Keesokan hari di ruangan dosen, Doni kembali mengajukan judul skripsi pada dosen pembimbing utama. Beliau adalah Prof.Anas, guru besar di universitas yang sering tugas luar kota karena mengerjakan pengabdian masyarakat dan program pemerintah. Jadi, termasuk sulit ditemui, sehingga Doni harus memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk konsultasi.
“Nak Doni, judul penelitiannya harus lebih mengerucut ya. Boleh, parameter penelitiannya itu saja. Tapi latar belakang dan cakupan wilayahnya coba lebih di detailkan. Lalu, sampelnya di perbanyak. Buka lagi mata kuliah metodologi penelitian ya. Terakhir, jangan pakai AI ya. Boleh pakai jurnal SINTA 4 atau buku terbitan dibawah tahun 2005 kalau memang kesulitan menemukan teori baru. Itu saja, temui bapak hari Selasa pukul 9 disini lagi ya.” Jelas Prof. Anas, dengan ramah. Beliau memang terkenal tegas namun detail dalam menjelaskan.
“Baik prof, berarti saya bawa lagi dan rubah judul ya prof.” Ujar Doni. Ini sudah judul ketiga yang dia ajukan.
“Betul. Pakai Studi saja judulnya, begitu ya, semangat mengerjakan. Cukup, panggil mahasiswa berikutnya.” Tutup Prof. Anas yang langsung membuat Doni keluar dari ruangan tersebut dan langsung menuju parkiran kendaraan. Sejak masuk di semester ini, dia sudah mengurangi nongkrong ataupun kegiatan organisasi. Fokus skripsi, dan lulus cepat.
Saat perjalanan pulang, dia melewati minimarket tempat Erna bekerja. Ia teringat ucapan ibunya kalau Erna harus pulang ke rumah orang tuanya tentu ia tidak berkerja hari ini. Dia langsung menarik gas lebih kencang menuju apartemen. Dia diburu waktu untuk segera mengerjakan revisi. Karena besok harus bertemu dengan dosen pembimbing 2.
Butuh waktu sekitar 20 menit dari kampus ke apartemen dengan kecepatan standar. Namun dengan kecepatan tinggi Doni sampai apartemen kurang dari itu.
Saat akan memasuki apartemen, tetangga unit sebelah yang selalu mengganggu tidur terlihat menjemur pakaian di depan. Tetangganya itu mengenakan hotpants dan kaos sangat ketat. Dada atas sampai leher terlihat putih dengan p4ntat yang menonjol.
“Pertanda dia adalah perempuan subur, dari gluteus,” batin Doni. Dia menelan sativa dengan mata terpaku ke sana.
Tidak bisa dipungkiri, badan perempuan menggoda pandangan netra. Tubuhnya bukan ramping seperti model fashion show, tetapi padat di tempat yang tepat. Bahunya tegap, pinggangnya tidak kecil. Tiap lekuknya tampak kokoh, seolah diciptakan untuk dipuja semata. Layaknya perempuan yang tidak mencoba menjadi siapa-siapa selain dirinya sendiri.
Doni tersenyum ke arah perempuan itu, tetapi tidak menyapa. Dia masih teringat kejadian beberapa malam lalu:
Dengan napas yang tertahan, perempuan itu menyentuh pusat dirinya sendiri. Diantara kedua pangkal kaki. Bukan untuk melampiaskan, melainkan untuk mendengar, memahami tubuh, dan balas dendam yang entah kepada siapa. Perempuan itu menyentuh dirinya sendiri di kamar selepas suaminya berangkat kerja. Akhirnya perempuan itu mengerang dan mendesah pelan beberapa menit, di balik celah dari kamar.
“Loh mas, sudah pulang yah? Maaf yah jemurannya sayah pakai semuah duluh. Mumpung air mengalir deras, jadi nyucih banyak. “ Sapa perempuan itu terdengar sangat manja pada Doni yang lewat begitu saja.
Doni tentu menjadi kikuk dan merasa bersalah karena tidak menyapa yang lebih tua darinya lebih dulu. “Oh iya mbak, pakai saja. Saya bisa laundry nanti.”
Perempuan itu berjalan ke arah Doni, mengelus pahanya beberapa kali. Dan duduk di teras depan unit Doni. “Mas, penghuni baru yah? Kenalkan sayah Nadia, Nadia Citra Vega lengkapnyah.”
Doni menelan air liur kembali, tidak menyangka akan berkenalan dan memandang paha mulus tersebut dari dekat. “Andai bisa menyentuhnya.” Gumam Doni.
“Mas, kok ngelamun?” Sahut Nadia kemudian.
“Eeh mbak, sa..saya Doni mbak.” Jawab Doni terbata-bata.
“Aaah, Si mamas nih. Pakai malu-malu segala. Kita kan bertetangga.” Jawab Nadia lagi.
“Eeh iya mbak, bertetangga. Saya masuk dulu ya mbak, mau ngerjain revisian skripsi.” Ujar Doni kemudian berusaha menghindar.
“Eeh masih kuliah yah mas? Iya mamas ganteng. Senengnya punya tetangga baru aku.” Ucap Nadia lagi yang sudah ditinggal Doni masuk ke dalam begitu saja.
Doni langsung masuk ke kamar. Dia melepas jaket yang dikenakan dan langsung berbaring di atas ranjang.
“Wuuhh dia sangat seksi ya, tapi suaminya tidak bisa memuaskan.” Katanya dalam hati.
Dia segera bangun dan duduk di kursi belajar. Mengambil revisian barusan. Dari posisi tersebut, dia bisa dengan jelas melihat keseksian Nadia yang masih melanjutkan menjemur pakaian.
Tanpa dikomando senjata bawahnya mengeras. Doni segera menekan ujung rudal dari balik celana. Berharap, segera mengecil. Namun, karena matanya tetap tertuju ke perempuan itu yang menjemur pakaian di luar, usahanya tadi sia-sia.
Kemolekan tubuh perempuan benar-benar mengganggu pikiran. Juga pandangannya. Apalagi desahannya dan suara manjanya itu, membuat teringiang.
Senjata Doni semakin mengeras, dan matanya tetap terarah pada perempuan itu diluar. Gak mungkin dia bermain sekarang kan?
Doni mengepalkan tangan. Dia harus berani berbohong. Dia selama ini memang selalu jujur, hampir tidak pernah berbohong. Itu yang membuat dia tidak disukai keluarga juga kerabat.“Tidak tahu bang. Aku baru saja keluar.”Doni terpaksa berbohong, baru berbohong. Dia harus melakukan itu untuk menyelamatkan Chika yang bersembunyi di kamarnya. Bukankah berbohong untuk kebaikan itu diperbolehkan? Begitulah pesan guru agama saat dia duduk di bangku SMP dulu.“Mari bang kubantu. Abang harus istirahat, abang mabuk berat ini. Dimana apartemen abang?” tanya Doni lagi.Laki-laki berjaket hitam itu berusaha melempar tangan Doni yang membantunya. “Aku tidak mabuk. Lepaskan aku,” katanya lalu bangkit kembali.Doni hanya melihatnya sejenak. Membiarkan laki-laki itu berjalan menjauhinya.“Chika….kemana kamu. Beri aku uang! Aku harus membalas kekalahanku.” Teriak laki-laki itu lagi.Dia berjalan ke arah parkiran sepeda motor utama. Doni hanya melihatnya dari arah samping tangga. Lalu, beberapa detik ber
Doni memundurkan kepala. Sebuah lingkaran besar segera muncul membalut sebuah tanya utama. Apa Mbak Nadia melihatku? Bisa panjang nih urusan. Lagian kenapa harus ngintip lagi aku! Don….Don..! " Doa yang terucap kini sebaliknya. Tidak berharap, apa yang dia lakukan tadi dilihat oleh Nadia. Suatu rumus dasar, jika dia bisa melihat Nadia, tentu Nadia juga bisa melihatnya dari celah tersebut. Jantungnya berdetak seperti genderang. Darahnya berdesir. Doni agak sedikit gugup. “Gak asyik kan kalau ketahuan ngintip tetangga pas suaminya gak ada.” Dia mencoba menengadah, berharap pada Sang Kuasa. “Semoga tidak.” Doni memegang dadanya yang masih terasa getaran jantung, tidak melambat. Masih kencang.Baru beberapa saat kemudian dia mendengar pintu depan Nadia dibuka.Ngeek Doni segera berlari ke arah pintu. Membuka pintu membentuk sudut 20 derajat. Dari posisinya diketahui, Nadia hanya mengambil jaket tadi, -bukan melihat ke arah dia mengintip-yang kini dia kenakan keluar unit. Karena, saat
Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut.“Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius.Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi.“Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik.“Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah.Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar.“Begini mba
“Mas Doni, sembunyi dulu disini ya,” kata Sandra yang langsung dituruti Doni. Tidak ada jalan keluar memang, kecuali hanya sembunyi sementara. Dia juga tidak akan bisa dengan mudah menjelaskan keberadaannya ke suami Sandra tersebut.Sandra segera mengenakan handuk kembali, lalu merapikan rambut dan mengibaskan tangan. Makanan yang dipegangnya memang masih panas. Wajar, dia teriak panik seperti tadi. Dia segera membuka pintu.“Loh, ayah? Sudah pulang. Ini masih jam 10?” Sapa Sandra pada Bayu, suaminya.“Mama kenapa? Kenapa teriak? Ada apa?” Bayu kembali menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaaan balik.Sandra mengatur napas sejenak. Mencoba menguasai keadaan,”Gak apa-apa, yah.”“Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?” tanya Bayu lagi.“Eeh anu yah. Mau mindahin sayur, malah tidak sengaja tumpah kena tangan.” Kata Sandra lalu menunjukan jarinya yang memerah pada Bayu.Suaminya langsung melangkah masuk dan menutup pintu. Memegangi jari jemari istrinya yang memang sedikit memerah.“
Tok..tok..tok“Permisi mas, saya sudah selesai. Mana Syakilanya?” Tanya Sandra. Buliran air masih menetes dari rambutnya.Doni segera menunduk. Dia tidak bisa membayangkan kalau handuk itu sampai jatuh. Lagian, untuk sampai ke atas juga harus melewati anak tangga yang lumayan banyak. Mengapa Sandra hanya memakai handuk seperti itu?“Itu mbak, lagi bobok.” Tunjuk Doni, kepanya menoleh ke arah Syakila di ranjang.“Malah ketiduran nih anak. Persis seperti ayahnya, mudah tidur. Ketemu bantal yang cocok, langsung sampai Meksiko.” Kata Sandra dari luar pintu.“Gak apa-apa mbak. Mau dibantu angkat Syakilanya? Atau biarkan dulu disini sampai bangun?” tanya Doni memastikan.“Jangan mas Doni, saya bawa saja. Biar tidur di rumah sendiri saja,” jawab Sandra lalu masuk ke dalam, ”Permisi ya mas, saya bawa Syakila dulu.”Doni mengangguk. Sandra mulai berjalan ke arah anaknya yang tertidur pulas. Aroma wangi sabun mandi yang menempel di tubuh Sandra terasa sangat menggoda hidung dan pikiran Doni. Ap
Doni segera mengusap mata. Menekan ujung senjata torpedo di balik celana. “Mengecilah, memalukan.” Gumamnya pelan. Nadia yang menindihnya malah memeluk Doni lebih erat.“Aku takut hewan reptil mas. Phobia.” Ucap Nadia, tubuhnya sedikit bergetar.“Sudah gak ada mbak, aman.” Doni, semakin tidak kuat menahan. Baik berat badan Nadia yang menindihnya, maupun nafsu yang terfokus ke rudal di bawah. Doni membuang napas berat. Nadia menyadarinya dan langsung melepas pelukannya, lalu bangkit.“Maaf ya mas. Aku beneran takut sama cicak maupun reptil. “ ucap Nadia dengan nada lembut.Doni segera bangun. Lalu meski dengan nyawa yang masih seperempat, dia melipat kembali tangga dan meletakan di tempat semula.“Mbak, saya balik dulu ya. Mau ngerjain skripsi nih. Kalau ada apa-apa, telpon saja.” Ucap Doni dan dia langsung berjalan ke arah pintu.“Telpon? Dapat nomormu dari mana? Kan belum kamu kasih.” sahut Nadia.“oh ya mba, 08…” lalu Doni langsung kembali ke apartemennya.Doni masuk, langsung menar