralatan makan.

“Makasih ya kak. Dua kali kakak, bawakan aku makanan. Kayak program makan bergizi gratis saja nih dari presiden.” Ucap Doni, dia mulai sudah menghabiskan setengah porsi. Erna hanya mengangguk pelan.

“Oh iya kak, tadi ada orang yang nyari Kak Erna. Ibu-ibu tua, galak. Siapa sih itu?“Seru Doni.

“Ooh, itu orang tuaku Don. Biasa, aku harus bayar SPP adikku dan hutang arisan ibu.” Jawab Erna santai.

Doni mengernyitkan dahi mendengar jawaban Erna, hingga Erna selesai mengunyah semua makanan. “Don, aku duluan ya. Harus mandi dan kerja lagi nih.”

“Kerja lagi? kakak kerja dimana dan berapa tempat sih?” Doni keheranan.

“Tiga tempat Don, kadang empat kalau hari libur. Udah ah, aku duluan. Kamu juga mandi, biar gantengnya berlipat.” Ucap Erna mengedipkan mata lalu meninggalkan unit 03.

Malam harinya, sebuah pesan masuk di ponsel Doni. [P. ini Erna, Don, ayo makan bareng lagi. Ke unit 05 ya.]

“Wah, berarti nomorku waktu itu disimpan kak Erna ya” Gumam Doni dan langsung menuju ke unit Erna. Mereka makan bersama lagi. Cukup mengurangi pengeluaran makan Doni selama sehari.

Doni memperhatikan Erna, dia terlihat pucat malam ini. “Kak Erna sakit? Kecapekan paling. Mau aku belikan obat, di apotek depan itu dekat.”

“Panggil Erna saja, kita kan seumuran. Boleh kalau ga ngrepotin. Nih uangnya, sekalian kamu mau beli apa gitu buat camilan.” Kata Erna seraya menyerahkan selembar uang berwarna merah.

“Gak usah kak, aku belikan obat saja, bentar ya kak.” Ujar Doni langsung keluar kompleks apartemen.

Beberapa saat kemudian Doni kembali membawa paracetamol dan vitamin C, namun langkahnya terhenti begitu mendengar ada suara ibu Erna di dalam.

“Kamu ini pakai sakit segala! Mana uangnya, adikmu bisa telat KRS kalau kamu gak transfer!”

Doni menguping.

“Iya bu. Maaf, Erna pusing sedikit. Ini sudah Erna transfer.” Suara Erna terdengar parau.

“Besok kamu harus pulang. Ibu sudah deal sama dealer buat kredit sepeda motor buat adikmu yang terakhir, biar gak malu naik angkot terus. Kalau kamu gak pulang, siapa yang bakal tanda tangan buat ngangsur?!”

“Iya bu. Besok Erna pulang buat ngurus motor baru adik.”

“kewajiban kamu sebagai anak pertama itu!” ibu Erna kembali berucap, lalu menutup pintu apartemen dengan keras dan keluar menuju parkiran.

Disana, seorang berjaket ojek online sudah menunggu. “Ayo cak, cepat ya. Nanti ku bayar lebih.”

Doni hanya mengernyitkan dahi, mulai memahami situasi Erna.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   11. Siapa Lagi ?

    Doni memundurkan kepala. Sebuah lingkaran besar segera muncul membalut sebuah tanya utama. Apa Mbak Nadia melihatku? Bisa panjang nih urusan. Lagian kenapa harus ngintip lagi aku! Don….Don..! " Doa yang terucap kini sebaliknya. Tidak berharap, apa yang dia lakukan tadi dilihat oleh Nadia. Suatu rumus dasar, jika dia bisa melihat Nadia, tentu Nadia juga bisa melihatnya dari celah tersebut. Jantungnya berdetak seperti genderang. Darahnya berdesir. Doni agak sedikit gugup. “Gak asyik kan kalau ketahuan ngintip tetangga pas suaminya gak ada.” Dia mencoba menengadah, berharap pada Sang Kuasa. “Semoga tidak.” Doni memegang dadanya yang masih terasa getaran jantung, tidak melambat. Masih kencang.Baru beberapa saat kemudian dia mendengar pintu depan Nadia dibuka.Ngeek Doni segera berlari ke arah pintu. Membuka pintu membentuk sudut 20 derajat. Dari posisinya diketahui, Nadia hanya mengambil jaket tadi, -bukan melihat ke arah dia mengintip-yang kini dia kenakan keluar unit. Karena, saat

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   10. Apa Dia Melihatku?

    Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut.“Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius.Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi.“Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik.“Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah.Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar.“Begini mba

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   9. Mimpi Apa Semalam?

    “Mas Doni, sembunyi dulu disini ya,” kata Sandra yang langsung dituruti Doni. Tidak ada jalan keluar memang, kecuali hanya sembunyi sementara. Dia juga tidak akan bisa dengan mudah menjelaskan keberadaannya ke suami Sandra tersebut.Sandra segera mengenakan handuk kembali, lalu merapikan rambut dan mengibaskan tangan. Makanan yang dipegangnya memang masih panas. Wajar, dia teriak panik seperti tadi. Dia segera membuka pintu.“Loh, ayah? Sudah pulang. Ini masih jam 10?” Sapa Sandra pada Bayu, suaminya.“Mama kenapa? Kenapa teriak? Ada apa?” Bayu kembali menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaaan balik.Sandra mengatur napas sejenak. Mencoba menguasai keadaan,”Gak apa-apa, yah.”“Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?” tanya Bayu lagi.“Eeh anu yah. Mau mindahin sayur, malah tidak sengaja tumpah kena tangan.” Kata Sandra lalu menunjukan jarinya yang memerah pada Bayu.Suaminya langsung melangkah masuk dan menutup pintu. Memegangi jari jemari istrinya yang memang sedikit memerah.“

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   8. Tragedi Wadah Sayuran

    Tok..tok..tok“Permisi mas, saya sudah selesai. Mana Syakilanya?” Tanya Sandra. Buliran air masih menetes dari rambutnya.Doni segera menunduk. Dia tidak bisa membayangkan kalau handuk itu sampai jatuh. Lagian, untuk sampai ke atas juga harus melewati anak tangga yang lumayan banyak. Mengapa Sandra hanya memakai handuk seperti itu?“Itu mbak, lagi bobok.” Tunjuk Doni, kepanya menoleh ke arah Syakila di ranjang.“Malah ketiduran nih anak. Persis seperti ayahnya, mudah tidur. Ketemu bantal yang cocok, langsung sampai Meksiko.” Kata Sandra dari luar pintu.“Gak apa-apa mbak. Mau dibantu angkat Syakilanya? Atau biarkan dulu disini sampai bangun?” tanya Doni memastikan.“Jangan mas Doni, saya bawa saja. Biar tidur di rumah sendiri saja,” jawab Sandra lalu masuk ke dalam, ”Permisi ya mas, saya bawa Syakila dulu.”Doni mengangguk. Sandra mulai berjalan ke arah anaknya yang tertidur pulas. Aroma wangi sabun mandi yang menempel di tubuh Sandra terasa sangat menggoda hidung dan pikiran Doni. Ap

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   7. Gagal Bimbingan Lagi

    Doni segera mengusap mata. Menekan ujung senjata torpedo di balik celana. “Mengecilah, memalukan.” Gumamnya pelan. Nadia yang menindihnya malah memeluk Doni lebih erat.“Aku takut hewan reptil mas. Phobia.” Ucap Nadia, tubuhnya sedikit bergetar.“Sudah gak ada mbak, aman.” Doni, semakin tidak kuat menahan. Baik berat badan Nadia yang menindihnya, maupun nafsu yang terfokus ke rudal di bawah. Doni membuang napas berat. Nadia menyadarinya dan langsung melepas pelukannya, lalu bangkit.“Maaf ya mas. Aku beneran takut sama cicak maupun reptil. “ ucap Nadia dengan nada lembut.Doni segera bangun. Lalu meski dengan nyawa yang masih seperempat, dia melipat kembali tangga dan meletakan di tempat semula.“Mbak, saya balik dulu ya. Mau ngerjain skripsi nih. Kalau ada apa-apa, telpon saja.” Ucap Doni dan dia langsung berjalan ke arah pintu.“Telpon? Dapat nomormu dari mana? Kan belum kamu kasih.” sahut Nadia.“oh ya mba, 08…” lalu Doni langsung kembali ke apartemennya.Doni masuk, langsung menar

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   6. Gara-Gara Cicak

    Pagi itu Doni tidak berangkat ke kampus. Dia melakukan peregangan, setelah berlari pagi sekitar 1 jam keliling jalan sekitar kompleks. Karena dia orang baru disana, perlu sekiranya mengenal kawasan sekitar. Iya, minimal tahu dimana harus membeli sarapan atau galon isi ulang.“Loh Mas Doni, gak masuk kuliah? Kok masih santai berjemur.” Sapa Ikhsan, suami Nadia.Doni bangkit, melepas sepatu olah raga dan menjemurnya, “Iya nih mas. Dosen pembimbing keluar kota semua. Jadi banyak di apartemen saja. Musim gini di rumah memang gabut sih, tapi keluar bentar ya buat bangkrut.”Ikhsan tertawa, dia mulai mengenakan sepatu dinas. “Benar. Semua mahal ya, gampang boncos.”“Sudah mau berangkat dinas mas? Damkar sekarang lagi favorit dan bintang lima di masyarakat ya.”“Iya begitulah Don. Ngrokok gak? “ Ujar Ikhsan sambil menyerahkan sekotak rokok.“Ngerokok sih, tapi abis olah raga. Yah, gak papa sih ya..hahaha.” Jawab Doni, lalu mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di bibir lalu menyulutnya.“

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status