LOGINSetelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu."Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif.""Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at
Setelah menutup telepon, aku berniat langsung ke rumah sakit dan membatalkan makan siang bersama Ayah. Namun, Ayah melarang keras meskipun aku sudah menjelaskan bahwa Mas Bilal mengalami kecelakaan dan kini tengah dioperasi.Dia memperingatkan bahwa makan siang juga penting untukku saat ini, terlepas dengan hasil operasi Mas Bilal nanti.Ketika kami tiba di rumah sakit dan menemukan Nenek Mirna di luar ruang operasi, wajahnya penuh kemarahan yang sudah hampir meluap."Kamu dari mana sih, Qia? Kenapa lama ...." Katanya dengan nada tinggi, matanya membelalak dan alisnya terkunci rapat. Tapi saat pandangannya jatuh pada Ayah yang berdiri di sebelahku, ekspresi kemarahannya perlahan mereda."Maaf, Bu, tadi Qia sedang bersamaku. Kami kebetulan lagi makan jadi kami habiskan dulu makan siang kami dan barulah ke sini," ucap Ayah dengan nada lembut dan sopan, sambil sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maaf. Nenek Mirna menghela napas dalam-dalam, dadanya terlihat mengembang dan menyusu
"Ayok." Ayah mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan pemahaman terhadap hasratku. Dia kemudian mengajakku keluar bersama dari ruangannya, tangannya secara lembut menyandar di pundakku seolah ingin memberikan kekuatan.Ketika kami sampai di lobby, kami melihat ruangan yang sepi tanpa ada jejak Om Bagas. Ayah mengerutkan kening sebentar, lalu berasumsi bahwa Om Bagas berada di restoran depan kantor, karena sebelumnya dia juga meminta pria itu untuk menunggu di sana.Namun, sesampainya kami di restoran itu, kami tetap tak menemukan sosok Om Bagas dalam pandangan, meski sudah menjelajahi seluruh meja."Kamu duduklah dulu, Sayang." Ayah menarik kursi kayu untukku dengan lembut di salah satu meja yang kosong. "Biar Ayah telepon Om Bagas dulu, tanya dia ada di mana."Aku mengangguk dan langsung duduk, sambil menyilangkan tangan di atas meja. Ketika melihat pelayan mendekat, aku pun memesan dua gelas jus jeruk segar untuk kami berdua—rasanya tubuhku membutuhkan sesuatu yang segar setelah se
"Itu juga sebenarnya Ayah nggak mau kasih tau kamu dulu, Sayang. Karena Ayah yakin kamu pasti nggak akan percaya meskipun Ayah jelaskan secara detail, apalagi Ayah belum punya bukti." Ayah menjelaskan dengan suara pelan, menatapku dengan penuh perhatian. "Tadinya Ayah dan Om Bagas sudah sepakat, akan memberitahu kamu semua ini setelah kami berdua berhasil dapatkan bukti yang kuat tentang apa yang dilakukan Bilal.""Jadi selama ini, setiap kali Ayah dan Om Bagas bertemu atau keluar bersama, itu bukan karena kalian ingin membahas masalah ekonomi atau masalah laki-laki, tapi karena kalian sedang mencari bukti kalau Mas Bilal selingkuh?""Iya, betul sekali." Ayah mengangguk dengan tegas. "Sayangnya bukti yang kami cari itu belum berhasil kami dapatkan. Dan yang lebih menyebalkan, kami kehilangan jejak wanita itu.""Kehilangan jejak gimana, Ayah?""Inara tiba-tiba hilang entah ke mana, dan saat kami cari tau ... ternyata dia sudah berhenti kerja di kantornya Bilal. Dan itu sehari setelah A
"Soal foto itu 'kan Ayah sudah katakan, Ayah sendiri nggak tau.""Mana mungkin Ayah nggak tau, Ayah bohong kan?" Aku memicingkan mata dengan tatapan penuh kecurigaa. Aku merasa tidak bisa begitu saja mempercayainya."Ayah serius, Qia. Kapan sih Ayah pernah berbohong padamu?" Suaranya terdengar tegas, matanya menatapku dengan pandangan yang penuh kesungguhan. "Soal foto itu Ayah dapatkan dari seseorang secara misterius yang Ayah sendiri nggak tau dia siapa.""Dia mengirimkannya lewat apa? Kurir, ojek online, atau lewat surat?" Aku menekan pertanyaanku, ingin mengetahui setiap detailnya."Foto itu dikirim lewat WA, Qia. Terus Ayah langsung mencetaknya lalu memberikan padamu untuk memastikannya." Ayah menjelaskan dengan sabar, lalu merogoh kantong celananya dengan tangan kanannya."Sebentar... Ayah akan tunjukkan riwayat chat yang dia kirim. Ayah nggak pernah menghapus satu pun pesan dari dia, karena merasa mungkin suatu saat akan berguna." Setelah mengambil ponselnya, Ayah menekan layar
"Untuk kali ini bukan." "Maksudnya?" Aku menatapnya heran. "Bukan Om yang membuatnya kecelakaan." "Om jangan bohong!" seruku tak percaya. "Kalau kamu nggak percaya, silahkan laporkan saja Om ke polisi," sahutnya dengan nada menantang, pundaknya sedikit mengangkat. "Tapi perlu kamu tau ... Keinginan Om untuk membunuh Bilal sudah ada sejak lama, sejak kamu pertama kali bilang ingin menikah dengannya. Om bisa saja melakukannya di hari pernikahanmu, sampai kalian nggak jadi menikah. Tapi lihat ... sampai sekarang buktinya Bilal masih hidup." Benar juga sih. Tapi jawabannya tadi ambigu sekali. "Untuk kali ini bukan." Apa berarti selain hari ini, dia pernah melakukan percobaan pembunuhan tapi gagal? "Terus kenapa Om nggak melakukannya dari dulu?" tanyaku penasaran. "Oohhh... jadi kamu menyesal menikah dengan Bilal? Justru ingin Om membunuhnya sejak lama?" Dia tiba-tiba menyeringai. "Bukan! Bukan begitu, Om!" Aku menggeleng cepat, merasa takut. Sepertinya dia salah paham maksu







