Beranda / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 14. Semudah itu kamu permainkan

Share

14. Semudah itu kamu permainkan

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-25 23:13:57

Sentuhannya dibibirku membuat kulitku meremang sepenuhnya, seperti ada ribuan ulat yang merayap di seluruh tubuh.

Aku terkejut sampai tidak bisa bersuara sejenak, mataku membulat lebih luas lagi, dan kemudian segera mendorong badannya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku.

"Enggak, Om! Aku nggak mau!" seruku dengan penuh penolakan, suaraku bergetar tapi tegas. "Lagian ini juga di parkiran rumah sakit, Om. Kita nggak mungkin melakukannya di sini."

Bisa-bisa kami digrebek oleh petugas keamanan atau bahkan orang lain yang lewat.

Mau taruh dimana mukaku nanti? Semua orang pasti akan memandangku dengan pandangan hina, apalagi jika sampai Mas Bilal ikut tahu, tamat sudah riwayatku.

"Tenang saja, kita nggak akan melakukannya di sini." Om Bagas menggeleng, matanya menyipit seolah menganggap kekhawatiranku itu tidak berarti. "Kita pergi check in ke hotel yang kemarin. Tapi sebelum itu ... kamu izin dulu sama yang lain. Om nggak mau nantinya mereka menganggu waktu kita."

"Om jangan gil
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   65. Seorang pengkhianat

    "Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   64. Menantu kurang ajar

    Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   63. Tespeck

    Aku memasuki kamar mandi kecil itu, lalu mengunci pintunya dengan tangan yang masih gemetar.Mataku menatap kedua tespeck yang ada di atas wastafel, jantungku berdebar semakin kencang.Aku melakukan langkahnya dengan hati-hati, kemudian menampung urine ke dalam wadah steril yang dokter berikan.Saat aku mencelupkan kedua alat tes itu secara bergantian, aku menutup mata sebentar, sambil mengulang do'a yang sama."Aku pengen punya anak, ya Allah."Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, aku membuka mata perlahan dan sontak membulat sempurna.Dua garis merah jelas terlihat di tespeck berwarna biru, satu tebal, satu lagi sedikit lebih tipis tapi tidak bisa disangkal keberadaannya. Aku menoleh ke tespeck yang berwarna putih, dan hasilnya sama. Garis dua yang terbentuk jelas dan tidak diragukan lagi."Ya Allah ini seriusan, kan? Aku ... Aku hamil??"Aku refleks bersujud syukur, air mata yang sudah menumpuk di kelopak mataku akhirnya menetes deras ke pipiku. Aku menangis bukan kare

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   62. Berbaik hatilah padaku

    Setelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu."Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif.""Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   61. Tidak ada kabar

    Setelah menutup telepon, aku berniat langsung ke rumah sakit dan membatalkan makan siang bersama Ayah. Namun, Ayah melarang keras meskipun aku sudah menjelaskan bahwa Mas Bilal mengalami kecelakaan dan kini tengah dioperasi. Dia memperingatkan bahwa makan siang juga penting untukku saat ini, terlepas dengan hasil operasi Mas Bilal nanti. Ketika kami tiba di rumah sakit dan menemukan Nenek Mirna di luar ruang operasi, wajahnya penuh kemarahan yang sudah hampir meluap. "Kamu dari mana sih, Qia? Kenapa lama ...." Katanya dengan nada tinggi, matanya membelalak dan alisnya terkunci rapat. Tapi saat pandangannya jatuh pada Ayah yang berdiri di sebelahku, ekspresi kemarahannya perlahan mereda. "Maaf, Bu, tadi Qia sedang bersamaku. Kami kebetulan lagi makan jadi kami habiskan dulu makan siang kami dan barulah ke sini," ucap Ayah dengan nada lembut dan sopan, sambil sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maaf. Nenek Mirna menghela napas dalam-dalam, dadanya terlihat mengembang dan meny

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   60. Jangan lama-lama!

    "Ayok." Ayah mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan pemahaman terhadap hasratku. Dia kemudian mengajakku keluar bersama dari ruangannya, tangannya secara lembut menyandar di pundakku seolah ingin memberikan kekuatan.Ketika kami sampai di lobby, kami melihat ruangan yang sepi tanpa ada jejak Om Bagas. Ayah mengerutkan kening sebentar, lalu berasumsi bahwa Om Bagas berada di restoran depan kantor, karena sebelumnya dia juga meminta pria itu untuk menunggu di sana.Namun, sesampainya kami di restoran itu, kami tetap tak menemukan sosok Om Bagas dalam pandangan, meski sudah menjelajahi seluruh meja."Kamu duduklah dulu, Sayang." Ayah menarik kursi kayu untukku dengan lembut di salah satu meja yang kosong. "Biar Ayah telepon Om Bagas dulu, tanya dia ada di mana."Aku mengangguk dan langsung duduk, sambil menyilangkan tangan di atas meja. Ketika melihat pelayan mendekat, aku pun memesan dua gelas jus jeruk segar untuk kami berdua—rasanya tubuhku membutuhkan sesuatu yang segar setelah se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status