Hari-hari bagi Rose berjalan seperti yang sudah-sudah. Sudah satu minggu berlalu sejak pernikahannya dilangsungkan, dan selama itu pula kehidupan rumah tangganya berjalan tanpa ada halangan yang berarti. Kecuali teror boneka berdarah di awal pernikahan mereka. Selebihnya, tidak ada teror-teror lain setelah hari itu.
Rose mengesah pelan, memilih untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di kepala. Kaki jenjangnya ia bawa melangkah memasuki toko kue kebanggaannya dengan tangan kanan menenteng tas dan tangan satunya membawa rantang makanan.
"Sudah sampai mana perombakannya?" Rose mendekati Arka, meletakkan rantang makanannya di meja.Arka menoleh, kemudian melipat kedua tangannya sambil bersandar pada pilar. "Sudah hampir selesai semuanya. Siang nanti aku akan pergi ke pusat kota untuk mencari beberapa lampu kandelir dan kepala rusa imitasi seperti permintaanmu kemarin," jelasnya. "Ngomong-ngomong, apa yang kau bawa itu?"<"Aku yakin kau masih menginginkanku." Padma tersenyum puas sebab dia mampu menaklukan hati laki-laki itu.Reega membuang napasnya. "Kau memang ahlinya dalam menggodaku." Dia merapikan kemeja dan jasnya. Tak lupa pula memasang kembali dasinya.Padma terkekeh. "Itu karena kau masih mencintaiku." Tangannya terulur membantu memasangkan dasi kekasihnya."Ya, kau benar. Satu-satunya perempuan yang ada di hatiku hanya dirimu, Padma.""Tapi kau sudah memiliki istri."Reega berdeham. "Kita bisa menjalin hubungan diam-diam tanpa dia tahu," ucapnya dengan santai.Reega berani mengatakan hal tersebut karena isi perjanjian pernikahannya dengan Rose. Yaitu keduanya boleh berhubungan dengan kekasih masing-masing dengan syarat jangan sampai publik tahu. Perihal perjanjian itu tidak boleh ada satu pun orang yang tahu termasuk Padma."Bagaimana jika wartawan dan publik tahu? Mereka pasti akan menganggapku pelak
Rose terbangun di pagi hari dengan rasa pening luar biasa. Ia cepat-cepat berlari ke wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya di sana. Rose sedikit berjengit ketika merasakan tengkuknya dipijat perlahan, diliriknya cermin di hadapannya dan menemukan Reega di sana."Sudah?" tanya Reega ketika Rose mulai membasuh mulutnya dan berkumur, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh perempuan itu. "Kalau sudah, pergilah ke meja makan. Aku sudah membelikanmu sup untuk meredakan pengar.""Berapa banyak yang kuminum semalam?" Rose bertanya sambil membasuh wajahnya."Cukup banyak," jawab Reega. "Apa kau selalu seperti ini? Melarikan masalahmu dengan alkohol, apa kau menemukan jalan keluar setelahnya?"Rose menggeleng. "Tidak." Ia berhenti membasuh wajah dan mengeringkannya dengan handuk kecil yang ada di samping cermin. Kepalanya masih pening, tapi setidaknya sudah lebih baik dibandingkan tadi.
"Maaf, Bu Padma. Pak Reega sedang meeting," tegur Ilona ketika Padma melewati mejanya.Kedua mata mata Padma memanas. "Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya Ibu! Apa saya setua itu?" Dia menghela napas. "Aku akan menunggunya di dalam."Padma langsung masuk ke dalam ruangan Reega tanpa persetujuan Ilona. Kedatangannya kali ini ke kantor Reega bukan tanpa alasan. Dia akan membahas kontrak kerja sama menjadi brand ambassador produk terbaru dari perusahaan kekasihnya itu.Padma mengedarkan pandangannya dan menangkap sebuah bingkai besar berisi foto pernikahan kekasihnya dengan perempuan lain. Sebelah tangannya terkepal, dia kesal karena seharusnya yang berada di sana adalah dirinya."Kau sudah datang? Maaf telah membuatmu menunggu." Reega datang dengan membawa dua cup kopi di tangannya."Ya, membosankan sekali."Reega terkekeh lantas menyodorkan kopi di hadapan Padma. "Minumlah. Supaya
[Jangan senang dulu, kejutan lain masih menunggu.]]Rose sedang meletakkan baju-baju miliknya dan milik Reega di atas tempat tidur saat ingatan mengenai gumpalan kertas di teras rumah pagi tadi berkelebat di kepalanya. Ia meletakkan kertas tersebut di bawah bantal. Berhubung mamanya menginap semalam, maka seluruh pakaian dan barang-barang milik Rose juga masih ada di kamar Reega."Kau sedang apa?" Reega masuk ke kamar dengan handuk yang tersampir di lehernya."Memang kelihatannya aku sedang apa?" Rose balik bertanya. "Aku sedang menyiapkan pakaian untuk kita besok.""Aku baru tahu kalau kau bisa menyiapkan pakaian sambil melamun," sarkas Reega. Laki-laki itu berjalan menuju lemari dan menarik koper besar dari atas sana. "Sebenarnya kita tidak perlu membawa apa-apa, tinggal beli saja di sana."&
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ajak Ezar begitu orang sekitar mulai memperhatikan mereka berdua.Rose menyetujuinya, dia berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ezar dari belakang. Sementara di dalam mobil, Reega sejak tadi memperhatikan mereka dengan penasaran. Akan tetapi, dia tidak ingin mengambil pusing karena itu adalah urusan mereka."Jelaskan padaku siapa wanita itu?" Rose sudah tak sabar menunggu penjelasan dari Ezar. Keduanya kini sudah berada di ruang kerja pribadi Rose."Sumpah demi apapun, aku tidak pernah membawa wanita lain ke apartemenku kecuali kau, Rose.""Bullshit! Aku dengar sendiri suara desahan dan eranganmu di dalam kamar," ucap Rose terang-terangan. Ezar mengusap wajahnya. Dia merutuki kebodohannya karena membuat Rose salah paham. Dia tidak tahu pada saat penyakitnya kambuh Rose datang ke ap
Rose mengenakan kacamata hitamnya begitu mereka tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Sementara Reega berjalan di sampingnya sembari menarik koper berisi pakaian. Keduanya sengaja memilih penerbangan pagi hari agar memiliki lebih banyak waktu bersantai dan beristirahat setibanya di penginapan.Berbeda dengan Reega yang hanya mengenakan t-shirt putih polos dipadu celana jeans selutut, Rose tampak lebih modis dengan v-neck blouse putih dan straight pants berwarna kuning."Mama bilang sudah menyiapkan mobil untuk kita selama di sini." Rose berujar, menyamakan langkahnya yang sedikit tertinggal dengan Reega."Oke," angguk Reega. "Kau mau berjalan-jalan sebentar atau langsung pergi ke villa?" tanyanya."Langsung ke villa saja, aku butuh istirahat sebentar."Reega mengiyakan, lantas keduanya terus berjalan hingga seseorang datang menghampiri
"Aku sudah memesan makanan yang enak di sini," ucap Reega seraya menutup dan mengambil buku menu yang ada di tangan Rose."Oh, baiklah." Rose menyenderkan tubuhnya di kursi. Ia memandangi pemandangan pantai di depannya. "Indah sekali, bukan?" Rose menoleh pada Reega. Lelaki itu justru tengah sibuk dengan ponselnya. "Di waktu seperti ini, kau masih saja sibuk sendiri.""Ini penting, soal pekerjaan." Reega membalas sindiran Rose.Tak lama kemudian pesanan yang dipesan Reega mulai berdatangan satu per satu. Rose terperanjat karena makanan yang dihidangkan hampir memenuhi meja mereka."Kau memesan sebanyak ini? Kau yakin bisa menghabiskannya?" Rose masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya."Kau khawatir semua ini tidak akan habis? Kau tidak lapar? Aku sangat lapar." Reega berkata dengan santai. Ponselnya sudah dia simpan di saku. "Ayo, kita makan.""Aku lapar. Tapi tidak sebanyak ini juga," protes R
Hal pertama yang dilakukan Rose setelah membuka mata adalah beringsut ke tepian tempat tidur dengan wajah kaget luar biasa. Sebab alih-alih tidur memeluk guling, ia justru memeluk Reega yang tidur di sampingnya."Astaga, bisa-bisanya aku berpelukan dengannya seperti teletubbies." Rose menggumam sambil menggelengkan kepalanya. Rose membereskan laptop yang mereka pakai semalam, kemudian bergerak untuk membuka horden kamar."Ck, silau sekali." Reega menggumam dengan suara yang tidak jelas.Rose menoleh ke sumber suara dan menemukan Reega yang kini mengubah posisi dengan mata yang masih tertutup. Rose menjepit rambutnya ke belakang dan menghampiri Reega lantas menarik selimutnya."Bangunlah, sudah siang. Kita akan pergi setelah ini," ujarnya. "Hah, pemalas sekali laki-laki ini."Reega hanya menggumam tanpa berniat membuka matanya. "Lima menit lagiii.""A