Beranda / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 62. Berbaik hatilah padaku

Share

62. Berbaik hatilah padaku

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-20 19:55:00

Setelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.

Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu.

"Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.

Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif."

"Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.

Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.

Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rossy Dildara
bener kak wkwk
goodnovel comment avatar
KKK
betul2 definisi "cinta itu buta" utk Qiara..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   69. Garda terdepan

    "Hati-hati di jalan, Gas." "Iya, Lan." Setelah itu aku menutup panggilan dengan lembut, lalu membuka satu persatu pesan yang belum dibuka. * * * Setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam melewati jalanan yang rimbun lalu lintas, akhirnya ban mobilku menggesek aspal dengan suara pelan saat berhenti di depan cafe yang sudah begitu akrab bagiku. Cafe bergaya klasik dengan pintu kayu berlapis cat coklat tua ini adalah tempat langgananku bersama Dylan, sudah berdiri sejak kami masih mengenakan seragam mahasiswa dengan dasi yang kadang kusut dan sepatu kulit yang selalu tergores. Lampu gantung dengan warna kuning keemasan dari setiap sudut menerangi ruangan dengan cahaya yang hangat dan sedikit samar—sama seperti dulu kala saat kami sering menghabiskan malam membahas rencana masa depan. Dylan sebenarnya kakak seniorku saat kuliah, tapi kami berbeda jurusan. Aku mengambil kedokteran, yang mengharuskan aku menghabiskan waktu lebih banyak di laboratorium dan ruang praktik, sementara di

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   68. Untuk kesayanganku

    Keesokan harinya.Sebelum matahari benar-benar tinggi menyinari langit Bandung, aku sudah siap pulang ke Jakarta. Aku duduk di kursi belakang, sementara asisten pribadiku yang bernama Jaka—tengah mengemudi dengan tenang, tangan kiri tetap erat di setir sambil mata memantau lalu lintas yang mulai ramai.Namun, sebelum meninggalkan Bandung, aku sudah mengatur rute dengan cermat.Pertama, mampir ke toko oleh-oleh khas yang terletak di pinggir jalan utama—di sana aku membeli 5 kilo peuyeum, bolu susu dan brownies panggang. Semua itu untuk kesayangku—Qiara.Kemudian, kami berhenti di mini market untuk membelikannya beberapa varian susu ibu hamil dengan merek paling bagus. Di perjalanan, ketika mobil sudah melaju stabil di jalan tol, aku mengeluarkan ponselku yang satunya.Saat layarnya menyala dengan cahaya putih yang menyilaukan, deretan pesan masuk bertebaran di layar—dari rekan sesama dokter, Maira, Dylan, Karin dan masih banyak lagi.Tapi, dari sekian banyaknya pesan yang belum terbac

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   67. Luar biasa

    Bunda langsung melepaskan pelukan, kedua tangannya menggenggam bahuku dengan erat hingga membuatku merasa sedikit sakit, tapi aku tahu dia tidak sengaja. Matanya yang masih merah karena menangis kini menatapku dengan tatapan yang penuh kekhawatiran dan kesedihan mendalam. "Nggak! Nggak boleh, Nak!" serunya dengan tegas. Mencoba menggoyahkan aku agar keluar dari lorong pemikiran yang kelam dan mengerikan itu. "Janin di dalam kandunganmu adalah anak yang nggak berdosa. Dia punya hak untuk hidup." "Tapi dia sudah nggak dibutuhkan, Bun." Aku menjawab dengan suara yang tersedu-sedu, napasku terengah-engah karena masih sulit menahan air mata yang terus mengalir lewat pipiku. "Mas Bilal sudah nggak menginginkannya lagi ...." "Meskipun Bilal sudah nggak menginginkannya, tapi Bunda menginginkannya, Nak!" Bunda menjawab dengan cepat. Dia menarik tubuhnya sedikit ke depan, matanya semakin mendekat ke wajahku. "Pokoknya, apapun yang terjadi... kamu harus mempertahankan janin yang ada di perutm

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   66. Meratapi nasib

    Mataku perlahan terbuka, kelopak mataku yang berat terasa seperti ditutup oleh lapisan tebal kapas. Aku menyesuaikan diri dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan dengan warna kuning hangat. Sorot mataku berkeliling. Ini seperti kamarku di rumah Ayah. Dan saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang. Kutatap jam dinding bundar di atas pintu—jarum jamnya menunjukkan pukul 7 tepat. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Sepertinya adzan Isya. Tampaknya sudah memasuki waktu malam. Aku terdiam sejenak, menutup mata sebentar sambil mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan seketika saja, dadaku terasa sesak, bahkan begitu sakit seolah ada batu besar yang ditekan kuat-kuat ke dalamnya. Napasku menjadi pendek dan tidak teratur, setiap tarikan napas rasanya seperti menusuk dada dengan jarum tajam. Tapi, apakah semua yang terjadi adalah mimpi?? Aku berharap begitu. Apalagi posisiku saat ini seperti baru saja bangun tidur. Ceklek~ Suara pintu yang m

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   65. Seorang pengkhianat

    "Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   64. Menantu kurang ajar

    Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status