Beranda / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 3. Ganas di ranjang

Share

3. Ganas di ranjang

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-29 00:49:45

"Om 'kan bisa dapat kepuasan. Jadi Om nggak perlu jajan sama cewek lain, bisa hemat duit." Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal, meskipun aku tahu itu terdengar konyol.

"Enak saja jajan, kamu pikir Om cowok apaan? Om cowok baik-baik, Sayang!" Dia membela diri, dengan nada sedikit tersinggung.

"Masa sih, Om nggak pernah jajan?" Rasanya tidak mungkin. Seorang pria yang sudah lama menduda, tidak mungkin tidak pernah tergoda untuk mencari kesenangan di luar. Aku tidak percaya itu.

"Iyalah. Om 'kan sudah lama jadi dokter kandungan, nggak mungkin Om melakukan hal seperti itu. Jajan diluar 'kan bisa menyebabkan penularan penyakit seksual dan Om nggak akan melakukan hal itu." Dia menjelaskan dengan nada meyakinkan, tapi aku tetap merasa curiga.

"Kan bisa pakai ko*ndom." Aku menyarankan, mencoba menggodanya.

"Meski pakai pengaman, tapi tetap saja nggak menutup kemungkinan kalau penularan HIV itu bisa terjadi." Dia menjawab dengan nada serius.

"Terus, selama ini ... kalau Om pengen, gimana dong? Nggak mungkin 'kan Om puasa selama berpuluh tahun. Atau jangan-jangan Om udah nggak suka cewek?" tanyaku, memicingkan mata dengan tatapan curiga. Aku tiba-tiba jadi penasaran dengan kehidupan pribadinya.

Om Bagas ini duda bukan setahun dua tahun, tapi sudah puluhan tahun, bahkan semenjak anaknya lahir ke dunia. Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuatnya memilih untuk terus menduda. Apakah dia masih mencintai istrinya, ataukah ada alasan lain yang lebih dalam?

"Enak saja! Om masih normal kali." Dia membela diri, tapi sambil tertawa, membuatku jadi tak percaya.

"Terus, kalau Om pengen... apa yang Om lakuin?"

"Rahasia dong, Sayang. Kamu nggak perlu tau."

"E-eh, maaf deh, Om." Aku jadi tidak enak rasanya, kenapa juga aku jadi sekepo ini sampai bertanya terlalu jauh.

"Emm ... jadi gimana? Kapan Om bisa menghamilimu?" tanya Om Bagas dengan penuh antusias. Dia segera bangun dari duduknya dan menarik tubuhku untuk ikut berdiri. "Sekarang saja bagaimana? Kebetulan, Om sudah seminggu nggak keluar, pasti cacing Om kualitasnya bagus dan lagi banyak-banyaknya." Dia tertawa terbahak, aku yakin dia pasti sudah mengkhayal duluan.

Om Bagas tiba-tiba menarikku, membawaku keluar dari ruangannya tanpa aba-aba.

"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku sedikit terkejut karena dia terlihat buru-buru sekali. Aku merasa seperti sedang diculik.

"Kan tadi kamu bilang mau dihamili, otomatis kita bercinta dong." Dia membawaku sampai masuk ke dalam mobilnya. "Tapi... kita bercinta di hotel saja ya, Sayang. Nggak mungkin 'kan kalau di rumahmu atau di rumah Om? Nanti ketahuan." Dia menyeringai, membuat bulu kudukku seketika merinding.

"Iya, Om. Aku setuju." Aku mengangguk cepat

Entah mengapa tiba-tiba aku merasa takut. Perlahan, aku menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Aku mencoba menenangkan diri. Om Bagas sudah setuju, jadi tidak ada jalan untuk aku mundur.

"Tapi ... jangan harap kamu bisa minta berhenti, karena Om orangnya ...." Dia tiba-tiba mendekat ke arah telinganku, lalu berbisik. "Ganas diranjang." Bisikannya membuat jantungku berdebar kencang.

"Aku pun begitu, Om," jawabku terdengar menantangnya. Aku mencoba menyembunyikan rasa gugupku.

"Masa sih?" Om Bagas tampak tidak percaya, dia tertawa mengejek. "Bukannya pas kamu dan suamimu konseling, kamu mengatakan kalau durasi permainan kalian sebentar, ya? Terus ... Bagaimana bisa kamu ganas diranjang, Sayang?" Dia mengejekku, membuatku merasa malu.

"Ya itu dia, Om. Sebenarnya aku ingin ganas. Cuma karena durasi Mas Bilal terlalu cepat, jadi keganasanku nggak berhasil keluar." Aku membela diri, mencoba menutupi rasa maluku.

"Bukannya Om sudah kasih obat waktu itu? Memangnya nggak manjur? Kok nggak bilang kamu. Seharusnya bilang, biar nanti Om resepkan obat lain."

"Kan Om sendiri pernah bilang kalau durasi nggak berpengaruh dari suksesnya promil. Jadi menurutku itu nggak penting untuk dibahas."

"Meskipun nggak berpengaruh, tapi itu penting untukmu, Sayang. Kamu 'kan pasti butuh kepuasan, jangan hanya suamimu saja. Ah tapi ... untuk sekarang, biar Om saja yang memuaskanmu sampai kamu hamil." Dia lagi-lagi menyeringai.

"Tenang saja," tambahnya, yang tiba-tiba mencium pipiku.

Aku sontak terkejut, dan terpaku untuk sesaat.

*

*

Setibanya kami di sebuah hotel bintang lima yang mewah, jantungku berdebar kencang. Om Bagas, dengan santainya, langsung memesan satu kamar untuk satu malam. Aku berusaha menenangkan diri saat kami berjalan menuju lift untuk mencapai lantai 5. Setiap langkah terasa berat, dibayangi ketakutan jika ada mata yang mengenali kami.

"Semoga saja nggak ada yang lihat," bisikku dalam hati, berharap cemas.

Di dalam lift yang sunyi, Om Bagas menoleh padaku dengan tatapan lembut namun penuh tuntutan. "Kamu masih rutin minum obat penyubur kandungan dari Om 'kan, Sayang?" tanyanya, suaranya rendah. "Dan apa hari ini kamu sudah meminumnya?"

"Sudah, Om. Tadi pagi," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan.

"Apa hari ini kamu dan suamimu sudah bercinta? Atau semalam?"

"Belum, Om. Tapi rencananya besok karena memang sudah jadwalnya," jawabku. Semenjak mengikuti promil ini, aku dan Mas Bilal terpaksa menjadwalkan setiap momen intim kami, semuanya atas perintah Om Bagas. "Kenapa ya, Om? Apa ada masalah?" tanyaku, nada suaraku mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.

"Enggak ada kok, Sayang." Om Bagas menggeleng sambil tersenyum, namun matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa kubaca.

Dia membuka pintu kamar hotel perlahan, saat kami telah tiba di lantai 5, lalu merangkul bahuku dengan erat, mengajakku masuk bersamanya. "Om mandi dulu sebentar nggak apa-apa, kan? Takutnya Om bau."

"Om wangi kok," jawabku, mencoba bersikap manis.

"Masa sih?" Om Bagas mencium tubuhnya sendiri, lalu menatapku dengan senyum menggoda. Tapi aku jujur, Om Bagas memang selalu wangi, dia juga tipe pria yang selalu menjaga penampilan. "Bau ah. Om mau mandi dulu sebentar, biar seger. Kamu sendiri apa mau ikut Om mandi?" Dia mendekat, tatapannya intens, membuat jantungku kembali berdetak tak karuan. Aku segera menggeleng.

"Aku sudah mandi tadi, sebelum datang menemui Om."

"Ya sudah. Tunggu sebentar ya, Sayangku." Dia tersenyum, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang berada di sudut ruangan.

Aku perlahan duduk di atas kasur yang empuk, namun pikiranku berkecamuk, memikirkan Mas Bilal. Jantungku berdebar kencang.

Suara gemericik air mulai terdengar, menciptakan suasana yang semakin membuatku tak karuan. Tiba-tiba, ponsel Om Bagas berdering. Membuatku sedikit tersentak.

Merasa penasaran, aku pun menengoknya. Ternyata ada yang menelepon, namanya Karin.

Siapa Karin? Apa mungkin Om Bagas punya pacar?

Namun, aku sama sekali tak berniat mengangkat panggilan itu, karena kupikir itu akan sangat tidak sopan. Biarlah menjadi urusan Om Bagas sendiri. Tak lama, panggilan itu berhenti, tapi aku merasa heran dan terkejut saat melihat ada fotoku yang dijadikan wallpaper di ponsel itu. Foto diriku yang sedang tersenyum manis, seorang diri.

Kenapa dia pakai fotoku? Dan sejak kapan Om Bagas memiliki fotoku? Apa dari Maira? Tapi kenapa?

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   6. Lembur sampai pagi

    "Hari ini aku lembur sampai pagi, jadi kamu nggak usah menungguku pulang."Suara Mas Bilal dari telepon terasa dingin dan singkat, seolah tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Apakah dia masih marah padaku, karena aku menasehatinya untuk berhenti main judi?"Lembur sampai pagi?!" ulangku dengan dahi yang berkerut rapat, mataku memandang layar ponsel yang sudah mati seolah tidak percaya. Merasa heran sekali. "Kok tumben lembur segala, sampai pagi lagi, Mas?"Rasanya memang aneh, seperti ada yang tidak pas. Selama bekerja jadi CEO, Mas Bilal tidak pernah lembur—bahkan dia lebih sering bolos tak masuk kerja dan memilih nongkrong dengan teman-temannya di cafe untuk bermain judi."Iya, lagi banyak kerjaan dan nggak bisa ditunda sampai besok. Sudah dulu, ya, aku tutup teleponnya.""Tapi, Mas, aku—"Padahal aku belum selesai bicara, tapi bunyi "klik" dari telepon menandakan dia sudah mematikkannya.Aku menghela napas panjang, dada terasa sesak. Ada bagusnya sebenarnya dia mengatakan le

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   5. Jawab jujur!

    "Ja-jangan, Om!"Aku langsung memeluk tubuhnya erat, menahannya saat dia hendak menarik diri dari atas tubuhku. Aku tidak ingin dia marah padaku, aku tidak ingin dia mengakhiri permainan ini. Jika dia beneran marah dan tidak jadi meneruskan aktivitas ini, otomatis aku tidak bisa hamil. Impianku untuk mewujudkan keinginan suamiku akan sirna begitu saja."Kalau begitu jawab jujur, tapi berikan jawaban yang membuat Om senang." Tatapannya tajam menusuk, seolah bisa membaca setiap pikiran dan perasaanku. Aku tahu, aku tidak bisa berbohong padanya."Lebih enak bercinta dengan Om!" Jawabku sedikit lantang, berusaha meyakinkan."Serius?" Dia menatapku penuh selidik, tampak belum sepenuhnya yakin dengan jawabanku."Iya, serius, Om." Aku mengangguk cepat, dengan wajah memelas."Kalau begitu, cium bibir Om sekarang juga."Tanpa menjawab, aku menurut untuk mencium bibirnya.Wajah Om Bagas langsung berseri, dia tersenyum senang. "Baiklah... Ayok kita teruskan permainan ini! Om akan membuatmu terus

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   4. Bibirmu manis

    Ceklek~Pintu kamar mandi perlahan terbuka, menampilkan sosok Om Bagas yang keluar dengan balutan handuk kimono hotel. Aku refleks menelan ludah dan terkesima sesaat.Selama ini, aku hanya melihatnya sebagai pria tampan yang ramah. Namun, pemandangan di depanku ini membuka dimensi baru—seksualitas yang tak terduga.Dia begitu seksi!Sinar matahari siang yang masuk melalui jendela kamar hotel menerpa tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk ototnya yang terlatih."Maaf menunggu lama, soalnya tadi Om mandi pakai banyak sabun biar wangi," ucapnya lembut, langkahnya mendekatiku. Aroma sabun yang kuat dan segar menyeruak, memenuhi indra penciumanku. Bukan pusing yang kurasa, melainkan desiran aneh yang membangkitkan gairah."Nggak lama kok, Om. Santai saja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. "Oh ya... tadi hape Om bunyi. Ada yang telepon, namanya Karin," kataku sambil menunjuk ponselnya di atas nakas. Nada bicaraku sedikit khawatir, takut ada urusan penting."Karin?" Om Bagas mengulang

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   3. Ganas di ranjang

    "Om 'kan bisa dapat kepuasan. Jadi Om nggak perlu jajan sama cewek lain, bisa hemat duit." Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal, meskipun aku tahu itu terdengar konyol."Enak saja jajan, kamu pikir Om cowok apaan? Om cowok baik-baik, Sayang!" Dia membela diri, dengan nada sedikit tersinggung."Masa sih, Om nggak pernah jajan?" Rasanya tidak mungkin. Seorang pria yang sudah lama menduda, tidak mungkin tidak pernah tergoda untuk mencari kesenangan di luar. Aku tidak percaya itu."Iyalah. Om 'kan sudah lama jadi dokter kandungan, nggak mungkin Om melakukan hal seperti itu. Jajan diluar 'kan bisa menyebabkan penularan penyakit seksual dan Om nggak akan melakukan hal itu." Dia menjelaskan dengan nada meyakinkan, tapi aku tetap merasa curiga."Kan bisa pakai ko*ndom." Aku menyarankan, mencoba menggodanya."Meski pakai pengaman, tapi tetap saja nggak menutup kemungkinan kalau penularan HIV itu bisa terjadi." Dia menjawab dengan nada serius."Terus, selama ini ... kalau Om pengen, gi

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   2. Hamili aku!

    "Sentuh aku, Om! Hamili aku!" pintaku dengan suara lantang, memecah kesunyian ruangan Om Bagas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa persiapan, tanpa basa-basi.Setelah tadi sempat merenung di antara air mata dan keputusasaan, aku akhirnya berhasil mendapatkan ide. Sebuah ide yang gila, ekstrem, dan mungkin juga nekat. Tapi aku pikir, di situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Dan hanya Om Bagas lah, satu-satunya orang yang bisa menolongku.Selain Om Bagas adalah dokter kandungan langgananku, yang sudah tahu seluk-beluk masalah reproduksiku, hanya dia satu-satunya pria lain yang kukenal secara akrab. Pria yang kupikir bisa kupercaya.Selain itu, dia juga berstatus duda. Jadi, secara logika, akan aman. Tidak akan ada istri yang marah, tidak akan ada keluarga yang terluka. Hanya aku dan dia, dalam sebuah kesepakatan rahasia."Kamu bicara apa, Sayang?" Om Bagas tampak terkejut. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari tempatnya. Ekspresinya antara kaget dan tidak percaya.

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   1. Lepaskan saja

    "Lepaskan saja, Sayang... Om mau mendengar suara desahanmu."Om Bagas menarik tanganku yang sejak tadi kaku menutupi bibir. Aku sudah berusaha sekuatnya menahan setiap bunyi yang ingin keluar, rasa malu itu terlalu besar, seolah semua mata di dunia memandang.Hanya sekejap, tanganku terlepas. Suara kecil langsung lolos dari bibirku."Aahh ....""Naahh... begitu dong! Om 'kan jadi lebih semangat, Sayang!" Dia tersenyum lebar, dan gerakannya sedikit memacu.Aku tidak bisa menyangkal. Rasanya benar-benar berbeda, lebih dalam, lebih menyentuh bagian yang pernah kubiarkan terpendam. Lebih nikmat dari apa yang pernah aku rasakan bersama suamiku. Tapi tepat pada saat itu, rasa bersalah kembali menyergap dengan kuat.Wajah Mas Bilal terus muncul di depan mata. Senyumnya yang jarang muncul akhir-akhir ini, juga suaranya yang selalu bicara dengan nada tinggi. Aku merasa gelisah, jantungku berdebar kencang.Apakah yang kulakukan sudah benar? Atau, aku hanya mencari alasan untuk mengkhianatinya?

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status