Share

4. Gak Mungkin Sekarang

Author: Arthamara
last update Huling Na-update: 2025-07-24 01:23:37

Keesokan hari di ruangan dosen, Doni kembali mengajukan judul skripsi pada dosen pembimbing utama. Beliau adalah Prof.Anas, guru besar di universitas yang sering tugas luar kota karena mengerjakan pengabdian masyarakat dan program pemerintah. Jadi, termasuk sulit ditemui, sehingga Doni harus memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk konsultasi.

“Nak Doni, judul penelitiannya harus lebih mengerucut ya. Boleh, parameter penelitiannya itu saja. Tapi latar belakang dan cakupan wilayahnya coba lebih di detailkan. Lalu, sampelnya di perbanyak. Buka lagi mata kuliah metodologi penelitian ya. Terakhir, jangan pakai AI ya. Boleh pakai jurnal SINTA 4 atau buku terbitan dibawah tahun 2005 kalau memang kesulitan menemukan teori baru. Itu saja, temui bapak hari Selasa pukul 9 disini lagi ya.” Jelas Prof. Anas, dengan ramah. Beliau memang terkenal tegas namun detail dalam menjelaskan.

“Baik prof, berarti saya bawa lagi dan rubah judul ya prof.” Ujar Doni. Ini sudah judul ketiga yang dia ajukan.

“Betul. Pakai Studi saja judulnya, begitu ya, semangat mengerjakan. Cukup, panggil mahasiswa berikutnya.” Tutup Prof. Anas yang langsung membuat Doni keluar dari ruangan tersebut dan langsung menuju parkiran kendaraan. Sejak masuk di semester ini, dia sudah mengurangi nongkrong ataupun kegiatan organisasi. Fokus skripsi, dan lulus cepat.

 Saat perjalanan pulang, dia melewati minimarket tempat Erna bekerja. Ia teringat ucapan ibunya kalau Erna harus pulang ke rumah orang tuanya tentu ia tidak berkerja hari ini. Dia langsung menarik gas lebih kencang menuju apartemen. Dia diburu waktu untuk segera mengerjakan revisi. Karena besok harus bertemu dengan dosen pembimbing 2.

Butuh waktu sekitar 20 menit dari kampus ke apartemen dengan kecepatan standar. Namun dengan kecepatan tinggi Doni sampai apartemen kurang dari itu.

Saat akan memasuki apartemen, tetangga unit sebelah yang selalu mengganggu tidur terlihat menjemur pakaian di depan. Tetangganya itu mengenakan hotpants dan kaos sangat ketat. Dada atas sampai leher terlihat putih dengan p4ntat yang menonjol.

“Pertanda dia adalah perempuan subur, dari gluteus,” batin Doni. Dia menelan sativa dengan mata terpaku ke sana.

Tidak bisa dipungkiri, badan perempuan menggoda pandangan netra. Tubuhnya bukan ramping seperti model fashion show, tetapi padat di tempat yang tepat. Bahunya tegap, pinggangnya tidak kecil. Tiap lekuknya tampak kokoh, seolah diciptakan untuk dipuja semata. Layaknya perempuan yang tidak mencoba menjadi siapa-siapa selain dirinya sendiri.

Doni tersenyum ke arah perempuan itu, tetapi tidak menyapa. Dia masih teringat kejadian beberapa malam lalu:

Dengan napas yang tertahan, perempuan itu menyentuh pusat dirinya sendiri. Diantara kedua pangkal kaki. Bukan untuk melampiaskan, melainkan untuk mendengar, memahami tubuh, dan balas dendam yang entah kepada siapa. Perempuan itu menyentuh dirinya sendiri di kamar selepas suaminya berangkat kerja.  Akhirnya perempuan itu mengerang dan mendesah pelan beberapa menit, di balik celah dari kamar.

“Loh mas, sudah pulang yah? Maaf yah jemurannya sayah pakai semuah duluh. Mumpung air mengalir deras, jadi nyucih banyak. “ Sapa perempuan itu terdengar sangat manja pada Doni yang lewat begitu saja.

Doni tentu menjadi kikuk dan merasa bersalah karena tidak menyapa yang lebih tua darinya lebih dulu. “Oh iya mbak, pakai saja. Saya bisa laundry nanti.”

Perempuan itu berjalan ke arah Doni, mengelus pahanya beberapa kali. Dan duduk di teras depan unit Doni. “Mas, penghuni baru yah? Kenalkan sayah Nadia, Nadia Citra Vega lengkapnyah.”

Doni menelan air liur kembali, tidak menyangka akan berkenalan dan memandang paha mulus tersebut dari dekat. “Andai bisa menyentuhnya.” Gumam Doni.

“Mas, kok ngelamun?” Sahut Nadia kemudian.

“Eeh mbak, sa..saya Doni mbak.” Jawab Doni terbata-bata.

“Aaah, Si mamas nih. Pakai malu-malu segala. Kita kan bertetangga.” Jawab Nadia lagi.

“Eeh iya mbak, bertetangga. Saya masuk dulu ya mbak, mau ngerjain revisian skripsi.” Ujar Doni kemudian berusaha menghindar.

“Eeh masih kuliah yah mas? Iya mamas ganteng. Senengnya punya tetangga baru aku.” Ucap Nadia lagi yang sudah ditinggal Doni masuk ke dalam begitu saja.

 Doni langsung masuk ke kamar. Dia melepas jaket yang dikenakan dan langsung berbaring di atas ranjang.

“Wuuhh dia sangat seksi ya, tapi suaminya tidak bisa memuaskan.” Katanya dalam hati.

Dia segera bangun dan duduk di kursi belajar. Mengambil revisian barusan. Dari posisi tersebut, dia bisa dengan jelas melihat keseksian Nadia yang masih melanjutkan menjemur pakaian.

Tanpa dikomando senjata bawahnya mengeras. Doni segera menekan ujung rudal dari balik celana. Berharap, segera mengecil. Namun, karena matanya tetap tertuju ke perempuan itu yang menjemur pakaian di luar, usahanya tadi sia-sia.

Kemolekan tubuh perempuan benar-benar mengganggu pikiran. Juga pandangannya. Apalagi desahannya dan suara manjanya itu, membuat teringiang.

Senjata Doni semakin mengeras, dan matanya tetap terarah pada perempuan itu diluar. Gak mungkin dia bermain sekarang kan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Donita Syihabuan
apa ya itu
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 140. Rasa Bersalah

    Dengan balutan jaket dan helm, di atas motornya meluncur kencang menembus jalanan kota, rintik rintik air hujan membuat pandangannya buram. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan—tapi karena pikiran yang seperti dikejar ribuan setan.Nadia pingsan. Pendarahan. Mencari dia sebelum jatuh.Sebuah rasa bersalah meremas dadanya. “Kenapa harus sekarang… kenapa semua harus malam ini?” gumamnya lirih, suara pecah oleh ketakutan yang tak mau ia akui.Ia menambah gas.Motor bergetar. Jalanan terlihat memanjang tanpa ujung. Pikiran Doni kacau balau, tidak bisa fokus. Nadia… ancaman… Bagas… Mira… Semuanya menumpuk seperti badai yang menggulung otaknya.“Fokus, Don. Fokus!” ia berteriak di balik helm.Namun otaknya tidak mau patuh.Tiba-tiba—Dari sisi kanan, seorang anak kecil berlari menyeberang jalan sambil memeluk boneka.Doni terlalu cepat.Terlalu dekat.Terlalu terlambat.“ANJ—!!”Ia rem sekuat tenaga—CITTTTTTTTTTTTT!Ban motornya berteriak melawan aspal. Motor oleng. Seluruh tubuh Don

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 139. Siapa Pelakunya?

    Di luar kini, udara malam terasa menusuk. Doni bersandar di tembok, memegang pipinya yang juga nyeri. Rokok masih membara di asbak. Suara notifikasi ponselnya berbunyi terus-menerus. Dengan malas ia membuka. Dan dadanya langsung jatuh. Ada video pertengkaran mereka — baru saja, beberapa menit lalu — sudah masuk ke grup kampus. Grup yang sama tempat foto Mira tersebar. Komentar-komentar muncul satu per satu, sebagian menertawakan, sebagian mengejek, sebagian membuat lelucon dari perkelahian itu. Doni memejamkan mata, frustrasi. “Apa-apaan ini…” gumamnya lirih. Ia menatap video itu lagi. Para mahasiswa seperti mendapatkan “bahan hiburan” baru. Bahkan ada yang membuat meme dari pukulan pertama. Doni mengusap wajahnya. “Kalau ini jadi lelucon lagi… berarti memang ada yang mengamati aku dan Mira dari awal….” Doni mengambil rokok yang ada di asbak, menghisap panjang lalu menonton video itu lagi. “Anton… bukan kamu,” gumamnya, “pelakunya bukan kamu, Ton. “ Doni menatap kegelapan

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 138. Anton Lagi?

    Doni sudah di atas sepeda motor, bersiap melanjutkan pulang. Pertemuan dengan Mira seakan menambah masalah baru. Padahal, untuk bisa ke target seminar hasil hanya tinggal selangkah lagi. Ponselnya tetiba bergetar, Doni mengeluarkan benda pipih dengan layar sentuh sensitif tersebut. Ia menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Mira. Singkat, namun berat: “Aku ditegur dekanat… kita jauhi dulu sementara. Aku butuh waktu dan jarak. .” Kata-kata itu seperti batu besar yang menghantam dadanya. Ada rasa sesak yang sulit diusir, terlebih saat ia membayangkan wajah Mira yang biasanya ceria kini mungkin tertunduk penuh tekanan. Sejak kabar kedekatan mereka tersebar ke seluruh grup kampus beserta foto-foto yang diambil diam-diam, Mira terpaksa menahan malu sekaligus ketakutan akan dampak karier akademiknya. Sesuatu yang sudah jadi cita-cita Mira sejak lama. Doni menggenggam ponsel itu erat-erat, rahangnya mengeras. Seseorang sudah melampaui batas. Doni m

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 137. Usaha Serius Doni

    Doni melihat semua berbeda. Bukan Mira yang ia kenal kemarin, bukan Mira yang cerewet kuat dan suka menggoda sambil pura-pura marah setiap kali Doni lupa minum air atau sekadar bercandaan kecil. Bukan pula Mira yang selalu ceria dan yakin semua baik-baik saja. Ini Mira yang berbeda. Perlahan Doni mendekat. “Mir… boleh duduk?” Mira tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Doni duduk di sampingnya, menjaga jarak beberapa sentimeter. “Tadi kamu bilang jangan sering ketemu dulu. Kenapa?” Mira menghela napas. “Doni… kamu tahu sendiri. Sekarang semua orang ngomongin kita. Bahkan bagian fakultas aja sudah manggil aku.” “Tapi itu bukan salah kamu,” Doni menahan suara, berusaha tetap tenang. “Memangnya kenapa sih kalau aku dekat sama kamu? Lagian…” ia berhenti sebentar, memberanikan diri melanjutkan, “…kita juga udah mau lamaran juga kan?” Mira langsung menegang. Ia menatap Doni, tapi bukan dengan pancaran hangat yang biasa. Tatapannya kini seperti orang yang menahan sesu

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 136. Usaha Doni

    Doni masih berusaha menyelesaikan urusan kampus. Sebuah target besar apabila bisa beres sampai sidang ujian akhir dan wisuda, target kecil minimal selesai seminar hasil karena itu tahapan awal mendaftar ujian akhir. Hanya sejak malam di café itu, suasana kampus berubah seperti udara dingin yang tiba-tiba menempel di tengkuk. Bagaimanapun menyelesaikan urusan kampus adalah prioritas. Maka, mau tidak mau harus melawan ketidaknyamanannya. Doni masuk ke koridor fakultas keesokan menjelang siangnya dengan kepala masih berat—bukan karena begadang menyelesaikan data, tetapi karena pikirannya penuh kekacauan. Ada rasa yang mengganjal di hati. Tentu pada Mira. “Hemh.. Ada yang kurang. “ Gumam Doni lalu mengambil ponsel dari saku. Ia mengirim satu pesan singkat pada Mira sebelum masuk ke ruang Dosen: Doni: [ Mir, maaf soal semalam. Kalau kamu capek sama masalahku,

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 135. Pilihan Doni

    Sylvi mengetukkan pena hitam ke meja, kepalanya mengangguk. “Don, jadi kamu memilih menyelesaikan kuliahmu daripada menemaniku, ke Bali?” Tanya Sylvi dengan tatapan tajam ke arah Doni. Doni menatap tajam ke Sylvi, lalu tersenyum sebentar. “Karena disana kehadiranku tidak terlalu berdampak. Lagi pula, kalau aku bisa segera lulus juga akan lebih fokus ke pekerjaan dan aku bisa berkontribusi nyata. Aku bisa membuktikan kalau aku memang pantas di perusahaan ini, pantas di posisi ini.” Sylvi mengerlingkan mata, “Apa ada masalah dengan staff lain? ada anak-anak yang mengganggu kenyamananmu?” Doni terdiam sesaat. Menjawab apa adanya akan menimbulkan kesusahan untuk orang lain. Dia kenal Sylvi, selalu berprinsip mudah mencari orang baru. “Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri juga padamu.” “Kamu bilang saja kalau ada yang membuatmu tidak nyaman!” Pungkas Sylvi di ruangan tersebut yang membuat Doni merasa jawaban tadi sudah tepat. Doni melirik ke arah jari manis Sylvi, jari itu pol

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status