Home / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 26. Cukup sampai di sini

Share

26. Cukup sampai di sini

Author: Rossy Dildara
last update Huling Na-update: 2025-12-03 17:04:33

Tanganku menyentuh sesuatu yang bertekstur kain, namun terasa sangat lembut dan licin di kulit. Jantungku berdebar semakin kencang, iramanya tak karuan, saat menarik benda itu keluar dari dalam paperbag.

Mataku seketika membulat sempurna, mulutku terbuka tanpa suara. Di tanganku kini tergenggam sehelai kain yang nyaris tak berbentuk -- sebuah lingerie.

Lingerie itu berwarna merah menyala, seperti bara api yang membakar. Kainnya tipis dan menerawang, terbuat dari sutra yang mewah, namun terasa begitu vulgar.

Modelnya sangat terbuka, hanya terdiri dari beberapa potong kain minim yang dirangkai menjadi satu, nyaris tidak menutupi apa pun. Manik-manik berkilauan menghiasi beberapa bagiannya, menambah kesan menggoda.

"Lho, Nak... kenapa Dokter Bagas memberikanmu lingerie?!" Suara Bunda meninggi, nada bicaranya sarat akan keterkejutan dan kebingungan. Matanya menatapku dengan tatapan curiga, seolah mencoba membaca pikiranku.

Om Bagas benar-benar gila! umpatku dalam hati. Aku merasa darahku
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   66. Meratapi nasib

    Mataku perlahan terbuka, kelopak mataku yang berat terasa seperti ditutup oleh lapisan tebal kapas.Aku menyesuaikan diri dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan dengan warna kuning hangat. Sorot mataku berkeliling.Ini seperti kamarku di rumah Ayah. Dan saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang.Kutatap jam dinding bundar di atas pintu—jarum jamnya menunjukkan pukul 7 tepat. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Sepertinya adzan Isya. Tampaknya sudah memasuki waktu malam.Aku terdiam sejenak, menutup mata sebentar sambil mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan seketika saja, dadaku terasa sesak, bahkan begitu sakit seolah ada batu besar yang ditekan kuat-kuat ke dalamnya. Napasku menjadi pendek dan tidak teratur, setiap tarikan napas rasanya seperti menusuk dada dengan jarum tajam.Tapi, apakah semua yang terjadi adalah mimpi??Aku berharap begitu. Apalagi posisiku saat ini seperti baru saja bangun tidur.Ceklek~Suara pintu yang membuka

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   65. Seorang pengkhianat

    "Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   64. Menantu kurang ajar

    Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   63. Tespeck

    Aku memasuki kamar mandi kecil itu, lalu mengunci pintunya dengan tangan yang masih gemetar.Mataku menatap kedua tespeck yang ada di atas wastafel, jantungku berdebar semakin kencang.Aku melakukan langkahnya dengan hati-hati, kemudian menampung urine ke dalam wadah steril yang dokter berikan.Saat aku mencelupkan kedua alat tes itu secara bergantian, aku menutup mata sebentar, sambil mengulang do'a yang sama."Aku pengen punya anak, ya Allah."Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, aku membuka mata perlahan dan sontak membulat sempurna.Dua garis merah jelas terlihat di tespeck berwarna biru, satu tebal, satu lagi sedikit lebih tipis tapi tidak bisa disangkal keberadaannya. Aku menoleh ke tespeck yang berwarna putih, dan hasilnya sama. Garis dua yang terbentuk jelas dan tidak diragukan lagi."Ya Allah ini seriusan, kan? Aku ... Aku hamil??"Aku refleks bersujud syukur, air mata yang sudah menumpuk di kelopak mataku akhirnya menetes deras ke pipiku. Aku menangis bukan kare

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   62. Berbaik hatilah padaku

    Setelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu."Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif.""Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   61. Tidak ada kabar

    Setelah menutup telepon, aku berniat langsung ke rumah sakit dan membatalkan makan siang bersama Ayah. Namun, Ayah melarang keras meskipun aku sudah menjelaskan bahwa Mas Bilal mengalami kecelakaan dan kini tengah dioperasi. Dia memperingatkan bahwa makan siang juga penting untukku saat ini, terlepas dengan hasil operasi Mas Bilal nanti. Ketika kami tiba di rumah sakit dan menemukan Nenek Mirna di luar ruang operasi, wajahnya penuh kemarahan yang sudah hampir meluap. "Kamu dari mana sih, Qia? Kenapa lama ...." Katanya dengan nada tinggi, matanya membelalak dan alisnya terkunci rapat. Tapi saat pandangannya jatuh pada Ayah yang berdiri di sebelahku, ekspresi kemarahannya perlahan mereda. "Maaf, Bu, tadi Qia sedang bersamaku. Kami kebetulan lagi makan jadi kami habiskan dulu makan siang kami dan barulah ke sini," ucap Ayah dengan nada lembut dan sopan, sambil sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maaf. Nenek Mirna menghela napas dalam-dalam, dadanya terlihat mengembang dan meny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status