MasukKantor Raka siang itu terasa sunyi dan dingin, meski matahari di luar bersinar terang.Dinding kaca besar memperlihatkan kota yang sibuk, tetapi di dalam ruangan itu, atmosfer justru tegang.Raka duduk di balik meja kerjanya yang besar, mengenakan setelan rapi, wajahnya datar tanpa ekspresi ketika sekretaris memberitahu bahwa Benny ingin menemuinya.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Benny melangkah masuk dengan langkah mantap, lalu duduk di kursi di hadapan Raka tanpa menunggu dipersilakan.Kedua pria itu saling menatap dalam diam beberapa detik, seolah sedang mengukur kekuatan masing-masing.“Aku datang untuk memastikan satu hal,” kata Benny akhirnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan.“Keputusanmu sudah benar. Kau tidak seharusnya merestui hubungan John dengan Sophia.”Raka tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggung ke kursinya, menautkan jemari di atas meja. “Dan alasanmu?” tanyanya singkat.Benny menyunggingkan senyum tipis yang sinis. “Wanita itu tidak akan memberi ket
Pagi itu butik Sophia kembali hidup seperti biasanya. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, memantul di gulungan kain sutra dan organza yang tersusun rapi.Aroma khas kain baru bercampur dengan wangi kopi yang baru saja diseduh karyawan.Sophia berdiri di dekat meja kerja besar, jemarinya menyusuri tekstur kain dengan penuh perhatian.Ia tengah memilih bahan untuk pembeli setianya, seorang klien lama yang akan menggelar acara penting beberapa bulan ke depan.Pekerjaan itu memberinya ketenangan, rutinitas yang membuat napasnya kembali teratur.Pintu butik terbuka dan Bianca masuk dengan langkah cepat. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kesibukan rapat bersama klien ayahnya.Tanpa basa-basi, Bianca menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, tepat di dekat Sophia.“Dokter pribadimu sudah mengizinkanmu bekerja, hum?” tanya Bianca sambil menyandarkan punggungnya.Sophia menoleh dan tersenyum tipis. “Tentu saja,” jawabnya ringan. “Kalau tidak, aku tidak akan ada di sini, Bi
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam ketika apartemen itu kembali tenggelam dalam keheningan yang intim.Lampu utama telah diredupkan, menyisakan cahaya temaram dari lampu sudut ruangan yang membuat bayangan mereka memanjang lembut di dinding.Di luar, kota masih hidup dengan denyutnya sendiri, tetapi di dalam ruangan itu, dunia seolah berhenti hanya untuk mereka berdua.Sophia duduk di sofa, punggungnya bersandar namun bahunya sedikit tegang. John berada di hadapannya, tidak terlalu dekat, memberi ruang yang ia tahu sangat dibutuhkan Sophia.Tatapan John hangat, sabar, tanpa desakan apa pun. Malam ini bukan tentang paksaan, bukan tentang keinginan sepihak. Tapi ini tentang kepercayaan.“Kita bisa berhenti kapan saja,” ucap John pelan, suaranya rendah dan menenangkan. “Kau yang memegang kendali.”Sophia mengangguk. Napasnya teratur, meski jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.Dia tahu ini bagian dari proses, bukan sekadar terapi yang tertulis di buku, melainkan pe
Malam itu apartemen John terasa lebih hangat dari biasanya. Begitu pintu terbuka, aroma pasta yang sedang dimasak langsung menyambut inderanya.Lampu dapur menyala terang, memantulkan bayangan Sophia yang berdiri di depan kompor, mengenakan celemek sederhana, dan rambutnya diikat seadanya.Ada ketenangan yang langsung merayap ke dada John hanya dengan melihat pemandangan itu.John meletakkan jasnya di sandaran kursi, lalu duduk di kursi makan tanpa mengalihkan pandangannya dari Sophia.Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, senyum yang bahkan tidak ia sadari. Sophia terlihat begitu fokus mengaduk pasta, sesekali mencicipi sausnya, lalu menambahkan sedikit bumbu.“Harumnya,” ucap John akhirnya, suaranya lembut.Sophia menoleh sekilas dan tersenyum kecil. “Kau baru datang, cuci tangan dulu sebelum menyentuh makanan,” katanya dengan nada suara yang otomatis seperti kebiasaan orang yang sudah terlalu nyaman berbagi ruang.John menurut, lalu kembali duduk. Ia menyandarkan punggun
Raka datang tanpa janji, seperti badai yang menerobos masuk ke klinik John. Suara pintu yang terbuka keras membuat beberapa perawat menoleh, lalu menunduk kembali begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu ruang praktik.Aura kemarahan itu terlalu jelas untuk diabaikan.John yang sedang berdiri di dekat jendela, sambil membaca hasil pemeriksaan pasien terakhirnya, tidak langsung menoleh.Dia sudah tahu siapa yang datang bahkan sebelum suara langkah kaki berat itu berhenti tepat di belakangnya.“Apa yang kau lakukan di kantor Mike?” tanya Raka dengan nada yang meledak tanpa basa-basi.“Untuk apa kau ke sana? Apa sepenting itu Sophia di matamu sampai kau berani datang ke kantor orang dan mengobrak-abrik dokumen milik Mike?”John menutup map di tangannya perlahan. Gerakannya begitu tenang, bertolak belakang dengan nada suara ayahnya. Ia berbalik sedikit, cukup untuk memperlihatkan sisi wajahnya. “Itu bukan urusan Papa.”Raka membelalakkan mata. “Bukan urusanku?” Ia melangkah maju
John duduk di kursi kulit hitam di hadapan meja kerja besar yang dipenuhi map dan berkas hukum.Ruangan itu terasa dingin, bukan karena pendingin udara, melainkan karena topik pembicaraan yang sedang mereka hadapi.Di seberangnya, Thomas—pria berkacamata dengan raut wajah tenang namun tegas menyandarkan punggung ke kursinya sambil menyilangkan tangan di dada.Ia adalah ahli hukum, sekaligus teman lama John. Ironisnya, mereka pertama kali bertemu bukan sebagai dua profesional, melainkan sebagai dokter dan pasien bertahun-tahun yang lalu.John mengusap wajahnya dengan telapak tangan, napasnya berat. “Aku datang ke sini bukan sebagai dokter, tapi sebagai seseorang yang ingin memperjuangkan keadilan,” ucapnya akhirnya. “Sophia ditipu.”Thomas menatap John dengan saksama. “Ceritakan dari awal. Semua detailnya.”John menarik napas panjang, lalu mulai bercerita. Tentang Sophia yang menyerahkan uang lima miliar pada Mike dengan dalih investasi.Tentang janji-janji yang diucapkan Mike, tentang







