LOGIN"Sentuh aku, Om! Hamili aku!" pintaku dengan suara lantang, memecah kesunyian ruangan Om Bagas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa persiapan, tanpa basa-basi.
Setelah tadi sempat merenung di antara air mata dan keputusasaan, aku akhirnya berhasil mendapatkan ide. Sebuah ide yang gila, ekstrem, dan mungkin juga nekat. Tapi aku pikir, di situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Dan hanya Om Bagas lah, satu-satunya orang yang bisa menolongku. Selain Om Bagas adalah dokter kandungan langgananku, yang sudah tahu seluk-beluk masalah reproduksiku, hanya dia satu-satunya pria lain yang kukenal secara akrab. Pria yang kupikir bisa kupercaya. Selain itu, dia juga berstatus duda. Jadi, secara logika, akan aman. Tidak akan ada istri yang marah, tidak akan ada keluarga yang terluka. Hanya aku dan dia, dalam sebuah kesepakatan rahasia. "Kamu bicara apa, Sayang?" Om Bagas tampak terkejut. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari tempatnya. Ekspresinya antara kaget dan tidak percaya. Namun, sedetik kemudian, sebuah seringai tipis, hampir tak terlihat, tercetak jelas di wajahnya. Seringai yang membuat jantungku berdebar tak karuan. Entah mengapa, meskipun aku dan dia sudah sangat akrab, sering bertemu, sering bercerita, tapi aku masih bertanya-tanya arti dari seringai yang sering dia berikan padaku. Apakah itu seringai seorang teman, seorang dokter, atau apa? "Kenapa kamu datang-datang langsung bilang begitu? Ada apa? Cerita sama Om." Dia mendekat, langkahnya mantap namun lembut. Tangannya terulur, langsung merangkulku dengan hangat dan mengajakku masuk ke dalam ruangannya. Tidak lupa, dengan gerakan cepat dan sigap, dia menutup pintu ruangannya dengan rapat. Seolah mengunci semua rahasia di dalam sana. "Mas Bilal hanya memberiku waktu satu bulan untuk bisa hamil, Om. Kalau enggak, dia mau menikah lagi," jawabku memberitahu, dibarengi isak tangis yang tak tertahankan. Air mata kembali membanjiri pipiku, membasahi kerah bajuku. Aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan pegangan. Ini bukan pertama kali Om Bagas mendengar curhatanku tentang Mas Bilal. Sudah tak terhitung berapa kali aku datang ke ruangannya dengan wajah sembap dan hati hancur. Semoga saja dia tidak bosan, meskipun nasihatnya kadang kala tidak pernah kudengarkan. Aku tahu, aku keras kepala. "Om sudah menebak sih akan begini akhirnya." Om Bagas membawaku duduk di atas ranjang pemeriksaan yang dingin. Dia mengusap lembut puncak rambutku, memberikan sentuhan yang menenangkan. Selalu saja aku merasa ada kehangatan jika di dekatnya, seperti saat aku berada di dekat Ayah. "Padahal Om selalu memintamu untuk bercerai dengannya, tapi kenapa kamu nggak pernah mendengarkan Om, Sayang?" Selalu saja saran cerai yang Om Bagas berikan, seolah dia berpikir dengan aku menjanda hidupku akan jauh lebih sempurna. Seolah dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Padahal, setelah menjanda aku pun tidak tahu akan bisa mendapatkan suami yang bisa menerimaku atau tidak, karena situasinya sekarang aku sulit untuk bisa hamil. "Kan Om tau kalau aku sangat mencintai Mas Bilal. Bagaimana mungkin aku menceraikannya, Om?" Aku menjawab dengan suara serak, tercekat oleh air mata. Cinta ini sudah menjadi bagian dari diriku, seperti tulang dan darah. "Kamu memangnya nggak capek, mencintai sendirian? Si Halal Bihalal itu nggak benar-benar mencintaimu, Sayang." Om Bagas menatapku sendu, matanya melembut, seolah ikut merasakan kesedihan yang menggerogoti dadaku. Aku benci tatapan itu, tatapan yang seolah meremehkan cinta Mas Bilal padaku. "Namanya Bilal, Om, bukan Halal Bihalal." Aku meluruskan, meskipun dengan nada lelah. Om Bagas selalu salah menyebut nama suamiku, entah disengaja atau tidak. Mungkin dia memang sengaja, untuk merendahkan Mas Bilal di mataku. "Alaaahhh, siapapun itu sama saja. Intinya ... kamu sekarang cerai saja dengannya." Dia kembali mengulang mantra yang sama, mantra yang sudah sering kudengar dari bibirnya. "Aku nggak mau, Om!" Aku menggeleng cepat, dengan tegas. Aku tidak ingin menyerah pada pernikahanku, meskipun badai menerjang begitu hebat. "Jadi kamu kepengen dimadu? Om sih kalau jadi kamu ogah banget! Malah ... Om akan potong burung si Halal Bihalal itu sampai buntung! Biar tau rasanya!" geram Om Bagas, tampak emosi sendiri. Dia mengepalkan tangannya, seolah ingin melampiaskan amarahnya pada Mas Bilal. "Justru itu aku nggak mau dimadu. Mangkanya... Om harus membantuku sekarang." Aku langsung memegang kedua tangan Om Bagas, menggenggamnya erat. Aku bisa merasakan kedua tangannya sedikit tersentak, lalu gemetar. "Om bisa 'kan, hamili aku? Om 'kan sudah punya Maira, aku yakin aku bisa hamil anak Om." Aku mencoba meyakinkannya, meskipun aku sendiri merasa ragu. Apakah aku benar-benar bisa melakukan ini? Kebetulan, Maira adalah sahabatku, dan dia adalah satu-satunya anak dari Om Bagas. "Jadi kamu serius dengan kata-katamu tadi, kamu mau Om hamili?? Tapi ... kenapa harus Om?" Mata Om Bagas terlihat berbinar, ada secercah harapan yang menyala di sana. "Karena cuma Om satu-satunya pria lain yang aku kenal. Dan selama ini ... Om selalu menjaga rahasiaku tentang Mas Bilal kepada siapapun, termasuk Ayah. Jadi ... kupikir Om adalah orang yang tepat." Aku mencoba memberikan alasan logis, meskipun jantungku berdebar tak karuan. "Terus kalau kamu beneran hamil, Om akan tanggung jawab gitu, kita menikah?" Dia tersenyum lebar, menatapku penuh harap. Apa-apaan dia, kenapa bertanya seperti itu. Bercandanya tidak lucu sekali. "Ya enggaklah, Om. Om ini ngaco." Aku menjawab dengan cepat, sedikit terkekeh. "Ya terus, untuk apa Om menghamilimu kalau kita nggak menikah? Rugi dong, Sayang." Dia memasang wajah menggoda, namun aku bisa melihat kekecewaan yang tersembunyi di balik senyumnya. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba Om Bagas jadi aneh seperti ini? "Om menghamiliku 'kan untuk membantuku, supaya Mas Bilal nggak menikah lagi. Jadi ... aku bisa menyelamatkan pernikahanku." Aku menjelaskan dengan sabar, mencoba membuatnya mengerti. "Jadi... ini semua untuk si Halal Bihalal?" Om Bagas tampak sedikit terkejut. Seharusnya dia paham maksud keinginanku dari awal. "Iya, Om." Aku mengangguk cepat, mencoba meyakinkannya. Aku tahu, permintaanku ini sangat tidak masuk akal, tapi aku berharap Om Bagas bisa mengerti situasiku. Om Bagas tampak terdiam, membisu. Sorot matanya menatap kosong ke arah jendela, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat. Aku bisa merasakan ketegangan di dalam ruangan ini semakin meningkat. Dia tersentak kaget saat aku menepuk pundaknya, membuyarkan lamunannya. "Bagaimana, Om?" Aku bertanya dengan nada cemas, menunggu jawabannya dengan tidak sabar. "E-eh!!" Dia tersentak, lalu menatapku dengan tatapan bingung. "Jadi Om mau apa enggak?" Aku bertanya lagi, dengan nada sedikit memaksa. Aku tidak punya banyak waktu. "Mau, mau!" sahutnya cepat dengan anggukan kepala. Dia tampak bersemangat, tapi kemudian raut wajahnya berubah menjadi serius. "Tapi ... sebagai timbal baliknya, apa yang akan Om dapatkan darimu? Masa Om nggak dapat apa-apa. Rugi dong." Aku bisa melihat bahwa dia tidak sepenuhnya ikhlas membantuku. Bersambung...."Hari ini aku lembur sampai pagi, jadi kamu nggak usah menungguku pulang."Suara Mas Bilal dari telepon terasa dingin dan singkat, seolah tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Apakah dia masih marah padaku, karena aku menasehatinya untuk berhenti main judi?"Lembur sampai pagi?!" ulangku dengan dahi yang berkerut rapat, mataku memandang layar ponsel yang sudah mati seolah tidak percaya. Merasa heran sekali. "Kok tumben lembur segala, sampai pagi lagi, Mas?"Rasanya memang aneh, seperti ada yang tidak pas. Selama bekerja jadi CEO, Mas Bilal tidak pernah lembur—bahkan dia lebih sering bolos tak masuk kerja dan memilih nongkrong dengan teman-temannya di cafe untuk bermain judi."Iya, lagi banyak kerjaan dan nggak bisa ditunda sampai besok. Sudah dulu, ya, aku tutup teleponnya.""Tapi, Mas, aku—"Padahal aku belum selesai bicara, tapi bunyi "klik" dari telepon menandakan dia sudah mematikkannya.Aku menghela napas panjang, dada terasa sesak. Ada bagusnya sebenarnya dia mengatakan le
"Ja-jangan, Om!"Aku langsung memeluk tubuhnya erat, menahannya saat dia hendak menarik diri dari atas tubuhku. Aku tidak ingin dia marah padaku, aku tidak ingin dia mengakhiri permainan ini. Jika dia beneran marah dan tidak jadi meneruskan aktivitas ini, otomatis aku tidak bisa hamil. Impianku untuk mewujudkan keinginan suamiku akan sirna begitu saja."Kalau begitu jawab jujur, tapi berikan jawaban yang membuat Om senang." Tatapannya tajam menusuk, seolah bisa membaca setiap pikiran dan perasaanku. Aku tahu, aku tidak bisa berbohong padanya."Lebih enak bercinta dengan Om!" Jawabku sedikit lantang, berusaha meyakinkan."Serius?" Dia menatapku penuh selidik, tampak belum sepenuhnya yakin dengan jawabanku."Iya, serius, Om." Aku mengangguk cepat, dengan wajah memelas."Kalau begitu, cium bibir Om sekarang juga."Tanpa menjawab, aku menurut untuk mencium bibirnya.Wajah Om Bagas langsung berseri, dia tersenyum senang. "Baiklah... Ayok kita teruskan permainan ini! Om akan membuatmu terus
Ceklek~Pintu kamar mandi perlahan terbuka, menampilkan sosok Om Bagas yang keluar dengan balutan handuk kimono hotel. Aku refleks menelan ludah dan terkesima sesaat.Selama ini, aku hanya melihatnya sebagai pria tampan yang ramah. Namun, pemandangan di depanku ini membuka dimensi baru—seksualitas yang tak terduga.Dia begitu seksi!Sinar matahari siang yang masuk melalui jendela kamar hotel menerpa tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk ototnya yang terlatih."Maaf menunggu lama, soalnya tadi Om mandi pakai banyak sabun biar wangi," ucapnya lembut, langkahnya mendekatiku. Aroma sabun yang kuat dan segar menyeruak, memenuhi indra penciumanku. Bukan pusing yang kurasa, melainkan desiran aneh yang membangkitkan gairah."Nggak lama kok, Om. Santai saja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. "Oh ya... tadi hape Om bunyi. Ada yang telepon, namanya Karin," kataku sambil menunjuk ponselnya di atas nakas. Nada bicaraku sedikit khawatir, takut ada urusan penting."Karin?" Om Bagas mengulang
"Om 'kan bisa dapat kepuasan. Jadi Om nggak perlu jajan sama cewek lain, bisa hemat duit." Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal, meskipun aku tahu itu terdengar konyol."Enak saja jajan, kamu pikir Om cowok apaan? Om cowok baik-baik, Sayang!" Dia membela diri, dengan nada sedikit tersinggung."Masa sih, Om nggak pernah jajan?" Rasanya tidak mungkin. Seorang pria yang sudah lama menduda, tidak mungkin tidak pernah tergoda untuk mencari kesenangan di luar. Aku tidak percaya itu."Iyalah. Om 'kan sudah lama jadi dokter kandungan, nggak mungkin Om melakukan hal seperti itu. Jajan diluar 'kan bisa menyebabkan penularan penyakit seksual dan Om nggak akan melakukan hal itu." Dia menjelaskan dengan nada meyakinkan, tapi aku tetap merasa curiga."Kan bisa pakai ko*ndom." Aku menyarankan, mencoba menggodanya."Meski pakai pengaman, tapi tetap saja nggak menutup kemungkinan kalau penularan HIV itu bisa terjadi." Dia menjawab dengan nada serius."Terus, selama ini ... kalau Om pengen, gi
"Sentuh aku, Om! Hamili aku!" pintaku dengan suara lantang, memecah kesunyian ruangan Om Bagas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa persiapan, tanpa basa-basi.Setelah tadi sempat merenung di antara air mata dan keputusasaan, aku akhirnya berhasil mendapatkan ide. Sebuah ide yang gila, ekstrem, dan mungkin juga nekat. Tapi aku pikir, di situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Dan hanya Om Bagas lah, satu-satunya orang yang bisa menolongku.Selain Om Bagas adalah dokter kandungan langgananku, yang sudah tahu seluk-beluk masalah reproduksiku, hanya dia satu-satunya pria lain yang kukenal secara akrab. Pria yang kupikir bisa kupercaya.Selain itu, dia juga berstatus duda. Jadi, secara logika, akan aman. Tidak akan ada istri yang marah, tidak akan ada keluarga yang terluka. Hanya aku dan dia, dalam sebuah kesepakatan rahasia."Kamu bicara apa, Sayang?" Om Bagas tampak terkejut. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari tempatnya. Ekspresinya antara kaget dan tidak percaya.
"Lepaskan saja, Sayang... Om mau mendengar suara desahanmu."Om Bagas menarik tanganku yang sejak tadi kaku menutupi bibir. Aku sudah berusaha sekuatnya menahan setiap bunyi yang ingin keluar, rasa malu itu terlalu besar, seolah semua mata di dunia memandang.Hanya sekejap, tanganku terlepas. Suara kecil langsung lolos dari bibirku."Aahh ....""Naahh... begitu dong! Om 'kan jadi lebih semangat, Sayang!" Dia tersenyum lebar, dan gerakannya sedikit memacu.Aku tidak bisa menyangkal. Rasanya benar-benar berbeda, lebih dalam, lebih menyentuh bagian yang pernah kubiarkan terpendam. Lebih nikmat dari apa yang pernah aku rasakan bersama suamiku. Tapi tepat pada saat itu, rasa bersalah kembali menyergap dengan kuat.Wajah Mas Bilal terus muncul di depan mata. Senyumnya yang jarang muncul akhir-akhir ini, juga suaranya yang selalu bicara dengan nada tinggi. Aku merasa gelisah, jantungku berdebar kencang.Apakah yang kulakukan sudah benar? Atau, aku hanya mencari alasan untuk mengkhianatinya?







