LOGINPanas lembut matahari pagi menyusup melalui sela-sela tirai tipis apartemen John.Cahaya keemasan itu jatuh di kulit Sophia yang masih terbaring setengah tertutup selimut, tubuhnya telanjang, napasnya masih berantakan seolah baru bangun dari mimpi panjang yang tak sepenuhnya bisa dia terima.Sophia mengerjap pelan. Sedetik kemudian, kesadaran menamparnya. Dia masih telanjang. Di ranjang John, dengan tubuh yang masih terasa lemas dan tanda-tanda yang terlalu jelas bahwa malam tadi bukan mimpi.Jantung Sophia langsung melonjak. “Astaga,” bisiknya pelan lalu menutup sebagian wajah dengan punggung tangan. “Aku sudah mulai gila.”Ia tak tahu harus merasa apa. Ada bahagia yang merayap perlahan dari dasar perutnya, menghangatkan setiap inci tubuhnya. Tapi bersamaan dengan itu, ada panik, bingung, terkejut, dan rasa bersalah yang saling bertabrakan tanpa kontrol.Sophia memejamkan matanya sambil mengulang-ulang kejadian semalam di kepalanya. Sentuhan John, bagaimana dia tak bisa berpikir jern
“Kau sudah yakin, Sophia? Karena setelah aku menyentuhmu, kau tidak akan pergi dariku,” ucap John meyakinkan terlebih dahulu bahwa Sophia tidak akan menyesali keputusannya.Sophia mengangguk dengan pelan. “Aku tidak akan menyesal. Justru aku ingin lebih dari sekadar ciuman yang kita lakukan, John.”Pria itu terdiam dan hanya menatap wajah Sophia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.“Baiklah, aku pun sudah tidak bisa menahan diri lagi.”Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, John memiringkan wajahnya, menghapus jarak terakhir itu dan menempelkan bibirnya pada bibir Sophia.Ciuman itu lembut pada awalnya. Hangat dan lambat. Seolah dia sedang memberikan Sophia kesempatan untuk menarik diri jika mau.Namun Sophia tidak bergerak mundur. Sebaliknya, dia justru merasakan lututnya melemah, tubuhnya seakan kehilangan kendali, dan dia tersandar ringan pada dada John.Ketika ciuman itu semakin dalam, napas Sophia pecah meninggalkan bibirnya dalam desahan kecil yang tak bisa ditahan.Suara
Pukul sepuluh malam.Langit di luar jendela apartemen John sudah benar-benar gelap, hanya disisipi lampu kota yang berpendar seperti ribuan bintang palsu.John baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, kaus hitamnya melekat di tubuhnya ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Suara itu membuatnya berhenti seketika.Tidak ada yang akan datang di jam seperti ini. Dan tidak ada siapa pun yang biasanya tahu kode lift menuju lantai khusus ini.John berjalan perlahan menuju pintu sedikit waspada dan sedikit curiga. Tapi begitu pintu terbuka, semuanya runtuh begitu saja.Sophia berdiri di sana.Wajahnya pucat. Rambutnya berantakan seperti dia terburu-buru keluar rumah. Matanya sembab, tapi bukan karena habis menangis melainkan karena terlalu banyak menahan sesuatu di dalam diri.“S-Sophia?” John hampir kehilangan suaranya. “Kau datang tanpa pesan dulu.”Sophia menatapnya dengan ragu, seolah takut kalau kedatangannya salah waktu, salah tempat dan salah segalanya. “Apa …
“Sophia. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Mike datang ke butik Sophia tanpa pemberitahuan bahkan membuat Sophia terkejut sesaat.Pegawai butik saling pandang takut melihat raut wajah Mike yang sangat tidak bersahabat.Sophia mengangkat tangannya memberi isyarat agar mereka meninggalkan ruang utama. Setelah ruangan benar-benar sepi, barulah Sophia mendekat dan mencoba tersenyum meski dadanya berdebar.“Katakan apa yang terjadi, Mike?” tanyanya masih dengan nada lembutnya.Mike tidak menjawab dulu. Dia hanya menatap Sophia dari ujung kepala hingga kaki, seolah memastikan bahwa wanita di depannya ini tidak menyembunyikan sesuatu.“Aku ingin kau berhenti terapi dengan John.” Ucapan itu keluar tanpa jeda. Tanpa alasan dan tanpa penjelasan.Alis Sophia mengerut. “Apa?” ucapnya masih tak paham dengan ucapan Mike barusan.Mike melangkah maju satu langkah dengan deru napas yang berat. “Aku bilang berhenti. Mulai hari ini.”Sophia menelan salivanya. “Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Suasana klinik masih lengang ketika pintu utama terbuka dengan hentakan keras. John yang sedang berdiri di depan meja resepsionis tengah membaca berkas pasien, langsung mengangkat kepala.Resepsionis di sisi lain tampak tersentak, tetapi sebelum sempat menegur, sosok yang baru datang itu sudah berjalan cepat melewati ruang tunggu.Mike.Wajahnya tegang, rahang mengeras, matanya tajam seperti seseorang yang sudah menahan kekesalan selama berhari-hari.Tanpa mengetuk pintu, Mike langsung mendorong masuk ke ruang kerja John. “Kita bicara sekarang.”John menghela napas perlahan sambil menutup map pasiennya, lalu menatap Mike dengan ekspresi netral yang sangat dipaksakan. “Baik. Duduk dulu.”“Aku tidak punya waktu untuk duduk.” Mike melipat kedua tangannya di dada, suaranya meninggi sejak awal. “Aku ingin kau mempercepat terapi Sophia.”John mengedipkan mata sekali lalu dua kali. Tidak heran permintaan itu muncul, tapi cara Mike menyampaikannya seolah Sophia hanyalah proyek yang harus sege
Dua hari berlalu. Waktu sudah menunjuk angka lima sore saat Sophia berdiri di depan klinik John.Angin sore menyapu rambutnya yang tergerai, sementara kedua tangannya terus meremas tali tas selempangnya.Ada getaran gugup yang tak bisa dia sembunyikan, campuran antara takut, cemas, dan rindu yang tidak seharusnya dia rasakan.Begitu pintu kaca terbuka, aroma lavender khas klinik menyambutnya.“Selamat sore. Dokter John sudah menunggu,” ucap resepsionis ramah yang sudah mengenali Sophia.Sophia hanya mengangguk kecil. Jantungnya berdetak lebih keras saat melangkah menuju ruang kerja John.Setiap langkah membuatnya semakin ragu, apa dia seharusnya datang? Apa dia akan semakin tenggelam dalam perasaan yang tidak seharusnya?Saat dia masuk, John baru saja menutup sebuah buku catatan yang sebelumnya dia buka di atas meja nakas. Pria itu menoleh dan senyuman lembut langsung terbit di bibirnya.“Hi,” sapa John dengan suara rendah yang menenangkan.“Padahal aku baru mau menghubungimu. Tapi, k







