"Aku tidak menyangka kalau kau punya waktu luang untuk hal sepele seperti ini." Rose berucap seraya membuka bungkus kado.
"Aku mengambil cuti beberapa hari. Lagi pula, aku harus memastikan sendiri kalau semua kado ini aman.""Yang benar saja. Kita sudah membuka sebanyak ini, lihatlah! Tidak ada yang aneh ataupun mencurigakan. Mana mungkin mereka mencelakakan kita." Rose tidak percaya selagi belum mendapatkan keanehan apa pun. "Kecurigaanmu berlebihan."Reega membuang napas berat. "Siapa yang akan menjamin kalau kau benar-benar aman?"Bahu Rose merosot. "Ya, terserah kau saja. Lakukan apapun yang kau mau." Diambilnya kotak kado lain yang masih terbungkus rapi.Entah perasaan Rose mendadak tidak enak saat membuka kado yang dipegangnya. Benar saja, ada sesuatu yang aneh dari kado tersebut. Rose tidak berani membuka kado itu sebab aroma menyengat dan tidak sedap tertangkap hidungnya meski samar."Aaaaaaaa ...." Rose teriak dan melempar kado tersebut usai memberanikan diri membukanya."Ada apa, Rose?" Reega panik dan langsung mengambil kado yang dilempar Rose. "Astaga!" pekiknya ketika mendapati isinya adalah sebuah boneka menyeramkan yang berlumuran darah hewan."Kalian baik-baik saja? Suara teriakan Rose terdengar sampai di luar." Felix datang sambil berlari."Lihat ini!" Reega memberikan kotak kado yang dipegangnya pada Felix. "Seseorang berusaha meneror Rose lagi."Felix menerimanya lantas melihat sebentar lalu menjauhkannya. "Ya ampun, bau sekali.""Bagaimana, Rose? Kau percaya? Mereka tidak akan berhenti menerormu sebelum keinginan mereka terpenuhi," ujar Reega."Tapi kenapa mereka terus menerorku? Apa yang salah?""Apa kau punya musuh?"Rose mengernyit. "Tidak. Aku sama sekali tidak memiliki musuh." Dia mengusap dagunya yang tidak gatal. "Peluang yang paling besar mempunyai musuh adalah kau, Ga. Bisa jadi dari fansmu atau fans Padma."Reega terdiam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Felix, tolong segera kau selidiki siapa pengirim kado itu. Aku yakin dia orang yang sama di balik kebakaran dan surat itu.""Baiklah. Akan kukabari perkembangan selanjutnya." Langkah Felix diurungkan, karena mengingat satu hal. "Oh, ya. Aku dengar Padma sudah kembali dari luar kota. Kau ingin menemuinya?"Reega tidak langsung menjawab. Dia memandang Rose dengan serba salah. Perempuan itu sudah menjadi istrinya meski sebatas hitam di atas putih. Meski keduanya tidak memiliki perasaan yang sama, biar bagaimanapun juga Reega berusaha menjaga perasaan Rose."Keselamatan Rose lebih penting untuk sekarang ini," ucap Reega dengan tegas."Aku tidak masalah kalau kau ingin menemui Padma. Aku bisa menjaga diriku." Rose tidak ambil pusing. Lagi pula dia ingat perjanjian mereka di awal bahwa tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing.Dering ponsel milik Reega berbunyi menampilkan nama Padma sebagai penelepon. Dia mengembuskan napas berat, mengingat beberapa hari lalu perempuan itu sengaja menghilang darinya bahkan tidak menghadiri pernikahannya membuat Reega semakin kesal."Kau tidak mau mengangkatnya?" Rose melirik suaminya sembari melanjutkan membuka kado."Tidak penting." Reega mematikan handphone lalu memasukkannya ke dalam saku celana. "Mari kita tuntaskan semua ini," lanjutnya.***Jatah cuti kantor telah berakhir hari ini. Itu artinya, Reega harus kembali pada pekerjaannya sebagai seorang CEO. Meski tugas dan pekerjaannya dia limpahkan sementara pada Ilona, tetap saja yang bertanggung jawab adalah dirinya.Sudah seminggu menjalani pernikahan, selama itu pula tidak ada masalah di antara mereka. Keduanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah walau tidak selalu bersama."Permisi, Pak. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda." Ilona masuk bersama seorang perempuan.Reega menghentikan kesibukannya dan beralih pandang pada Ilona serta perempuan di samping sekretarisnya. Melihat siapa yang datang, mood Reega seketika berubah."Kau boleh kembali bekerja." Ucapan Reega barusan dimaksudkan untuk Ilona. Sang sekretaris mengangguk dan pamit.Suasana di dalam ruaangan mendadak panas padahal alat pendingin ruangan berfungsi sebagaimana mestinya. Reega tidak mengubah posisinya, dia masih terduduk di balik meja kerja."Ehm." Reega berdeham. "Ada apa? Apa yang membawamu datang menemuiku?""Maaf aku baru menemuimu sekarang dan maaf aku tidak bisa hadir ke pernikahanmu." Perempuan itu melangkah mendekati meja kerja Reega kemudian mengambil tempat duduk. "Selamat atas pernikahan kalian," lanjutnya.Reega tersenyum kecut. "Kelihatannya kau biasa saja, Padma. Kau justru menikmati pekerjaanmu. Apa kau senang jika aku menikah dengan orang lain?""Maksudku bukan seperti itu, Ga. Kau paling tahu siapa yang kucintai, yaitu dirimu." Padma meraih sebelah tangan Reega dengan lembut. "Tapi karirku lebih penting untuk saat ini."Reega melepas genggaman Padma dengan kasar. "Kau tidak mencintaiku, Padma. Kau hanya peduli dengan karirmu.""Kau salah paham. Kau dan karirku sama pentingnya bagiku."Padma berdiri dari duduk sambil melepas outer putih yang dipakainya. Dress merah menyala dengan lengan terbuka, menampakkan dadanya yang menyembul serta paha putih mulusnya. Dia berjalan memutari Reega kemudian berdiri tepat di belakang lelaki itu.Padma menunduk agar lebih dekat dengan lelaki yang masih menjadi kekasihnya itu. Dia membisikkan sesuatu, "Percayalah kau satu-satunya yang spesial di hatiku." Suaranya terdengar sedikit serak.Susah payah Reega menelan salivanya. Dia tahu bahwa saat ini Padma tengah menggodanya. Akan tetapi, tidak semudah itu Padma menggoyahkan pertahanannya.Padma manarik dirinya menjauh, dia tidak putus asa mengambil hati Reega karena dia tahu lelaki itu masih mencintainya. Perempuan itu mengambil tempat dan mendudukkan dirinya di atas meja kerja Reega.Padma menyilangkan kaki hingga paha mulusnya terekspos sempurna. Dia tersenyum miring kala Reega membuang wajah ke arah lain. Padma mengambil dasi Reega, memainkannya sesuka hati untuk menggoda laki-laki itu."Aku merindukanmu," ucap Padma sambil terus memainkan dasi yang dipakai Reega. "Apa kau merindukanku juga?" Dia menarik kencang dasi itu hingga Reega terbangun dan mengungkung perempuan itu.Wajah keduanya sangat dekat, hanya berjarak satu jengkal. Walau begitu, Reega belum juga membuka suaranya. Perlahan Padma menarik dari itu lagi dan menyisakan sedikit jarak di antara keduanya."Aku rasa kau merindukanku juga." Padma menyadari jika Reega berkeringat dan terus-menerus menelan saliva.Tanpa pikir panjang lagi, Padma langsung menerjang bibir Reega. Lelaki itu tetap diam bahkan tidak membalas ciuman Padma. Kesal karena Reega tidak membalas, Padma menggigit bibir bawah Reega.Reega mengerang. Dalam lubuk hatinya, dia sudah tidak tahan lagi. Dia membalas ciuman Padma dengan brutal. Tak dipungkiri pula jika dirinya juga sangat merindukan perempuan itu.Siapa sangka tiba-tiba seorang perempuan masuk dengan membawa rantang makanan. Mereka berdua tidak menyadari kehadirannya hingga perempuan itu tak tahan melihat pergulatan panas di depannya. Dia pun menitipkan rantang tersebut pada Ilona.Hari-hari bagi Rose berjalan seperti yang sudah-sudah. Sudah satu minggu berlalu sejak pernikahannya dilangsungkan, dan selama itu pula kehidupan rumah tangganya berjalan tanpa ada halangan yang berarti. Kecuali teror boneka berdarah di awal pernikahan mereka. Selebihnya, tidak ada teror-teror lain setelah hari itu.Rose mengesah pelan, memilih untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di kepala. Kaki jenjangnya ia bawa melangkah memasuki toko kue kebanggaannya dengan tangan kanan menenteng tas dan tangan satunya membawa rantang makanan."Sudah sampai mana perombakannya?" Rose mendekati Arka, meletakkan rantang makanannya di meja.Arka menoleh, kemudian melipat kedua tangannya sambil bersandar pada pilar. "Sudah hampir selesai semuanya. Siang nanti aku akan pergi ke pusat kota untuk mencari beberapa lampu kandelir dan kepala rusa imitasi seperti permintaanmu kemarin," jelasnya. "Ngomong-ngomong, apa yang kau bawa itu?"
"Aku yakin kau masih menginginkanku." Padma tersenyum puas sebab dia mampu menaklukan hati laki-laki itu.Reega membuang napasnya. "Kau memang ahlinya dalam menggodaku." Dia merapikan kemeja dan jasnya. Tak lupa pula memasang kembali dasinya.Padma terkekeh. "Itu karena kau masih mencintaiku." Tangannya terulur membantu memasangkan dasi kekasihnya."Ya, kau benar. Satu-satunya perempuan yang ada di hatiku hanya dirimu, Padma.""Tapi kau sudah memiliki istri."Reega berdeham. "Kita bisa menjalin hubungan diam-diam tanpa dia tahu," ucapnya dengan santai.Reega berani mengatakan hal tersebut karena isi perjanjian pernikahannya dengan Rose. Yaitu keduanya boleh berhubungan dengan kekasih masing-masing dengan syarat jangan sampai publik tahu. Perihal perjanjian itu tidak boleh ada satu pun orang yang tahu termasuk Padma."Bagaimana jika wartawan dan publik tahu? Mereka pasti akan menganggapku pelak
Rose terbangun di pagi hari dengan rasa pening luar biasa. Ia cepat-cepat berlari ke wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya di sana. Rose sedikit berjengit ketika merasakan tengkuknya dipijat perlahan, diliriknya cermin di hadapannya dan menemukan Reega di sana."Sudah?" tanya Reega ketika Rose mulai membasuh mulutnya dan berkumur, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh perempuan itu. "Kalau sudah, pergilah ke meja makan. Aku sudah membelikanmu sup untuk meredakan pengar.""Berapa banyak yang kuminum semalam?" Rose bertanya sambil membasuh wajahnya."Cukup banyak," jawab Reega. "Apa kau selalu seperti ini? Melarikan masalahmu dengan alkohol, apa kau menemukan jalan keluar setelahnya?"Rose menggeleng. "Tidak." Ia berhenti membasuh wajah dan mengeringkannya dengan handuk kecil yang ada di samping cermin. Kepalanya masih pening, tapi setidaknya sudah lebih baik dibandingkan tadi.
"Maaf, Bu Padma. Pak Reega sedang meeting," tegur Ilona ketika Padma melewati mejanya.Kedua mata mata Padma memanas. "Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya Ibu! Apa saya setua itu?" Dia menghela napas. "Aku akan menunggunya di dalam."Padma langsung masuk ke dalam ruangan Reega tanpa persetujuan Ilona. Kedatangannya kali ini ke kantor Reega bukan tanpa alasan. Dia akan membahas kontrak kerja sama menjadi brand ambassador produk terbaru dari perusahaan kekasihnya itu.Padma mengedarkan pandangannya dan menangkap sebuah bingkai besar berisi foto pernikahan kekasihnya dengan perempuan lain. Sebelah tangannya terkepal, dia kesal karena seharusnya yang berada di sana adalah dirinya."Kau sudah datang? Maaf telah membuatmu menunggu." Reega datang dengan membawa dua cup kopi di tangannya."Ya, membosankan sekali."Reega terkekeh lantas menyodorkan kopi di hadapan Padma. "Minumlah. Supaya
[Jangan senang dulu, kejutan lain masih menunggu.]]Rose sedang meletakkan baju-baju miliknya dan milik Reega di atas tempat tidur saat ingatan mengenai gumpalan kertas di teras rumah pagi tadi berkelebat di kepalanya. Ia meletakkan kertas tersebut di bawah bantal. Berhubung mamanya menginap semalam, maka seluruh pakaian dan barang-barang milik Rose juga masih ada di kamar Reega."Kau sedang apa?" Reega masuk ke kamar dengan handuk yang tersampir di lehernya."Memang kelihatannya aku sedang apa?" Rose balik bertanya. "Aku sedang menyiapkan pakaian untuk kita besok.""Aku baru tahu kalau kau bisa menyiapkan pakaian sambil melamun," sarkas Reega. Laki-laki itu berjalan menuju lemari dan menarik koper besar dari atas sana. "Sebenarnya kita tidak perlu membawa apa-apa, tinggal beli saja di sana."&
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ajak Ezar begitu orang sekitar mulai memperhatikan mereka berdua.Rose menyetujuinya, dia berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ezar dari belakang. Sementara di dalam mobil, Reega sejak tadi memperhatikan mereka dengan penasaran. Akan tetapi, dia tidak ingin mengambil pusing karena itu adalah urusan mereka."Jelaskan padaku siapa wanita itu?" Rose sudah tak sabar menunggu penjelasan dari Ezar. Keduanya kini sudah berada di ruang kerja pribadi Rose."Sumpah demi apapun, aku tidak pernah membawa wanita lain ke apartemenku kecuali kau, Rose.""Bullshit! Aku dengar sendiri suara desahan dan eranganmu di dalam kamar," ucap Rose terang-terangan. Ezar mengusap wajahnya. Dia merutuki kebodohannya karena membuat Rose salah paham. Dia tidak tahu pada saat penyakitnya kambuh Rose datang ke ap
Rose mengenakan kacamata hitamnya begitu mereka tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Sementara Reega berjalan di sampingnya sembari menarik koper berisi pakaian. Keduanya sengaja memilih penerbangan pagi hari agar memiliki lebih banyak waktu bersantai dan beristirahat setibanya di penginapan.Berbeda dengan Reega yang hanya mengenakan t-shirt putih polos dipadu celana jeans selutut, Rose tampak lebih modis dengan v-neck blouse putih dan straight pants berwarna kuning."Mama bilang sudah menyiapkan mobil untuk kita selama di sini." Rose berujar, menyamakan langkahnya yang sedikit tertinggal dengan Reega."Oke," angguk Reega. "Kau mau berjalan-jalan sebentar atau langsung pergi ke villa?" tanyanya."Langsung ke villa saja, aku butuh istirahat sebentar."Reega mengiyakan, lantas keduanya terus berjalan hingga seseorang datang menghampiri
"Aku sudah memesan makanan yang enak di sini," ucap Reega seraya menutup dan mengambil buku menu yang ada di tangan Rose."Oh, baiklah." Rose menyenderkan tubuhnya di kursi. Ia memandangi pemandangan pantai di depannya. "Indah sekali, bukan?" Rose menoleh pada Reega. Lelaki itu justru tengah sibuk dengan ponselnya. "Di waktu seperti ini, kau masih saja sibuk sendiri.""Ini penting, soal pekerjaan." Reega membalas sindiran Rose.Tak lama kemudian pesanan yang dipesan Reega mulai berdatangan satu per satu. Rose terperanjat karena makanan yang dihidangkan hampir memenuhi meja mereka."Kau memesan sebanyak ini? Kau yakin bisa menghabiskannya?" Rose masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya."Kau khawatir semua ini tidak akan habis? Kau tidak lapar? Aku sangat lapar." Reega berkata dengan santai. Ponselnya sudah dia simpan di saku. "Ayo, kita makan.""Aku lapar. Tapi tidak sebanyak ini juga," protes R