Flashback. Hari pengumuman hasil SNMPTN.
Suara ketukan pintu membuat Carla terdiam sejenak, belum juga ia beranjak untuk membuka pintunya, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka. Wajah Gentara muncul dari sana, membuat senyum di wajah Carla memudar seketika.
Jantung Carla mulai berdetak abnormal seiring dengan tungkai Gentara yang melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan senyum mengerikan. Pintu di tutup, Carla terduduk di atas ranjangnya dengan tangan gemetar.
"Kakak dengar dari Mama, katanya hasil tes ujian kamu lolos, ya?" sambil berkata demikian Gentara melangkah mendekati ranjang Carla. Sementara Carla masih terpaku di tempat dengan wajah gelisahnya.
"Kenapa diam? kakak nanya, Car." Gentara duduk di tepi ranjang, tangannya bergerak mengusap pipi tirus Carla.
Wajah Carla melengos, menghindari sentuhan tangan dari kakak tirinya itu. Perlahan kepala Carla mengangguk, sebagai jawaban dari pertanyaan Gentara baru
"Apa gak sebaiknya kamu lapor ke orang tua kamu, Car?" Obrolan Savian dan Carla masih berlanjut. Mereka duduk bersebelahan di atas ranjang sembari menyenderkan punggung mereka. Di bahu lebar Savian tersandar kepala Carla yang terlihat nyaman. Kedua mata Carla terpejam, mengingat kembali hari dimana ia memilih memberitahukan Papa dan Mamanya tentang kelakuan bejat Gentara, kakaknya. Sekilas senyum pedih terlintas, Carla kembali merasakan bagaimana harapannya hancur saat itu. Dimana ia berharap mama dan mamanya memberinya perlindungan dari Gentara, tapi yang ia dapatkan adalah hal yang tidak pernah terbayangkan. Gentara playing victim dan membuat seolah semua Carla yang salah. Mulai hari itu Carla berhenti berharap kepada Mama dan Papa tirinya. Percuma.
“Katanya kamu kemarin di antar pulang sama pak Savian?”Obrolan santai makan siang di alihkan Alvero ke sesi interogasi. Gara-gara kemarin Alvero tidak ikut kelas Savian, cowok itu jadi ketinggalan berita. Beruntung kampusnya itu memiliki banyak lambe, jadi Alvero tidak perlu susah payah mencari kabar Carla yang katanya kemarin hampir pingsan. Dan yang membuat kabar tersebut semakin panas sebab nama Savian ikut terseret.“Dinne yang ngomong itu ke kamu?” Carla bertanya balik sebelum memasukan baksonya ke dalam mulut.Alvero menggeleng, “Aku tahu dari Jinan.” Jawab Alvero membuat kunyahan Carla terhenti.“Jinan anak teknik?” setahu Carla yang namanya Jinan di kampus ini memang cuma Jinan Angkasa dari Fakulitas sebelah. Tapi tidak ada salahnya bertanya untuk memastikan kembali, kan?Anggukan di kepala Alvero membuat Carla melongo tak percaya. Masa iya kabar tentang dirinya dan Savian sampai ke telinga a
"Ada apa, pak?" Carla segera bertanya ketika langkahnya sudah memasuki ruang kerja Savian. Savian menutup pintu ruangannya lebih dulu sebelum menarik Carla ke sofa dan duduk bersebelahan di sana. "Gakpapa, aku cuma mau bawa kamu pergi aja dari sana. Di sana banyak cowok, Car, aku takut kamu kenapa-kenapa." jawabnya seraya menyampirkan anak rambut Carla ke belakang telinga gadis itu. Carla tersenyum simpul, seakan menunjukan kalau ia baik-baik saja. "Tenang aja, pak. Di sana kan ada Alvero, dia pasti jagain aku. Lagian, mulai sekarang aku mau belajar hidup jadi cewek normal." kata Carla dengan wajah cerianya. Membuat Savian tertawa kecil. "Kamu memang cewek normal, Carla." ujar Savian lembut. Carla menggeleng, tidak setuju dengan ucapan Savian. "Masih setengah normal, pak." jawabnya kembali membuat Savian tertawa. Wajah Carla ketika menjawab semua ucapan Savian begitu polos dan lugu layaknya anak kecil. "Bedanya cewek normal sama kamu apa memangnya?" Savian merapatkan duduknya tan
"Sesuai permintaan bapak, aku udah putusin Artan." Savian yang semula duduk di kursinya spontan menegak, berjalan cepat ke arah Kristal lantas menangkup wajah gadis itu. "Dia gak ngapa-ngapain kamu, kan?" tatapan Savian tersirat kekhawatiran. Mengintai setiap jengkal kulit wajah Kristal, lalu menghembuskan napas panjang ketika mendapati luka robek di sudut bibir dan lebam di curuk leher yang sengaja Kristal tutupi menggunakan rambutnya yang terurai. Kristal menunduk dengan wajah memelas, ia mengangkat salah satu kakinya dan menunjukan luka kebiruan di pergelangan kaki mulusnya itu. "Dia ngamuk, aku mungkin udah mati di gemukin dia di halte depan kalau orang-orang gak nolongin aku." Kristal mengusap air matanya, ia tidak ingin terlihat lemah meski sekujur tubuhnya sudah penuh dengan bekas luka jejak tangan dari mantan pacarnya. Artan. Savian tidak mengatakan apapun, ia hanya membawa Kr
Carla menggeram, mengibaskan rambutnya kesal. Tak tahan dengan suhu ruangannya yang panas, Carla pun bangkit dari duduknya sambil membawa laptop di tangan. Sebelum keluar dari kamarnya, mata Carla memincing tajam ke arah AC kamarnya yang tiba-tiba saja tidak berfungsi. Gadis itu berjalan menuju sofa depan televisi, meletakkan laptopnya dengan hati-hati di atas meja lalu mendaratkan bokongnya di atas lantai, mengangguri sofa empuknya di belakang. Carla juga tidak menyalakan televisi, karena tujuannya ke ruang tengah agar ia nyaman mengerjakan tugas kuliah. Kalau televisi di biarkan menyala, mungkin konsetrasi gadis itu akan terbelah dua dan tugasnya tak kunjung rampung. Carla menghentikan aktifitasnya sejenak, melirik ke kamar Savian yang tertutup rapat, lampu di kamar itu padam, sepertinya sang pemilik kamar belum kunjung pulang. Gadis cantik itu menghela napas pelan, mendapati jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi tanda-tanda Savian akan pulang
Pertahanan Carla musnah. Nyatanya, gadis polos itu kini sedang meringkuk nyaman di dalam dekapan hangat Savian. Tidur di satu ranjang yang sama seperti ini bukan yang pertama kalinya untuk mereka. Tapi entah kenapa malam ini suasananya sangat berbeda. Mungkin karena malam ini mereka tidur bersama bukan karena ketiduran. "Pak..." Carla bersuara pelan. "Hm?" Meski kedua matanya sudah terpejam, tapi Savian belum tertidur sepenuhnya. "Bapak pernah melakukan seks?" Bola mata Savian seketika terbuka, tatapannya langsung melotot ke arah Carla. Tidak menduga bahwa pertanyaan gadis itu menyerempet ke arah sana. Savian menghela napas pelan, tatapannya yang semula ke arah Carla kini teralihkan ke langit-langit kamar, "Lebih tepatnya, aku pernah making love." jawab Savian tanpa sungkan. Carla tidak ka
Tidak ingin merusak malam minggu pertamanya hanya karena perdebatan kecilnya dengan Savian. Carla paksakan untuk memasang senyum cerah malam ini, menyapa satu per satu teman Alvero yang beberapa tidak di kenalnya. Ternyata yang datang lebih banyak dari yang Carla kira. Malah wajahnya pun asing semua. Sepertinya anak-anak dari fakultas lain ikut gabung juga. "Carlaaaa," Itu Dinne. Satu-satunya cewek di kampus yang deket sama Carla. Melihat kehadiran Dinne, Carla jadi sedikit lega. Ah, omong-omong, Carla belum sempat mentraktir Dinne sebagai balas budi karena beberapa hari lalu cewek itu menolongnya. Dinne memeluk Carla sekilas, lalu melakukan tos ala anak tongkrongan dengan Alvero. "Tumben banget lo ikut ngumpul gini!" kata Dinne masih tidak percaya. Mereka sudah di semester 4, tapi baru kali ini Dinne mendapati Carla menghadiri acara kumpul-kumpul seperti malam ini. "He he he, aku mau cari pacar, Nne." bisik Carla malu-malu. Mata Dinne langsun
Chaka tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis yang duduk di kursi pojok. Cewek yang baru saja di tarik Alvero untuk pindah dari kursi di sebelahnya. Tatapan mata menilai Chaka di pergoki Alvero, membuat cowok itu menatap Chaka dengan sorot mata yang tajam. Chaka tersenyum, lalu mendengus. Kenapa Alvero tampak kesal? padahal dia cuma teman Carla saja. "Lho, lo kenapa duduk di sini, Ka? Carla mana?" Dinne datang sambil menggaruk pelipisnya. Tampak kebingungan karena kursi yang semula ia tempati malah di duduki Chaka. Dagu Chaka menunjuk ke arah Carla yang kini sedang ngobrol dengan Frisco, bibir cewek itu melengkungkan senyum lebar, sepertinya sedang membicarakan hal yang lucu sampai sih Ucok berhasil mengubah raut datar Carla jadi ceria. Ah, Chaka jadi makin sulit mengalihkan pandangannya dari Carla. Senyum gadis itu memanjakan matanya. "Kok pindah?" Dinne bertanya - tanya sambil mendudukkan diri di kursi kosong sebelah Chaka. Meraih gelas ic