LOGINWaktu menunjuk angka sebelas malam dan John mengajaknya ke sebuah restoran mewah. Restoran itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit.John sengaja memilih tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, sebuah restoran mewah dengan pelayanan privat yang menjamin ketenangan.Ia bahkan menyewa satu ruang VIP tertutup, memastikan Sophia merasa aman, nyaman, dan tidak perlu cemas dengan tatapan orang lain.Sophia melangkah masuk dengan gaun sederhana berwarna krem yang membingkai tubuhnya dengan anggun.Rambutnya tergerai rapi, dan matanya menelusuri ruangan itu dengan sedikit heran. Meja makan ditata elegan, lilin-lilin kecil menyala lembut, dan alunan musik klasik terdengar samar.“Kenapa mendadak sekali?” tanya Sophia begitu mereka duduk berhadapan. Nada suaranya lembut, namun jelas mengandung rasa penasaran. “Kau bahkan tidak memberiku waktu untuk bersiap-siap.”John tersenyum tipis. Senyum yang selalu membuat dada Sophia terasa hangat tanpa alasan j
Tiga hari kemudian, suasana di ruang kerja John terasa jauh lebih berat dari biasanya.Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya pagi masuk samar, seolah ikut menyesuaikan diri dengan suasana hati penghuninya.Di atas meja kerjanya, sebuah map tebal berwarna cokelat tergeletak rapi, penuh dengan dokumen, grafik, dan laporan rinci yang baru saja diserahkan oleh tim audit independen yang ia tugaskan.John duduk bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam menelusuri wajah dua orang auditor yang duduk di hadapannya.Sejak pagi tadi, ia menahan diri untuk tetap tenang, meski dadanya terasa sesak oleh firasat buruk yang sejak awal tak pernah benar-benar ia sangkal.“Kami sudah menyelesaikan penelusuran alur dana yang diberikan oleh Sophia delapan bulan lalu,” ucap salah satu auditor, seorang pria paruh baya dengan kacamata tipis dan suara datar profesional.John mengangguk. “Mulai dari awal,” katanya singkat.Auditor itu membuka map, menarik satu
John datang ke apartemen dengan langkah cepat namun tertahan, seolah berusaha menenangkan dirinya sebelum benar-benar berhadapan dengan Sophia.Pintu ditutup pelan di belakangnya. Aroma sabun dan uap hangat dari kamar mandi masih terasa di udara, menandakan Sophia baru saja selesai mandi.Ia menemukannya duduk di depan meja rias, mengenakan piyama sederhana berwarna lembut.Rambutnya masih setengah basah, disisir perlahan dengan gerakan yang tampak mekanis. Tatapannya kosong, fokus pada pantulan dirinya sendiri, seolah pikirannya masih melayang entah ke mana.John berdiri di sampingnya tanpa langsung bicara. Ia memperhatikan Sophia beberapa detik, lalu meletakkan sebuah map tipis di atas meja rias, tepat di samping botol lotion dan sisir kayu milik Sophia.Suara kertas yang menyentuh permukaan kayu membuat Sophia menoleh. Keningnya langsung berkerut ketika melihat dokumen asing itu.“Ini apa?” tanyanya pelan, namun jelas.John menarik napas, lalu menjawab dengan suara rendah namun teg
Mike datang ke klinik John tanpa membuat janji, tanpa basa-basi, dan tanpa sedikit pun niat menahan emosinya.Pintu ruang praktik itu terbuka dengan hentakan keras, membuat beberapa perawat di luar terkejut dan menoleh bersamaan.John yang tengah berdiri di dekat meja kerjanya hanya melirik sekilas, seolah sudah menduga siapa tamu tak diundang itu.“Apa semua ini ulahmu?” bentak Mike tanpa salam.Dadanya naik turun, rahangnya mengeras, dan matanya merah oleh amarah yang belum sempat mereda sejak pagi.“Tim audit pajak itu. Kau yang mendatangkan mereka ke perusahaanku, kan?” pekiknya dengan kasar.John tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke meja, lalu melipat tangan di dada dengan sikap santai yang justru membuat darah Mike semakin mendidih. Wajah John tetap tenang, nyaris dingin.“Aku sudah bilang,” ujar John akhirnya dengan nada datar. “Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku.”Mike mendengus kasar. “Jadi benar. Kau sengaja menghancurkan perusahaanku.”John me
Kantor Mike yang biasanya dipenuhi suara papan ketik dan percakapan ringan antar karyawan mendadak berubah suasana pada pagi itu.Ketika jam baru saja menunjukkan lewat dari pukul sepuluh, pintu utama terbuka dan tiga orang asing masuk dengan langkah mantap.Mereka mengenakan setelan rapi sambil membawa map tebal dan tas kerja hitam. Wajah mereka serius, tanpa senyum basa-basi.Sekretaris Mike yang duduk di meja depan tampak terkejut. “Maaf, Anda ada janji?” tanyanya gugup.Salah satu dari mereka menunjukkan kartu identitas. “Kami dari tim audit independen. Kami akan melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan ini.”Nada bicaranya tegas dan tidak memberi ruang untuk penolakan.Beberapa menit kemudian, Mike keluar dari ruang kerjanya dengan langkah tergesa. Wajahnya berubah seketika ketika melihat tiga orang itu berdiri di tengah kantor, dikelilingi tatapan bingung para karyawan.“Ada apa ini?” tanya Mike, berusaha terdengar tenang meski jantungnya mulai berdegup tidak beraturan.“Kami m
Kantor Raka siang itu terasa sunyi dan dingin, meski matahari di luar bersinar terang.Dinding kaca besar memperlihatkan kota yang sibuk, tetapi di dalam ruangan itu, atmosfer justru tegang.Raka duduk di balik meja kerjanya yang besar, mengenakan setelan rapi, wajahnya datar tanpa ekspresi ketika sekretaris memberitahu bahwa Benny ingin menemuinya.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Benny melangkah masuk dengan langkah mantap, lalu duduk di kursi di hadapan Raka tanpa menunggu dipersilakan.Kedua pria itu saling menatap dalam diam beberapa detik, seolah sedang mengukur kekuatan masing-masing.“Aku datang untuk memastikan satu hal,” kata Benny akhirnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan.“Keputusanmu sudah benar. Kau tidak seharusnya merestui hubungan John dengan Sophia.”Raka tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggung ke kursinya, menautkan jemari di atas meja. “Dan alasanmu?” tanyanya singkat.Benny menyunggingkan senyum tipis yang sinis. “Wanita itu tidak akan memberi ket







