Home / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 57. Wanita berambut pirang

Share

57. Wanita berambut pirang

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-12-18 18:56:02
"Untuk kali ini bukan."

"Maksudnya?" Aku menatapnya heran.

"Bukan Om yang membuatnya kecelakaan."

"Om jangan bohong!" seruku tak percaya.

"Kalau kamu nggak percaya, silahkan laporkan saja Om ke polisi," sahutnya dengan nada menantang, pundaknya sedikit mengangkat. "Tapi perlu kamu tau ... Keinginan Om untuk membunuh Bilal sudah ada sejak lama, sejak kamu pertama kali bilang ingin menikah dengannya. Om bisa saja melakukannya di hari pernikahanmu, sampai kalian nggak jadi menikah. Tapi lihat ... sampai sekarang buktinya Bilal masih hidup."

Benar juga sih. Tapi jawabannya tadi ambigu sekali. "Untuk kali ini bukan." Apa berarti selain hari ini, dia pernah melakukan percobaan pembunuhan tapi gagal?

"Terus kenapa Om nggak melakukannya dari dulu?" tanyaku penasaran.

"Oohhh... jadi kamu menyesal menikah dengan Bilal? Justru ingin Om membunuhnya sejak lama?" Dia tiba-tiba menyeringai.

"Bukan! Bukan begitu, Om!" Aku menggeleng cepat, merasa takut. Sepertinya dia salah paham maksu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   66. Meratapi nasib

    Mataku perlahan terbuka, kelopak mataku yang berat terasa seperti ditutup oleh lapisan tebal kapas.Aku menyesuaikan diri dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan dengan warna kuning hangat. Sorot mataku berkeliling.Ini seperti kamarku di rumah Ayah. Dan saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang.Kutatap jam dinding bundar di atas pintu—jarum jamnya menunjukkan pukul 7 tepat. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Sepertinya adzan Isya. Tampaknya sudah memasuki waktu malam.Aku terdiam sejenak, menutup mata sebentar sambil mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan seketika saja, dadaku terasa sesak, bahkan begitu sakit seolah ada batu besar yang ditekan kuat-kuat ke dalamnya. Napasku menjadi pendek dan tidak teratur, setiap tarikan napas rasanya seperti menusuk dada dengan jarum tajam.Tapi, apakah semua yang terjadi adalah mimpi??Aku berharap begitu. Apalagi posisiku saat ini seperti baru saja bangun tidur.Ceklek~Suara pintu yang membuka

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   65. Seorang pengkhianat

    "Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   64. Menantu kurang ajar

    Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   63. Tespeck

    Aku memasuki kamar mandi kecil itu, lalu mengunci pintunya dengan tangan yang masih gemetar.Mataku menatap kedua tespeck yang ada di atas wastafel, jantungku berdebar semakin kencang.Aku melakukan langkahnya dengan hati-hati, kemudian menampung urine ke dalam wadah steril yang dokter berikan.Saat aku mencelupkan kedua alat tes itu secara bergantian, aku menutup mata sebentar, sambil mengulang do'a yang sama."Aku pengen punya anak, ya Allah."Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, aku membuka mata perlahan dan sontak membulat sempurna.Dua garis merah jelas terlihat di tespeck berwarna biru, satu tebal, satu lagi sedikit lebih tipis tapi tidak bisa disangkal keberadaannya. Aku menoleh ke tespeck yang berwarna putih, dan hasilnya sama. Garis dua yang terbentuk jelas dan tidak diragukan lagi."Ya Allah ini seriusan, kan? Aku ... Aku hamil??"Aku refleks bersujud syukur, air mata yang sudah menumpuk di kelopak mataku akhirnya menetes deras ke pipiku. Aku menangis bukan kare

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   62. Berbaik hatilah padaku

    Setelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu."Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif.""Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   61. Tidak ada kabar

    Setelah menutup telepon, aku berniat langsung ke rumah sakit dan membatalkan makan siang bersama Ayah. Namun, Ayah melarang keras meskipun aku sudah menjelaskan bahwa Mas Bilal mengalami kecelakaan dan kini tengah dioperasi. Dia memperingatkan bahwa makan siang juga penting untukku saat ini, terlepas dengan hasil operasi Mas Bilal nanti. Ketika kami tiba di rumah sakit dan menemukan Nenek Mirna di luar ruang operasi, wajahnya penuh kemarahan yang sudah hampir meluap. "Kamu dari mana sih, Qia? Kenapa lama ...." Katanya dengan nada tinggi, matanya membelalak dan alisnya terkunci rapat. Tapi saat pandangannya jatuh pada Ayah yang berdiri di sebelahku, ekspresi kemarahannya perlahan mereda. "Maaf, Bu, tadi Qia sedang bersamaku. Kami kebetulan lagi makan jadi kami habiskan dulu makan siang kami dan barulah ke sini," ucap Ayah dengan nada lembut dan sopan, sambil sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maaf. Nenek Mirna menghela napas dalam-dalam, dadanya terlihat mengembang dan meny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status