Share

Tamu Tak Diundang (II)

"Bagaimana, Pak? Apakah ada niat baik membayar utang yang sudah jatuh tempo kemarin?" tanya salah seorang penagih yang bertubuh paling besar dengan nada intimidatif. Wajahnya rapat di hadapan suamiku. Aroma rokok berhembus sampai jarak beberapa meter dari mulutnya yang tak tertutup masker. Bagaimana bila ia mengidap Corona?

Perutnya buncit. Mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang dibuka tiga kancing atasnya, bulu dada menyembulnya menambah kesan angker. Kacamata hitam digantung di atas ubun-ubun ditopang rambut yang ikal.

"Iii.. Iya. Sss.. Saya akan bayar. Tapi minta waktu beberapa hari lagi. Uangnya akan saya siapkan." Aku bisa melihat getaran kaki Mas Priyo. Tangannya menggenggam erat jubahku yang berdiri di belakang. Pita suaranya bergetar hebat.

"Sekarang aja, Pak. Kami tunggu."

"Saya baru saja menyelenggarakan acara pernikahan kemarin. Masih sibuk beres-beres. Paling lama tiga hari lagi lah, sudah saya bayar." Kedua telapak tangan Mas Priyo menyatu di depan tubuhnya membuat gerakan khas memohon.

"Halaah... Apa hubungannya acara pernikahan dengan bayar utang? Apalagi bapak baru dapat amplop dari tamu undangan kan? Pasti balik modal tuh. Malah untung. Tidak bisa jadi alasan untuk tidak bayar utang." Intonasi orang itu meninggi.

Yang lain bersuara, "Oooh penganten baru rupanya. Ini ya istrinya? Cantik sekali. Boleh kenalan, Mbak? Hehehe..." Ia memegang lenganku.

"EH, JANGAN PEGANG PEGANG," aku berteriak sembari mundur dua langkah. Aku bisa muntah di tempat saat ini juga melihat seringai yang menjijikkan dari orang yang berkulit legam itu.

Keadaan makin tidak terkendali. Salah seorang lagi dari mereka memegang-megang televisi 60 inch yang terpasang menyandar tembok di salah satu sisi ruang tamu. "Besar juga tivinya ini, Pak. Boleh kami bawa pulang ya?"

Yang lebih gila lagi ketika ada yang mengacak-ngacak bufet seraya berkata, "Pak, boleh liat konci mobilnya ada di mana?"

Suamiku masih diam mematung. Lalu seorang debt collector yang paling besar badannya berujar, "Gimana? Bisa ya bayar hari ini juga?"

"Mmm.. Mohon kasih waktu sampai..."

"Saya bayar hari ini juga," aku memotong nada gugup suamiku. "Tapi kalian semua keluar sekarang."

"Galak amat, Mbak. Penganten baru harus ramah sama tamu undangan. Hehehe..." Orang yang sempat memegang lenganku tadi berbicara.

"Kami gak pernah undang kalian ya. Sekarang kalau niat kalian cuma mau menagih utang, mohon tunggu di luar. Nanti akan saya tunjukkan bukti pembayaran. Gak lama," kataku setengah membentak.

"Mohon izin kami ngadem di dalam lah, Mbak. Di luar panas." 

"Keluar sekarang. Kalian mau nagih utang mau merampok?"

Orang yang bertubuh paling besar di hadapan Mas Priyo mengajak gerombolan itu keluar dengan gerakan tangan melambai. Setelah tak ada orang lagi di dalam rumah, aku mengambil gawai dari saku untuk membuka aplikasi perbankan dengan maksud mentransfer utang Mas Priyo kepada PT Ngeribanget Finance sebesar empat puluh dua juta rupiah. Suamiku memberi tahu nomor rekening yang harus dibayarkan.

Setelah selesai, aku hampiri mereka semua sembari menunjukkan bukti pembayaran.

"Bagaimana? Sudah lunas semuanya ya. Kalian bisa pulang sekarang."

"Terima kasih mbak..." "Terima kasih mbak..." 

Gerombolan itu pun berhamburan pergi bersama kendaraan yang mereka bawa.

*****

Kejadian sore ini benar-benar tak diharapkan. Suasana indah penganten baru bisa berubah menjadi mencekam dalam sekejap mata. Bagai awan hitam tengah hari yang bergumpal dan membesar dengan cepat di langit yang cerah, mengubah cuaca menjadi mendung.

"Mas punya utang berapa lagi?" Mataku berkaca-kaca. 

"Yang udah jatuh tempo ya tadi itu, Dek," jawabnya. Duduk bersandar di sofa dengan tatapan yang sayu.

"Terus ada berapa lagi yang belum dibayar? Totalnya?" Aku mengambil tempat berseberangan dengan Mas Priyo.

"Ada..." Ia menarik nafas berat. "Sekitar empat ratus jutaan lagi."

"Hah?" Ya Allah, perangkap apa yang Kau siapkan untukku? Apakah ini balasan atas niatku yang tidak tulus dalam pernikahan? "Terus Mas mau bayar pake apa? Ada uangnya gak?"

"Biasanya sebelum jatuh tempo, Mas cari utangan lain untuk menutup utang yang ada. Yang satu ini memang kelupaan. Makanya kena bunga lima persen. Padahal pokoknya cuma empat puluh juta."

"Ya Allah Mas Priyooo.... Mau sampe kapan Mas hidup begini? Hati hati sama pinjol. Mereka itu lintah darat."

"Gak tau. Apa Adek punya solusi?"

Kami bungkam agak lama. Membiarkan matahari beringsut tenggelam di balik cakrawala. Adzan Maghrib pun memecah keheningan.

"Asset yang Mas punya apa aja?" tanyaku setelah beberapa jeda.

"Rumah, mobil..."

"Rumah ini harganya sekitar satu setengah milyar. Mas bisa jual rumah ini buat nutup utang." Begitu solusiku.

"Terus Mas tinggal di mana? Gak punya rumah lagi dong?"

"Uang itu kan ada sisanya sekitar satu koma satu M. Masih bisa lah beli rumah yang lebih kecil. Sebenernya gak perlu beli rumah lagi. Kita tinggal di rumahku aja. Sisa uang dari penjualan rumah ini setelah dikurangi bayar utang bisa Mas pake buat modal usaha. Termasuk mengembalikan uang aku empat dua juta rupiah yang tadi keluar."

"Emang gak apa-apa Mas tinggal di rumah kamu?"

"Ya gak apa-apa."

Aku membatin. Sorry to say Mas, rumahku jauh lebih besar dari rumah ini. Posisinya juga lebih strategis. Lebih nyaman tinggal di sana. Aku mengalah untuk ikut Mas Priyo karena rasa hormat kepada suami. Tidak mau menjadi dominan. Tapi kalau begini, biar aku yang berkuasa sekalian.

Kini rumah itu ditempati oleh Yuni, sekretarisku tanpa ditagih uang sewa.

Baru hari kedua aku sudah keluar puluhan juta untuk menopang hidup suamiku. Bagaimana kalau sudah satu tahun? Habis berapa? Aku tidak tahu apakah warisan yang aku incar nanti akan sebanding dengan biaya yang aku keluarkan.

Setelah ini, ada janji yang harus kutunaikan untuk menopang bisnis Mas Priyo. Menyewa tambahan outlet pakaian di Mal, belum lagi memberi modal untuk usaha kopi Mengheningkan Cipta.

Belum beli franchisenya saja aku sudah mengheningkan cipta dengan kejadian tadi. Apalagi sudah dibeli. Mungkin tiap hari aku ke sana untuk menghayati suramnya hidup bersama kamu, Mas Priyoooo....

"Tapi jual rumah kan gak mudah, Dek?"

"Aku punya teman agent properti. Dwi, namanya. Nanti dia yang akan mengurus penjualan rumah ini. Kalau Mas serius."

"Dia bisa diandalkan?"

"Dia rekan bisnisnya bapak."

"Bapak siapa?"

"Bapaknya Mas. Pak Broto."

"Oooh." Suamiku hanya mengangguk. Tak berkata apa-apa lagi.

"Deal ya, kita jual aja rumah ini? Demi kebaikan Mas?"

"Atur aja deh sama kamu. Aku percaya aja kalau itu yang terbaik."

Dia bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar mandi. Lalu suara aliran air dari kran terdengar. Rupanya ia mengambil wudhu'.

Baik, kalau sudah jadi persetujuannya, aku akan hubungi Dwi segera. Biar penjualan rumah ini diurus. Semoga dia tidak berubah pikiran. Demi kebaikan dia sendiri, daripada terlilit utang rentenir. Ratusan juta jumlahnya. Gila.

Terserah kalau dia membatalkan. Asalkan ada solusi lain. Tapi kalau tidak, aku ogah hidup dalam kejaran debt collector. Lebih baik beri ultimatum saja, lunasi semua utang atau pisah.

Tiba-tiba pintu rumah diketuk lagi. Ya Allah... Siapa sekarang?

Aku bangkit dari sofa dan kemudian berjalan membuka pintu. Tampak seorang wanita dengan dua anak kecil.

"Ada Mas Priyo?" tanya wanita itu.

"Ada. Mbak siapa?"

"Saya mantan istrinya. Ini anak-anaknya."

"Ooh. Masuk mbak." Aduh aku kikuk dikunjungi mantannya suami. Ada keperluan apa ya? Apakah sekedar mengucapkan selamat atas pernikahan kami?

"Gak perlu, Mbak. Sebentar aja. Saya cuma mau nagih nafkah buat anak-anak ini. Yang bungsu akan masuk SD, butuh uang pendaftaran. Sedangkan yang besar, sudah lima bulan nunggak SPP. Mohon dibayari keperluan mereka. Kalau tidak, saya serahkan saja dua anak ini kepada Mas Priyo."

Ya Allah......

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status