Share

Tamu Tak Diundang (I)

Aku pikir suami yang "morotin" istrinya cuma ada di sinetron-sinetron. Tapi kini aku alami sendiri.

"Jadi gimana, dek? Mau gak bantu bisnis Mas?" Ia meminta ketegasan.

Aku menghela nafas berat. "Boleh, tapi dengan perjanjian yang jelas ya, Mas. Berapa persen porsi saham aku, berapa modal Mas."

"Kamu mau modalin berapa?"

"Aku beli franchisenya deh. Mas yang nyediain ruko sama pegawainya."

Tadinya badan suamiku sudah condong ke depan untuk menyimak berapa uang yang bisa kusumbang untuk membantu mewujudkan usahanya. Begitu mendengar penjelasanku, ia menghempaskan punggungnya ke belakang.

"Kenapa, Mas?"

"Saya pikir kamu akan back up penuh."

"Saya juga punya prioritas bisnis, Mas. Aku lagi butuh uang buat peluncuran brand baru."

"Apa gak bisa mendahulukan kepentingan suami?"

"Nanti ya kita bicarakan setelah event dalam waktu dekat ini selesai."

"Pelit banget, sih." Mas Priyo melengos. Lantas beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar dengan wajah ditekuk. Meninggalkan aku yang kebingungan.

Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Di dalam bilik, ia sedang berbaring tengkurap dengan merebahkan kepala di atas kedua tangannya. Aku duduk di pinggir kasur. Membelai-belai punggungnya mencoba menghibur.

"Mas, modal seratus juta itu kecil. Aku cuma minta waktu buat ngeluarin uang. Mas gak tahu ya, aku sudah nyiapin modal buat tambahan sewa space outlet pakaian Mas di mal."

Ia pun bangkit dari duduk. "Beneran, Dek?"

"Iya. Uangnya udah aku siapin sebelum nikah."

Mata Mas Priyo berbinar. Jangankan tambah space, bahkan rencananya ia akan menutup satu-satunya outlet pakaian miliknya yang bertahan di sebuah mal di Jakarta. Bukan karena kurang laku, tapi demi menutup utang atas kegagalan bisnis yang lain.

"Oh gitu. Ya ampun, Dek. Kamu sayang sama aku ya?" Tangannya meraih kepalaku untuk didekap ke dadanya.

Aku tersanjung. Rasa sayang diukur dari mau modalin bisnis atau tidak. Sungguh ungkapan cinta yang lain dari biasanya. Ada uang, adek disayang. Tidak ada uang, adek ditendang. Yeee kutu aeeeer...

"Tapi sabar ya, Mas. Kita bisa eksekusi rencana-rencana bisnis kita setelah event launching brand jilbab baru yang sedang aku siapin. Tenaga, waktu, dan modal aku lagi tersedot ke situ semuanya. Kalau sudah selesai, ayo kita bareng-bareng buka warung kopi... Apa itu mas namanya?"

"Oh. Yang franchise tadi?"

Aku mengangguk.

"Mmm... Namanya Kopi Mengheningkan Cipta," jawab Mas Priyo.

What??? Apa gak ada nama lain yang lebih aneh? Biasanya brand kopi punya nama keren-keren. Janji Jiwa, Kenangan, dll. Lah ini... Mengheningkan Cipta???

"Bagus ya Mas, namanya? Aku bayangin di kedai kopi bakal diputer dua puluh empat jam lagu 'dengaaan seluruuuuh... angkaasaa raayaa memuuji... pahlawan negaraa...'"

Tidak disangka Mas Priyo ikutan bernyanyi. "Nan guuuugur remaaaja. Diribaan bendeeera bela nusa bangsa." Sampai selesai. Jadilah itu duet kami yang pertama. Lagu nasional!!! Silakan pembaca tepuk tangan.

"Betul," ujar Mas Priyo percaya diri. "Nasionalis banget ya kopinya? Pasti akan membuat anak muda yang nongkrong di situ punya semangat membela negara. Karena negeri ini terlalu kaya untuk dibiarkan terbengkalai oleh anak bangsa. Bismillah komisaris."

Aku mengangguk-angguk.

Mas Priyo beranjak dari kasur. Seperti baru saja menyerap tenaga yang luar biasa untuk beraktifitas kembali. Senyumnya sumringah.

"Dek, jogging yuk muter-muter komplek."

"Aku masih capek, Mas. Mau rebahan dulu," jawabku sambil menggeliat.

"Ah kamu. Masa penganten baru kita masih lama. Masak baru sehari aja udah capek." Ia pun mengenakan pakaian olahraga dan sepatu. Oh iya, juga masker. Lantas pamit. "Dah, Sayaaang... Mas mau jogging dulu. Kamu jangan kangen ya."

"Hahaha... Hati hati, Sayang. Jangan jauh-jauh. Nanti kalo udah sampe Timbuktu, muter balik ke rumah ya," tanganku melambai-lambai.

Selagi suamiku di luar, aku memasak bahan-bahan yang tersedia di kulkas setelah puas berbaring sejenak. Sebagai orang yang hidup sebatang kara, aku tertempa untuk mandiri. Aku pandai masak sejak SMP. Memulai bisnis dari berjualan makanan. Sukses. Lalu beralih ke usaha lain yang untungnya lebih besar.

Tentu saja ada pasang surut dalam berwirausaha. Ketika usahaku sedang jatuh, berjualan makanan adalah usaha andalan untuk bangkit. Sebenarnya, bagiku memasak itu lebih kepada hobi daripada dijadikan sandaran untuk bisnis.

Kini aku memegang tiga merk jilbab terkenal, dan bersiap meluncurkan brand baru dua pekan lagi. Hampir semuanya sudah siap. Dua artis nasional yang terkenal dengan jalan hijrahnya telah bersedia menjadi ambassador. Segmen "mamah muda" siap digarap dengan citra bahwa jilbab ini pengangkat gengsi dan simbol kemapanan. Slogannya: Hijrah, Syar'i, dan Modis.

Aku mengenal Mas Priyo ketika dia masih punya lima outlet pakaian di lima mal berbeda. Karena bisnisku pakaian wanita, aku hanya punya sedikit rekanan pria. Dia salah satunya. Juga satu-satunya yang jomblo dan melakukan pendekatan kepadaku. Makanya dia tidak punya pesaing.

Pendekatan yang tak terlalu lama, Mas Priyo sebulan lalu berani terus terang meminangku. 

"Mbak Dina, kan sudah lama menjanda. Apa tidak punya keinginan berumah tangga lagi? Bagaimana kalau kita menikah saja, Mbak?" Tanyanya saat dia masih memanggilku "mbak" dan aku memanggilnya "dek". To the point sekali.

Aku yang sudah tahu latar belakang orang tuanya yang kaya raya, perlu tiga hari mempertimbangkan. Termasuk mematangkan strategi mendapatkan warisan. Akhirnya aku terima.

Kami bersepakat akan tinggal di rumah Mas Priyo di sebuah komplek di pinggir Jakarta. Rumahku rencananya akan dikontrakkan. Untuk sementara sekretarisku yang bernama Yuni menempatinya.

Karena belum terlalu kenal, maka aku harus bersiap menghadapi kejutan-kejutan dari perilaku dia yang tidak aku duga. Termasuk matre, mudah ngambek, dan romantis. Entah apa lagi sifat yang belum tampak. Turbulensi akan kencang beberapa waktu ke depan.

Sudah empat puluh limat menit Mas Priyo jogging. Udang balado kesukaannya pun sudah lama siap. Porsi untuk dua orang lebih dari cukup. Aku menunggunya sambil bermain gawai.

"Assalamu'alaikum, Sayang." 

Ah itu dia suara suamiku. Aku berjalan ke depan menyambutnya hangat sembari menjawab salam.

"Mandi dulu sana, Sayang," ujarku.

"Hmm... haruuum." Hidungnya mengendus sampai kepalanya terangkat ke atas. Mas Priyo nyelonong ke dapur. 

Aku mengikuti dari belakang. "Iya dong. Udah aku siapin makanan kesukaan Mas."

"Beruntungnyaaa aku menikah sama kamu."

Baru saja Mas Priyo bersiap untuk duduk di depan meja makan, tiba tiba pintu rumah diketuk. "Selamat sore," terdengar suara beberapa orang.

Aku buru-buru mengambil jilbab terdekat lalu ke depan menyambut tamu. Siapa mereka?

Sekitar lima atau enam orang berbadan besar, berkacamata hitam, dan aura yang menakutkan sedang berada di teras. Aku membuka pintu. Saat mereka bertanya apakah ada Bapak Priyo di rumah, kujawab jujur dan meminta mereka menunggu di luar sebelum kupersilakan masuk. Aku kembali ke dapur menemui suamiku. Tapi ucapanku tidak diindahkan. Mereka menyerbu ke dalam tanpa membuka sepatu.

"Aduh, Dek. Mereka debt collector," bisik Mas Priyo. Mukanya pucat pasi. Badannya tetiba gemetar.

"Hah?" Aku terkejut.

"Selamat sore Pak Priyo. Kami cuma mau bertanya niat baik bapak untuk membayar utang kepada PT Ngeribanget Finance sejumlah empat puluh dua juta. Apa bisa dibayar sekarang juga, Pak?"

Mereka tanpa sopan santun berhamburan lebih jauh ke dalam. Ada yang langsung duduk di sofa, ada yang mendekat ke bufet melihat-lihat barang yang dipajang, dan tiga orang mendekat ke Mas Priyo sehingga jarak mereka terlalu intim. Aku bersembunyi di belakang suamiku. Suasana mencekam di dalam rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status