LOGINCeklek~
Pintu kamar mandi perlahan terbuka, menampilkan sosok Om Bagas yang keluar dengan balutan handuk kimono hotel. Aku refleks menelan ludah dan terkesima sesaat. Selama ini, aku hanya melihatnya sebagai pria tampan yang ramah. Namun, pemandangan di depanku ini membuka dimensi baru—seksualitas yang tak terduga. Dia begitu seksi! Sinar matahari siang yang masuk melalui jendela kamar hotel menerpa tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk ototnya yang terlatih. "Maaf menunggu lama, soalnya tadi Om mandi pakai banyak sabun biar wangi," ucapnya lembut, langkahnya mendekatiku. Aroma sabun yang kuat dan segar menyeruak, memenuhi indra penciumanku. Bukan pusing yang kurasa, melainkan desiran aneh yang membangkitkan gairah. "Nggak lama kok, Om. Santai saja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. "Oh ya... tadi hape Om bunyi. Ada yang telepon, namanya Karin," kataku sambil menunjuk ponselnya di atas nakas. Nada bicaraku sedikit khawatir, takut ada urusan penting. "Karin?" Om Bagas mengulang nama itu dengan dahi berkerut. Dia segera meraih ponselnya, matanya menelisik layar. "Apa Karin adalah pacar, Om? Maaf ... aku nggak tau Om sudah punya pacar. Tapi bisa-bisa pacar Om marah kalau sampai tau Om dan aku check in di hotel." Rasa bersalah seketika menghantamku. Jika itu benar, pupus sudah harapanku. "Dia bukan pacar Om kok, cuma teman doang," jawab Om Bagas santai. Dia meletakkan kembali ponselnya dan duduk di sampingku. Sentuhan lembut terasa di kedua lenganku, lalu satu tangannya beralih menyentuh daguku. "Sudah siap belum? Bisa kita lakukan sekarang?" Aku mengangguk cepat, kelegaan membanjiri hatiku mendengar jawabannya. "Bisa, Om." Cup! Tanpa aba-aba, bibir Om Bagas menyambar bibirku. Ciuman itu begitu mengejutkan, terlalu tiba-tiba, membuatku tersentak dan langsung menolak, melepaskan kontak bibir kita. Napasku terhenti sejenak. "Lho, kenapa?" tanya Om Bagas, dahinya berkerut menatapku bingung. "Ma-maaf, Om, tadi terlalu tiba-tiba ... aku kaget jadinya," jawabku. Suaraku terdengar gugup dan terbata-bata, detak jantungku kembali berpacu cepat. Om Bagas terkekeh pelan, lalu dia menyentuh pipi kananku dengan lembut dan sedikit mengelusnya. "Kamu ini seperti ABG yang baru dicium laki-laki saja, ya? Bisa-bisanya sampai kaget begitu." Aku tersenyum kikuk, pipiku panas seperti terbakar, bingung harus menjawab apa. Dia lalu menarikku lebih dekat dengan lengannya yang kuat, hingga tidak ada jarak sedikit pun di antara tubuh kami. Kembali, dia mendekatkan wajahnya, dan kali ini bibirnya menyentuh bibirku dengan lebih perlahan. Tak lama, ciuman itu terasa semakin dalam dan panas, napas kami saling bersilang. Hingga akhirnya aku merasa kehabisan napas, dan kami berdua terengah-engah saat melepaskan tautan bibir. Mata Om Bagas menatapku dengan tatapan yang penuh hasrat yang memabukkankan. "Hari ini kamu cantik sekali, Sayang ... Bibirmu juga manis," bisiknya dengan suara yang serak, napasnya hangat menyentuh telingaku, membuat bulu kudukku meremang sepenuhnya. Dengan gerakan perlahan, tangannya mulai membuka kancing kemejaku satu per satu. Setiap bunyi kancing yang terbuka membuat jantungku berdegup semakin kencang. "Cantik." Om Bagas menatap dadaku dengan tatapan memuja, tapi itu justru membuatku semakin malu hingga tak berani menatapnya. Aku dapat merasakan wajah Om Bagas mulai mendekat ke dadaku, napasnya hangat menyentuh kulitku, lalu dia mengecup lembut kedua gunung kembarku bergantian, membuat getaran gairah merambat ke seluruh tubuh. "Mmmhhh ...," Aku mengigit bibir dengan kuat, mencoba menahan diri agar tidak mendesah. Tanpa ragu, dia mengangkat tubuhku dan membaringkanku. Saat dia memasuki tubuhku perlahan-lahan, lalu mulai menggerakkan tubuhnya dengan irama yang pas, aku merasakan sesuatu yang tak biasa—kenikmatan yang mendalam, sesuatu yang biasanya tidak bisa kudapatkan semudah ini. Getaran kegembiraan meluap, aku merasa seolah ingin keluar dari diriku sendiri. Namun, tiba-tiba dia menghentikan semua aktivitasnya begitu saja. Ah, sayang sekali. Rasa yang sudah bangkit tiba-tiba terhenti, membuatku merasa kosong. "Ke-napa berhenti, Om?" tanyaku bingung sambil mengatur napas. "Kenapa kamu sejak tadi diam saja?" "Memangnya aku harus gimana?" Aku berbalik tanya, mataku bingung menghadapi pertanyaannya yang tiba-tiba. "Kamu seperti nggak menikmati," jawab Om Bagas, wajahnya seketika cemberut. Garis-garis di dahinya terlihat jelas. Baru kali ini aku melihat wajahnya seperti itu. Selama ini, aku selalu berpikir Om Bagas tidak bisa cemberut, selalu tenang dan santai. "Meskipun kamu melakukan ini dengan Om secara terpaksa, tapi kalau kamu nggak menikmatinya ... bagaimana bisa Om menghamilimu? Dan katanya kamu ganas di ranjang, berarti itu bohong, ya?" Perlahan-lahan, dia melepaskan miliknya dari milikku—gerakannya lembut, tapi membuatku merasa kehilangan sesuatu yang penting. Padahal kami sudah sepakat. Masa hanya karena aku tidak bersuara, semuanya jadi gagal? Lagian, siapa juga yang tidak menikmati? Sejak tadi aku menikmati setiap sentuhan, setiap gerakan—hanya saja aku terlalu malu untuk menunjukkan itu secara terang-terangan. "Aku menikmatinya kok, Om," jawabku dengan cepat, menganggukkan kepala dengan tegas. "Jangan bohong." "Aku serius." "Jadi kamu mau melanjutkan, atau bagaimana?" "Tentu saja, Om," jawabku dengan nada memohon. Suaraku terdengar serak dan bergetar, napasku masih terengah-engah. Bahkan mataku sudah berkaca-kaca, menahan gejolak emosi dan gairah yang semakin membuncah di dalam dada. Aku benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Hanya satu keinginan yang memenuhi pikiranku—agar kita bisa melanjutkan apa yang sudah dimulai. "Baiklah, kita lanjutkan. Tapi sebelum itu ...." Jemarinya perlahan mengusap perutku, membuatku sedikit geli sekaligus merinding. Sentuhan itu membangkitkan sensasi aneh yang membuatku semakin menginginkannya. "Jawab jujur dulu, lebih enak mana, bercinta dengan Om atau dengan suamimu, Sayang?" Pertanyaan itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. Aku menelan ludah, lidahku mendadak kelu. Aku bingung harus menjawab apa. Jika aku jujur, ini berarti sama saja melecehkan harga diri suamiku. Memang kuakui, sejujurnya dari lubuk hatiku yang terdalam, rasanya jauh lebih-lebih nikmat. Sentuhan Om Bagas membangkitkan sisi diriku yang selama ini terpendam, sisi liar dan penuh gairah yang tak pernah kutemukan dalam pernikahan. Namun, perlukah aku untuk mengungkapkannya? "Kenapa diam? Kalau kamu nggak mau jawab, kita sudahi saja permainan ini." Kembali, dia memasang wajah cemberut. Nada bicaranya pun terdengar dingin dan tegas. Kenapa tiba-tiba dia menjadi menyebalkan begini sih? Seumur-umur aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya seperti ini. Dia selalu ceria dan penuh canda tawa. Baru kali ini saja aku melihat sisi lain dari dirinya. Bersambung....."Hari ini aku lembur sampai pagi, jadi kamu nggak usah menungguku pulang."Suara Mas Bilal dari telepon terasa dingin dan singkat, seolah tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Apakah dia masih marah padaku, karena aku menasehatinya untuk berhenti main judi?"Lembur sampai pagi?!" ulangku dengan dahi yang berkerut rapat, mataku memandang layar ponsel yang sudah mati seolah tidak percaya. Merasa heran sekali. "Kok tumben lembur segala, sampai pagi lagi, Mas?"Rasanya memang aneh, seperti ada yang tidak pas. Selama bekerja jadi CEO, Mas Bilal tidak pernah lembur—bahkan dia lebih sering bolos tak masuk kerja dan memilih nongkrong dengan teman-temannya di cafe untuk bermain judi."Iya, lagi banyak kerjaan dan nggak bisa ditunda sampai besok. Sudah dulu, ya, aku tutup teleponnya.""Tapi, Mas, aku—"Padahal aku belum selesai bicara, tapi bunyi "klik" dari telepon menandakan dia sudah mematikkannya.Aku menghela napas panjang, dada terasa sesak. Ada bagusnya sebenarnya dia mengatakan le
"Ja-jangan, Om!"Aku langsung memeluk tubuhnya erat, menahannya saat dia hendak menarik diri dari atas tubuhku. Aku tidak ingin dia marah padaku, aku tidak ingin dia mengakhiri permainan ini. Jika dia beneran marah dan tidak jadi meneruskan aktivitas ini, otomatis aku tidak bisa hamil. Impianku untuk mewujudkan keinginan suamiku akan sirna begitu saja."Kalau begitu jawab jujur, tapi berikan jawaban yang membuat Om senang." Tatapannya tajam menusuk, seolah bisa membaca setiap pikiran dan perasaanku. Aku tahu, aku tidak bisa berbohong padanya."Lebih enak bercinta dengan Om!" Jawabku sedikit lantang, berusaha meyakinkan."Serius?" Dia menatapku penuh selidik, tampak belum sepenuhnya yakin dengan jawabanku."Iya, serius, Om." Aku mengangguk cepat, dengan wajah memelas."Kalau begitu, cium bibir Om sekarang juga."Tanpa menjawab, aku menurut untuk mencium bibirnya.Wajah Om Bagas langsung berseri, dia tersenyum senang. "Baiklah... Ayok kita teruskan permainan ini! Om akan membuatmu terus
Ceklek~Pintu kamar mandi perlahan terbuka, menampilkan sosok Om Bagas yang keluar dengan balutan handuk kimono hotel. Aku refleks menelan ludah dan terkesima sesaat.Selama ini, aku hanya melihatnya sebagai pria tampan yang ramah. Namun, pemandangan di depanku ini membuka dimensi baru—seksualitas yang tak terduga.Dia begitu seksi!Sinar matahari siang yang masuk melalui jendela kamar hotel menerpa tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk ototnya yang terlatih."Maaf menunggu lama, soalnya tadi Om mandi pakai banyak sabun biar wangi," ucapnya lembut, langkahnya mendekatiku. Aroma sabun yang kuat dan segar menyeruak, memenuhi indra penciumanku. Bukan pusing yang kurasa, melainkan desiran aneh yang membangkitkan gairah."Nggak lama kok, Om. Santai saja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. "Oh ya... tadi hape Om bunyi. Ada yang telepon, namanya Karin," kataku sambil menunjuk ponselnya di atas nakas. Nada bicaraku sedikit khawatir, takut ada urusan penting."Karin?" Om Bagas mengulang
"Om 'kan bisa dapat kepuasan. Jadi Om nggak perlu jajan sama cewek lain, bisa hemat duit." Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal, meskipun aku tahu itu terdengar konyol."Enak saja jajan, kamu pikir Om cowok apaan? Om cowok baik-baik, Sayang!" Dia membela diri, dengan nada sedikit tersinggung."Masa sih, Om nggak pernah jajan?" Rasanya tidak mungkin. Seorang pria yang sudah lama menduda, tidak mungkin tidak pernah tergoda untuk mencari kesenangan di luar. Aku tidak percaya itu."Iyalah. Om 'kan sudah lama jadi dokter kandungan, nggak mungkin Om melakukan hal seperti itu. Jajan diluar 'kan bisa menyebabkan penularan penyakit seksual dan Om nggak akan melakukan hal itu." Dia menjelaskan dengan nada meyakinkan, tapi aku tetap merasa curiga."Kan bisa pakai ko*ndom." Aku menyarankan, mencoba menggodanya."Meski pakai pengaman, tapi tetap saja nggak menutup kemungkinan kalau penularan HIV itu bisa terjadi." Dia menjawab dengan nada serius."Terus, selama ini ... kalau Om pengen, gi
"Sentuh aku, Om! Hamili aku!" pintaku dengan suara lantang, memecah kesunyian ruangan Om Bagas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa persiapan, tanpa basa-basi.Setelah tadi sempat merenung di antara air mata dan keputusasaan, aku akhirnya berhasil mendapatkan ide. Sebuah ide yang gila, ekstrem, dan mungkin juga nekat. Tapi aku pikir, di situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Dan hanya Om Bagas lah, satu-satunya orang yang bisa menolongku.Selain Om Bagas adalah dokter kandungan langgananku, yang sudah tahu seluk-beluk masalah reproduksiku, hanya dia satu-satunya pria lain yang kukenal secara akrab. Pria yang kupikir bisa kupercaya.Selain itu, dia juga berstatus duda. Jadi, secara logika, akan aman. Tidak akan ada istri yang marah, tidak akan ada keluarga yang terluka. Hanya aku dan dia, dalam sebuah kesepakatan rahasia."Kamu bicara apa, Sayang?" Om Bagas tampak terkejut. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari tempatnya. Ekspresinya antara kaget dan tidak percaya.
"Lepaskan saja, Sayang... Om mau mendengar suara desahanmu."Om Bagas menarik tanganku yang sejak tadi kaku menutupi bibir. Aku sudah berusaha sekuatnya menahan setiap bunyi yang ingin keluar, rasa malu itu terlalu besar, seolah semua mata di dunia memandang.Hanya sekejap, tanganku terlepas. Suara kecil langsung lolos dari bibirku."Aahh ....""Naahh... begitu dong! Om 'kan jadi lebih semangat, Sayang!" Dia tersenyum lebar, dan gerakannya sedikit memacu.Aku tidak bisa menyangkal. Rasanya benar-benar berbeda, lebih dalam, lebih menyentuh bagian yang pernah kubiarkan terpendam. Lebih nikmat dari apa yang pernah aku rasakan bersama suamiku. Tapi tepat pada saat itu, rasa bersalah kembali menyergap dengan kuat.Wajah Mas Bilal terus muncul di depan mata. Senyumnya yang jarang muncul akhir-akhir ini, juga suaranya yang selalu bicara dengan nada tinggi. Aku merasa gelisah, jantungku berdebar kencang.Apakah yang kulakukan sudah benar? Atau, aku hanya mencari alasan untuk mengkhianatinya?







