LOGINKeesokan harinya.Sebelum matahari benar-benar tinggi menyinari langit Bandung, aku sudah siap pulang ke Jakarta. Aku duduk di kursi belakang, sementara asisten pribadiku yang bernama Jaka—tengah mengemudi dengan tenang, tangan kiri tetap erat di setir sambil mata memantau lalu lintas yang mulai ramai.Namun, sebelum meninggalkan Bandung, aku sudah mengatur rute dengan cermat.Pertama, mampir ke toko oleh-oleh khas yang terletak di pinggir jalan utama—di sana aku membeli 5 kilo peuyeum, bolu susu dan brownies panggang. Semua itu untuk kesayangku—Qiara.Kemudian, kami berhenti di mini market untuk membelikannya beberapa varian susu ibu hamil dengan merek paling bagus. Di perjalanan, ketika mobil sudah melaju stabil di jalan tol, aku mengeluarkan ponselku yang satunya.Saat layarnya menyala dengan cahaya putih yang menyilaukan, deretan pesan masuk bertebaran di layar—dari rekan sesama dokter, Maira, Dylan, Karin dan masih banyak lagi.Tapi, dari sekian banyaknya pesan yang belum terbac
Bunda langsung melepaskan pelukan, kedua tangannya menggenggam bahuku dengan erat hingga membuatku merasa sedikit sakit, tapi aku tahu dia tidak sengaja. Matanya yang masih merah karena menangis kini menatapku dengan tatapan yang penuh kekhawatiran dan kesedihan mendalam. "Nggak! Nggak boleh, Nak!" serunya dengan tegas. Mencoba menggoyahkan aku agar keluar dari lorong pemikiran yang kelam dan mengerikan itu. "Janin di dalam kandunganmu adalah anak yang nggak berdosa. Dia punya hak untuk hidup." "Tapi dia sudah nggak dibutuhkan, Bun." Aku menjawab dengan suara yang tersedu-sedu, napasku terengah-engah karena masih sulit menahan air mata yang terus mengalir lewat pipiku. "Mas Bilal sudah nggak menginginkannya lagi ...." "Meskipun Bilal sudah nggak menginginkannya, tapi Bunda menginginkannya, Nak!" Bunda menjawab dengan cepat. Dia menarik tubuhnya sedikit ke depan, matanya semakin mendekat ke wajahku. "Pokoknya, apapun yang terjadi... kamu harus mempertahankan janin yang ada di perutm
Mataku perlahan terbuka, kelopak mataku yang berat terasa seperti ditutup oleh lapisan tebal kapas. Aku menyesuaikan diri dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan dengan warna kuning hangat. Sorot mataku berkeliling. Ini seperti kamarku di rumah Ayah. Dan saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang. Kutatap jam dinding bundar di atas pintu—jarum jamnya menunjukkan pukul 7 tepat. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Sepertinya adzan Isya. Tampaknya sudah memasuki waktu malam. Aku terdiam sejenak, menutup mata sebentar sambil mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan seketika saja, dadaku terasa sesak, bahkan begitu sakit seolah ada batu besar yang ditekan kuat-kuat ke dalamnya. Napasku menjadi pendek dan tidak teratur, setiap tarikan napas rasanya seperti menusuk dada dengan jarum tajam. Tapi, apakah semua yang terjadi adalah mimpi?? Aku berharap begitu. Apalagi posisiku saat ini seperti baru saja bangun tidur. Ceklek~ Suara pintu yang m
"Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki
Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su
Aku memasuki kamar mandi kecil itu, lalu mengunci pintunya dengan tangan yang masih gemetar.Mataku menatap kedua tespeck yang ada di atas wastafel, jantungku berdebar semakin kencang.Aku melakukan langkahnya dengan hati-hati, kemudian menampung urine ke dalam wadah steril yang dokter berikan.Saat aku mencelupkan kedua alat tes itu secara bergantian, aku menutup mata sebentar, sambil mengulang do'a yang sama."Aku pengen punya anak, ya Allah."Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, aku membuka mata perlahan dan sontak membulat sempurna.Dua garis merah jelas terlihat di tespeck berwarna biru, satu tebal, satu lagi sedikit lebih tipis tapi tidak bisa disangkal keberadaannya. Aku menoleh ke tespeck yang berwarna putih, dan hasilnya sama. Garis dua yang terbentuk jelas dan tidak diragukan lagi."Ya Allah ini seriusan, kan? Aku ... Aku hamil??"Aku refleks bersujud syukur, air mata yang sudah menumpuk di kelopak mataku akhirnya menetes deras ke pipiku. Aku menangis bukan kare






![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
