Share

Bertemu Mantannya Suami yang Tak Kalah Matre

"Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak." 

Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya.

Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu.

"Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan.

"Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu.

Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?"

"Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... jawab wanita tersebut.

Mendengar ucapan begitu, Mas Priyo pun bangkit dan raut wajahnya berubah menjadi serius. "Lho, bukannya SPP Eka rutin aku transfer? Uang masuk sekolah buat Dwi juga sudah aku transfer dua bulan lalu. Kamu mau nagih apa?"

"Bohong."

"JANGAN SEMBARANGAN KAMU...!!" Suaranya keras menyentak. Menggelegar mengisi tiap sudut ruang tamu di rumah ini.

"Ssst... Mas, jangan kasar kasar." Aku coba meredakan emosi Mas Priyo yang tersulut.

Kemudian mantan istrinya berkata, "Memang gitu dia orangnya. Kasar. Awal nikah doang lembut. Abis itu keliatan watak aslinya."

"Kamu jangan sembarangan ya, Ani. Aku masih nyimpen bukti transfer." Mas Priyo berjalan ke kamar untuk mengambil gawai, mengutak atik sebentar, lalu menuju mantan istrinya yang masih berdiri di depan pintu. Tangan suamiku merentang ke depan menunjukkan layar telepon genggam.

"Ini apa, hah? Ini apa? Kamu masih nyangkal belum dikasih? Ini SPP buat Eka bulan kemarin." Lalu Mas Priyo menggeser-geser layar gawainya mencari gambar yang lain, kemudian kembali menunjukkan kepada wanita itu. "Yang ini, bukti pembayaran masuk SD buat Dwi. Aku transfer dua belas juta. Ngomong apa lagi kamu, hah? Udah jelas buktinya. Masih bilang aku bohong?"

Napas Mas Priyo tersengal-sengal. Baru kali ini aku lihat ia marah besar. Dan baru tadi aku dengar suara bentakkan dari dia. Rupanya kalau marah, seram juga.

Mantan istri suamiku terdiam tak mampu menjawab. Melihat itu, aku coba inisiatif menenangkan suasana. "Duduk dulu, Mbak. Ayo masuk."

Kali ini ia nurut omonganku. Membuka sepatunya, ia berjalan ke dalam rumah lantas duduk di sudut sofa dengan menyilangkan kaki.

"Saya bikin minum ya, Mbak. Mau minum apa?" tanyaku dengan sikap sesopan mungkin.

"Gak usah. Saya punya punuk," jawabnya dengan masih memalingkan pandangan. Aku menelan ludah melihat penyikapan begitu. Tak disangka, Mas Priyo pernah menikahi seekor unta.

Raut Mas Priyo berubah menjadi ceria ketika selanjutnya ia berbicara kepada anak-anak, "Eka, Dwi, ini Mama baru kalian. Panggil Mama Dina ya. Ayo salim!"

Aku sumringah menyambut uluran tangan kedua anak itu. "Kalian cantik-cantik ya. Ranking berapa di sekolah?" tanyaku. Tapi tak satu pun yang menjawab. Aku tak memudarkan senyuman. Kemudian berujar, "Mama buatin minuman buat kalian ya. Mau minuman apa?"

"Es dawet, Mbok," jawab yang paling kecil.

Aku menganga mendapat jawaban yang tidak disangka-sangka dan panggilan yang tak pernah diduga. "Eh... Gak ada es dawet. Terus, jangan panggil mbok ya. Panggil mama aja."

"Dilarang sama mama," ujar yang paling kecil sembari menengok ke arah ibunya. "Kata mama, cuma ada satu mama dan gak boleh ada yang laen. Kalau untuk istri papa yang baru, panggil mbok atau bibi."

Aseeeemm.... Cemburu sih cemburu, tapi jangan gitu juga dong, Bambaaaang. Ngajarin yang gak bener ke anak-anak nih si Nini Pelet.

"Hihihi... Gak apa-apa gak dipanggil mama. Tapi jangan mbok atau bibi. Panggil... Mmm... Mami aja ya. Mau ya?"

Mereka mengangguk. Good. Sekalian aku pilih panggilan yang meninggikan gengsi. "Ya udah, Mami buatin sirup buat kalian." Aku melenggang ke dapur.

Sembari menyiapkan minuman untuk tiga orang, aku mencuri dengar percakapan di ruang depan.

"Mau kamu apa sih sebenernya, hah?"

"Aku butuh uang, Mas. Uang sekolah anak-anak udah kepake."

"Kurang ajar, kamu. Itu namanya berkhianat. Tega-teganya uang anak sendiri ditilep. Ibu seperti apa kamu?"

"Aku butuh kerjaan. Butuh modal usaha."

"Bukan urusan aku."

Terdengar suara isak tangis. Keadaan makin serius. Dan ketika minuman telah siap, aku pun bergerak menuju ruang tamu untuk menghidangkan tiga gelas ke atas meja.

Anak-anak Mas Priyo bermain di lantai. Mereka mengambil boneka yang terpajang di bufet. Tak mengacuhkan pertengkaran kedua orang tuanya. Mungkin sudah terbiasa? Aku pun ikut duduk bersama mereka. Mencoba mengajak berbincang dengan penuh senyuman.

"Kalau Mas gak mau ngasih uang spp Eka sama uang masuk sekolah Dwi, biar aja ya mereka gak sekolah?" Mantan istri suamiku berbicara.

"Kamu tanggung jawab, dong. Uangnya kan udah aku kasih."

"Aku udah gak ada uang lagi."

"HAAAAH BODO AMAT. KAMU HARUS GANTI UANG YANG UDAH AKU TRANSFER."

Tangis mantannya Mas Priyo semakin menjadi. Melihat itu, aku pun berinisiatif mengambil kotak tisu di bufet untuk diletakkan di atas meja.

Di sela tangis, wanita itu berujar, "Ya udah, aku titip anak-anak ya Mas. Aku ga bisa ngasuh mereka. Untuk kebutuhan hidup aku aja luntang-lantung begini."

"Mas..." Aku menyela percakapan. "Udah kasih aja. Kasian anak-anak kalau berhenti sekolah."

"Nggak. Enak aja dia lepas tanggung jawab."

Lho, aku bingung. Kok Mas Priyo sebagai suami tak khawatir sekolah anaknya terbengkalai.

"Mas..." Aku memanggil lagi.

"Nggak."

"Aku yang bayarin."

"Oh. Ya boleh kalo kamu mau bayarin. Kan itu anak-anak kamu juga, Dina."

Aku menarik napas dalam-dalam. Bener-bener ini laki. Matrenya gak ketulungan.

"Mbak," ujarku kepada mantan istri Mas Priyo. "Dari sekolah ada rekening yang bisa ditransfer gak buat anak-anak?"

"Transfer ke saya saja," jawab dia.

"Lebih baik saya transfer langsung ya, Mbak. Biar dipastikan uangnya sampai."

"Lho, Mbak gak percaya saya?"

Sumpah aku keheranan. Padahal tadi dia jelas-jelas mengaku telah menyelewengkan uang sekolah yang diberikan oleh Mas Priyo. Sekarang dia menggugat karena merasa tidak dipercaya.

"Percaya, Mbak. Tapi daripada nanti repot-repot transfer dua kali, dan Mbaknya juga repot ngirim balik bukti transfer, mending langsung saya saja yang bayarin."

Ia cembetut. Memasang mimik masam. Namun begitu, tetap ia kirim nomor rekening sekolah ke nomor W******p Mas Priyo.

"Baik, Mbak. Insya Allah saya transfer," ujarku.

"Ya terima kasih. Sekarang aku mau pulang. Gak mau ganggu kalian," kata wanita itu. 

"Dari tadi juga udah ganggu, Otoong", batinku.

"Ayo Eka, Dwi, kita pulang." Anak-anak nurut saja dengan perintah tersebut. Mereka berdiri dan mendekat kepada ibunya yang telah berangsur menuju pintu. Namun belum sampai di luar, mantan istri suamiku membalikkan badan. "Mas, kamu tega membiarkan anak-anak pulang jalan kaki?" katanya.

Apa lagi ini, pikirku. "Kamu mau apa lagi?" tanya Mas Priyo.

"Aku minta ongkos."

Ya Allah. Ini dua orang sama-sama matre. Mereka cocok, tapi kenapa cerai ya?

Aku berinisiatif mengambil dompet di kamar untuk mengambil uang seratus ribu rupiah yang kemudian aku sodorkan kepada wanita itu.

"Kurang, Mbak," jawabnya.

"Hah? Kurang berapa?"

"Anak-anak mau jajan ayam goreng fried chicken. Minta empat ratus lagi."

"Jangan, Dek!" cegah suamiku. Baik, aku lega. "Kebanyakan. Kasih aja dua ratus lagi." Yeee... Sama aja bohong. Ya sudah lah. Aku nurut saja.

Dan mereka pun pergi. 

Setelah keadaan kondusif, Mas Priyo menunaikan salat maghrib yang tertunda. Aku pun begitu.

Hari kedua yang aneh. Benar-benar aneh. Dimulai dengan suasana yang suram karena pipiku terkena tangannya tadi malam, lalu disambut pulang dengan mesra, kemudian bertemu debt collector, dan terakhir bertemu mantan dan anak-anak Mas Priyo dalam keadaan yang canggung.

Petualangan hidupku untuk memburu warisan Pak Broto sungguh di luar dugaan. Perjalanan mungkin masih panjang. Mental harus disiapkan.

Dan selepas Salat Maghrib, ketika menyiapkan makan malam, sebuah pertanyaan kulontarkan pada suami, "Mas, kita gak silaturahim ke rumah bapak?" Aku benar-benar ingin main ke rumah mertua. Ingin melihat langsung kekayaannya. Tujuannya agar aku termotivasi mempertahankan rumah tanga ini. 

Mas Priyo menjawab, "Kebetulan Dek, besok bapak ngajak anak-anak kumpul di rumahnya."

Aku tersanjung. Sepertinya aku akan diperkenalkan di depan keluarga besar. Sambil tersenyum aku menjawab, "Duh aku grogi nih mau ketemu saudara-saudara Mas Priyo."

"Santai aja. Besok Bapak mau ngajak berunding anak-anak. Karena dia mau lepas saham di dua perusahaan buat bayar utang lima belas milyar yang jatuh tempo bulan depan."

"Hah? Bapak pengusaha besar gitu masih punya utang?"

"Masih. Justru namanya pengusaha, biasa punya utang. Gak cuma itu aja. Utangnya lebih besar lagi."

Hmm... Aku penasaran dan gundah. Sebenarnya mertuaku itu benar-benar punya harta yang banyak atau tidak? Lebih besar mana utang atau asetnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status