LOGINPagi itu, Doni baru saja keluar dari kampus. Dia kesal bukan kepalang. Sudah tiga kali ini dia mengajukan judul penelitian untuk tugas akhir. Hasilnya masih ditolak, tidak di Acc. Padahal dia merasa sudah melakukan semua saran dari dosen pembimbing.
“Apa harus ganti dosen pembimbing agar bisa lulus 3,5 tahun?” katanya dalam hati diatas sepeda motor matic berwarna dominan putih dengan strip merah tersebut. Meski masih pagi, udara di sekitar sudah terasa panas. Doni menepikan sepeda motor yang dia tumpangi ke sebuah minimarket modern yang didominasi warna merah dan biru tersebut. Dia segera menyandarkan sepeda motor dan masuk ke dalam. “Selamat datang di Tiara Mart kak, selamat berbelanja.” Sapa kasir ritel tersebut. Doni cuek dan tidak memperhatikan mereka. Toh, itu juga template pelayanan yang selalu mereka ucapkan. Netra Doni tertuju pada kulkas berisi minuman segar. Kaki jangkarnya segera menggerakan badan dan tangan membuka penutup bening tersebut. Dia mengambil sebotol air mineral dan kopi susu sejuta umat dari dalam. “Ini saja cukup. Sisanya bisa buat rokok.” Kata Doni pelan. Dia segera membawa dua botol minuman itu ke kasir, “silakan kak, ada tambahan lain? Ini ada promo wafer cokelat kak. Beli dua gratis 1, “ sapa petugas kasir itu ramah. “Tambah rokok Djarum Black ya mbak.” Kata Doni. “Yang ini ya kak? “ tanya petugas itu, sambil menunjukan rokok yang dimaksud pada Doni. Doni melihat rokok yang dimaksud. Lalu, mengalihkan pandang pada petugas kasir. Wajah yang terlihat familiar, “Kak Erna?” Erna yang bertugas di kasir itu hanya tersenyum. Tidak segera menjawab. Erna terlihat lebih cantik memakai seragam ketat itu. Buah dadanya terlihat lebih menonjol di tengah putihnya. Tahi lalat di pipi semakin menambah manis senyuman, berbeda dengan malam yang lalu. “Semuanya 53.200 rupiah kak. Sekalian isi pulsanya?” Doni tersenyum kecut, “kak Erna formal banget. Aku gak mau bayar loh.” Erna segera menyahut, ”Kamu sih, dari tadi masuk melihat ke bawah mulu. Nyari duit jatuh? Kalau ada sudah kuambil duluan lah. Mau pakai kantong kresek buat wadah gak? Tambah lima ratus perak ya.” Doni terkekeh, lalu menyerahkan uang bergambar bapak proklamator bangsa. ” Iya kak. Maaf, habis dari kampus. Kesel bimbingan gak acc dari kemarin.” Doni segera mengambil kembalian lalu membisikan godaan ke Erna yang tidak lain adalah tetangga apartemennya tersebut. “Kak itu nomorku, telepon saja kalau kakak kesepian.” Erna meliriknya. Matanya mendelik, raut wajahnya seketika berubah. Doni merasa kalau yang dia lakukan tadi salah. Dia kembali mendekat, “Maaf kak, bercanda. Kebawa suasana.” Tiba-tiba Erna langsung tertawa lagi. “Kamu lucu kalau takut, dasar Doni.” “Eeh…aku kira marah. Ya sudah kak. Aku pulang dulu, selamat bekerja.” kata Doni. “Hati-hati Don, sampai jumpa nanti malam.” Goda Erna yang langsung disambut dengan lirikan oleh teman-teman sesama karyawan minimarket tersebut. Doni kembali memacu sepeda motornya menuju ke apartemen Serenity Park. Setelahnya dia memarkirkan kendaraan di parkiran utama seperti biasa. Baru berjalan gontai sambil menenteng tas belanjaan tadi. Dari parkiran, terdengar suara seorang perempuan paruh baya sedang menggedor pintu apartemen Erna, unit 05. Mendengar itu, Doni berniat memeberi tahu bahwa Erna masih bekerja. “Permisi bu, cari Mbak Erna ya? Mbak Ernanya lagi…” “Kasih tahu ya sama Erna. Jangan ngilang terus! Sudah jatuh tempo! Pakai alasan !” jawab perempuan paruh baya itu dan langsung meninggalkan Doni yang tidak lengkap menjelaskan. “Woow, sudah tua bau tanah kok banyak tingkah! Kok bisa aku yang dimarahin, gak tahu apa-apa juga.” Gerutu Doni yang langsung masuk ke apartemen untuk tamasya ke pulau kapuk. Beberapa jam kemudian, Erna mengetuk pintu apartemen Doni yang tentu membuatnya harus memaksa membuang lem yang ada di pelupuk mata. Guna membuka pintu. “Aduh, anak perjaka masih tidur. Sudah sore begini, sudah makan siang belum? Nih aku bawa nasi kotak lagi. Ayo maem bareng.” Sapa Erna. “Eeh iya kak. Belum sih, masuk kak. “ Jawab Doni. Dia langsung mencuci muka dan mengambil peralatan makan. “Makasih ya kak. Dua kali kakak, bawakan aku makanan. Kayak program makan bergizi gratis saja nih dari presiden.” Ucap Doni, dia mulai sudah menghabiskan setengah porsi. Erna hanya mengangguk pelan. “Oh iya kak, tadi ada orang yang nyari Kak Erna. Ibu-ibu tua, galak. Siapa sih itu?“Seru Doni. “Ooh, itu orang tuaku Don. Biasa, aku harus bayar SPP adikku dan hutang arisan ibu.” Jawab Erna santai. Doni mengernyitkan dahi mendengar jawaban Erna, hingga Erna selesai mengunyah semua makanan. “Don, aku duluan ya. Harus mandi dan kerja lagi nih.” “Kerja lagi? kakak kerja dimana dan berapa tempat sih?” Doni keheranan. “Tiga tempat Don, kadang empat kalau hari libur. Udah ah, aku duluan. Kamu juga mandi, biar gantengnya berlipat.” Ucap Erna mengedipkan mata lalu meninggalkan unit 03. Malam harinya, sebuah pesan masuk di ponsel Doni. [P. ini Erna, Don, ayo makan bareng lagi. Ke unit 05 ya.] “Wah, berarti nomorku waktu itu disimpan kak Erna ya” Gumam Doni dan langsung menuju ke unit Erna. Mereka makan bersama lagi. Cukup mengurangi pengeluaran makan Doni selama sehari. Doni memperhatikan Erna, dia terlihat pucat malam ini. “Kak Erna sakit? Kecapekan paling. Mau aku belikan obat, di apotek depan itu dekat.” “Panggil Erna saja, kita kan seumuran. Boleh kalau ga ngrepotin. Nih uangnya, sekalian kamu mau beli apa gitu buat camilan.” Kata Erna seraya menyerahkan selembar uang berwarna merah. “Gak usah kak, aku belikan obat saja, bentar ya kak.” Ujar Doni langsung keluar kompleks apartemen. Beberapa saat kemudian Doni kembali membawa paracetamol dan vitamin C, namun langkahnya terhenti begitu mendengar ada suara ibu Erna di dalam. “Kamu ini pakai sakit segala! Mana uangnya, adikmu bisa telat KRS kalau kamu gak transfer!” Doni menguping. “Iya bu. Maaf, Erna pusing sedikit. Ini sudah Erna transfer.” Suara Erna terdengar parau. “Besok kamu harus pulang. Ibu sudah deal sama dealer buat kredit sepeda motor buat adikmu yang terakhir, biar gak malu naik angkot terus. Kalau kamu gak pulang, siapa yang bakal tanda tangan buat ngangsur?!” “Iya bu. Besok Erna pulang buat ngurus motor baru adik.” “kewajiban kamu sebagai anak pertama itu!” ibu Erna kembali berucap, lalu menutup pintu apartemen dengan keras dan keluar menuju parkiran. Disana, seorang berjaket ojek online sudah menunggu. “Ayo cak, cepat ya. Nanti ku bayar lebih.” Doni hanya mengernyitkan dahi, mulai memahami situasi Erna.Hujan berhenti menjelang fajar, tapi langit tetap kelabu. Aroma tanah basah bercampur bau obat-obatan di koridor rumah sakit. Di dalam ruang ICU, mesin monitor berhenti berdetak beberapa detik, lalu berbunyi datar. Mata sembab Nadia sangat kentara karena dia memang terjaga hampir semalaman. Namun, doa dan harapan untuk kesembuhan suaminya lebih terasa menggelora untuk dia dapatkan dengan mengalahkan rasa kantuk dan lelah tersebut. Doni yang kebetulan ikut bersama Nadia menyaksikan betapa besarnya harapan Nadia. “Nad…istirahat dulu.” Ucap Doni pelan. Meski dia tahu jawaban apa yang akan keluar dari Nadia. Benar, Nadia hanya menggeleng. Netranya fokus ke tubuh Ikhsan yang lemas di atas ranjang. Beeeep... “Dokter! Tolong!” jerit Nadia, suaranya parau. Dua perawat dan dokter berlari masuk. Doni berdiri kaku di luar kaca, napasnya tercekat. Lampu merah menyala di atas pintu. Ia menatap tanpa berputar seperti dunia berhenti berputar. Di dalam, dokter berusaha melakukan resusitasi. Sa
Doni merasa hari-hari ini lebih berat. Permohonan pengambilan datanya ditolak oleh perusahaan kedua. Padahal, dia harus mendapatkan data dari minimal 3 sumber perusahaan berbeda. Sejak pagi dia sudah ke kampus. Konsultasi dengan dosen pembimbing, lalu mencoba menghubungi perusahaan rekanan kampus. Dan mengurus surat permohonan perizinan lagi di tata usaha. “Mas Doni, emang kemarin ditolak? “ Tanya Mira. Perempuan itu mengenakan jilbab berwarna hitam tipis dengan pakaian yang longgar. Sangat sopan untuk petugas formal di kampus. Berbeda dengan pakaian yang dikenakan saat keluar dengan Doni beberapa hari lalu. “Iya nih Mir, ditolak lagi. Aku harus memulai dari awal ini. Bantuin ya? “ Jawab Doni sambil mengangkat alis. “Oke saja. Tapi tidak ada yang gratis ya. Harus bayar. “ Ucap Mira, tidak kalah menggoda Doni. Seakan mereka berdua saling memanfaatkan situasi. “Apa memang bayarnya coba? “ Mira memberi kode ke Doni untuk mendekat. “Jalan-jalan ke bukit paralayang nanti
Rumah sakit malam itu terasa seperti dunia yang berhenti berputar. Hanya bunyi tetesan infus dan langkah kaki perawat yang bergema di koridor panjang. Doni duduk di kursi tunggu ruang ICU, bahunya bersandar ke dinding. Di sebelahnya, Nadia menatap kosong ke lantai, wajahnya pucat dan lelah.Doni melirik jam tangan. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Mereka belum makan sejak siang.“Nad,” katanya pelan, “kamu lapar, nggak? Aku beliin bubur, ya?”Nadia menggeleng. “Aku nggak bisa makan. Rasanya kayak ada batu di dada.”Doni menghela napas. “Kamu butuh tenaga, Nad. Kalau kamu tumbang, siapa yang jagain bayi kalian nanti?”Nadia menunduk, menatap perutnya yang datar. “Aku bahkan belum sempat kasih tahu Ikhsan kalau aku hamil… Don. Aku telat sadar. Aku sibuk marah, sibuk merasa paling benar.” Suaranya pecah. “Sekarang dia di dalam sana, berjuang sendiri.”Doni menatapnya lama. “Nad, kamu nggak salah. Siapa pun bisa marah. Nggak ada yang tahu kejadian kayak gini bakal datang.”“Tapi aku sempa
Doni yang mendengar dari luar langsung memegang bahunya, menuntunnya keluar ruangan.“Nad, tenang dulu. Tenang…”Nadia menatap Doni dengan mata yang penuh air.“Doni... aku nggak siap kehilangan dia...”Doni memeluk Nadia dengan pelan, menahan suaranya agar tidak pecah.“Kamu nggak akan kehilangan dia, Nad. Ikhsan masih berjuang. Kadang... orang yang hampir kehilangan nyawa itu justru yang paling keras bertahan.”Nadia menatap Doni, air matanya masih mengalir.“Kenapa Tuhan uji kami seperti ini?”Doni menghela napas, menatap langit-langit rumah sakit.“Mungkin... karena Tuhan tahu kalian cukup kuat untuk saling menggenggam di tengah api.”Hening. Hanya suara hujan di luar jendela yang perlahan turun lagi — seolah langit ikut meneteskan air mata untuk cinta yang tengah berjuang antara hidup dan mati.Beberapa jam setelah keluar dari rumah sakit, Doni masih belum tenang. Suara alat medis, tangisan Nadia, dan wajah pucat Ikhsan terus berputar di pikirannya. Ia menatap Nadia yang tertidur
Seperti layaknya pekerja pada umumnya, Doni pagi buta segera mengirim pesan untuk memperoleh izin tidak masuk kerja pada Sylvi. Dia mengirim pesan yang formal pada atasan sekaligus orang yang menaruh perasaan lebih padanya. [Oke, aku gak kemana-mana minggu ini. Semua aku handle dari apartemen. Lagi malas keluar. Mau kemana kamu kok izin? “] Begitu bunyi jawaban dari pesan Sylvi. Doni segera membalas. [Ambil data penelitian di perusahaan kedua. Kemarin aku sudah memasukan berkas. Terima kasih atas izinnya. ] [Kamu gak mau ambil data di perusahaan kita saja? Data apa sih yang mau kamu ambil? ] Tawaran dari pesan Sylvi sepertinya mengasyikkan. Namun, Doni tidak memiliki rencana untuk itu. Dia memilih untuk mengambil data di perusahaan lain saja. Agar, datanya lebih netral dan valid. [Aku ambil data di perusahaan lain. Semoga berhasil dan bisa segera lulus. Biar bisa melamar kamu. ] Beberapa detik kemudian… Sylvi membalas. [AKU GAK MAU NIKAH! ] Doni hanya tertawa membaca ba
Tok..tok..toksuara pintu diketuk menggerakan kepala Doni untuk menggeser tulang punggungnya menjauhi kursi. Dia melirik mesin berpenggerak sederhana, yang menempel di dinding diatas lemari bajunya.[Pukul 19.35]“Iya…silakan masuk?” Sapa Doni, seraya membuka pintu.Di depannya tampak perempuan dengan daster dan tubuh yang lebih berisi. Baik bagian belakang maupun depan.“Maa….mas Doni..” sapa perempuan itu. Rambutnya memanjang sampai pinggang.“Mbak Nadia? Ada apa mbak? “ Tanya Doni.Tampak Nadia seperti dilanda kebingungan. Terlihat dari cara perempuan itu menatap juga gerakan tangannya yang menggulung ujung dasternya. “Mas… mas Ikhsan… “ Suara Nadia tercekat, nyaris tak terdengar. “Iya mbak? Kenapa Mas Ikhsan? ““Dia tidak ada kabar mas. ““Mbak tenang dulu. Mungkin mas Ikhsan lagi ngurusin tugas mbak. Damkar kan lagi bagus memang di mata masyarakat akhir-akhir ini. “Nadia mendongakan kepala sejenak, menatap Doni yang masih berusaha menenangkannya. Tiba-tiba Nadia malah menangi