LOGINSeperti tak membiarkan akhir pekan mereka berlalu dengan tenang, kediaman keluarga kecil Alesco kini kembali didatangi oleh tamu. Bukan satu, melainkan dua.
Mobil hitam elegan berhenti di depan teras, dan tak lama, dari sana turun sepasang wajah yang dulu begitu akrab di mata Leah: Vincent dan Alisa.
Leah yang baru saja duduk di ruang tamu bersama secangkir teh, sontak membeku di tempat. Sedetik matanya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, seolah waktu tiga bulan terakhir yang hening dan tanpa kabar itu kini menamparnya tanpa aba-aba.
Alisa turun lebih dulu, langkahnya anggun, gaun putih krem yang ia kenakan memantulkan cahaya matahari pagi. Rambut panjangnya bergelombang lembut, ditata dengan rapi, sementara tangannya menggandeng Vincent dengan mantap.
Pemandangan itu terlalu serasi, terlalu tiba-tiba.
Sungguh sesuatu yang tak pernah Leah bayangkan akan ia lihat hari ini.
Belum sempat Leah berdiri, Alesco yang baru saja muncul dari ara
Seperti tak membiarkan akhir pekan mereka berlalu dengan tenang, kediaman keluarga kecil Alesco kini kembali didatangi oleh tamu. Bukan satu, melainkan dua.Mobil hitam elegan berhenti di depan teras, dan tak lama, dari sana turun sepasang wajah yang dulu begitu akrab di mata Leah: Vincent dan Alisa.Leah yang baru saja duduk di ruang tamu bersama secangkir teh, sontak membeku di tempat. Sedetik matanya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, seolah waktu tiga bulan terakhir yang hening dan tanpa kabar itu kini menamparnya tanpa aba-aba.Alisa turun lebih dulu, langkahnya anggun, gaun putih krem yang ia kenakan memantulkan cahaya matahari pagi. Rambut panjangnya bergelombang lembut, ditata dengan rapi, sementara tangannya menggandeng Vincent dengan mantap.Pemandangan itu terlalu serasi, terlalu tiba-tiba.Sungguh sesuatu yang tak pernah Leah bayangkan akan ia lihat hari ini.Belum sempat Leah berdiri, Alesco yang baru saja muncul dari ara
“Kenapa dia ada di sini?” Tanya Alesco dengan napas berat“Untuk Valeriah” jawab Leah pelan, menatap suaminya dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan di wajahnya. “Valeriah butuh pendampingan psikolog”Alesco menghela napas panjang, tapi nada napasnya lebih menyerupai upaya menahan diri daripada sekadar lelah. “Pukul delapan pagi di hari weekend, Sunshine?” ucapnya datar, dingin, tapi jelas terdengar sindiran di balik suaranya. “Sepertinya niat baik itu datang terlalu pagi.”Leah menelan ludah kecil, merasa suasana di ruang tamu semakin berat. Ia bisa merasakan amarah Alesco yang masih menggantung, seperti bara yang belum padam meski sudah disiram air. Ia berusaha tersenyum, meski ekspresinya kaku.“Mungkin Thea memang terbiasa bekerja pagi, sebelumnya juga dia datang cepat” katanya pelan, mencoba menormalkan keadaan.Althea langsung menimpali dengan senyum yang terlalu man
Pagi itu, udara di rumah keluarga Arden terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menebarkan cahaya lembut di antara aroma kopi dan wangi roti panggang dari dapur. Leah baru saja menata bunga di meja ketika suara bel pintu terdengar.Ia menoleh cepat, tersenyum kecil.“Oh Althea, silahkan masuk” Ucap Leah mempersilahkanAlthea berdiri di ambang pintu dengan tampilan yang sama seperti pertama kali datang. Blazer krem terbuka di bagian dada, menampakkan garis tipis gaun hitam di dalamnya. Bibirnya berlapis lipstik merah yang berani, kontras dengan kulitnya yang pucat halus. Rambutnya disisir rapi, sedikit bergelombang di ujung, memberikan kesan elegan sekaligus menggoda.“Selamat pagi, Leah,” sapanya lembut, dengan senyum yang sudah terlatih. “Kau kelihatan segar sekali hari ini.”Leah terkekeh pelan, menyingkir memberi jalan. “Kau selalu tahu cara memuji orang, Thea. Masuklah, aku baru saja membuat teh. Ria masih di kamarnya, dia bangun agak siang har
Gadis kecil itu mengenakan hoodie abu-abu dan celana tidur, rambutnya tergerai acak. Mata abunya terlihat kontras di bawah cahaya lampu gudang yang pucat. Ia menggenggam payung lipat yang tampak belum sempat dipakai, dan di wajahnya tidak ada ketakutan. Hanya rasa ingin tahu yang tenang dan sedikit keheranan.“Papa?” suaranya lembut tapi membuat dada Alesco menegang. “Papa ngapain di sini?”Alesco membeku sesaat. Ia tidak pernah berniat memperlihatkan sisi ini pada putrinya. Tangannya masih memegang senjata yang belum ia letakkan. Dengan cepat ia menurunkannya, menyandarkannya di meja kerja, lalu menatap Valeriah datar.“Kenapa kau bangun sepagi ini?” suaranya rendah, nyaris serak.Valeriah mengangkat bahu. “Aku dengar suara dari jendela. Kupikir ada orang. Tapi ternyata Papa.” Ia menatap sekitar, mata mudanya menangkap peti-peti besar yang belum tertutup rapat. “Ini semua... apa?” tanyanya lagi,
Alesco keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang, hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang. Rambutnya basah, tetes air mengalir perlahan di sepanjang punggungnya yang berotot dan berhenti di garis pinggang, membuat cahaya lampu malam yang hangat memantul samar di kulitnya.Ia mengambil celana training longgar dari walk in closet, memakainya dengan gerakan otomatis, tenang, presisi, seperti seseorang yang terbiasa mengatur segalanya dengan disiplin militer. Saat ia merapikan sabuk, suara hujan di luar makin deras, mengguyur atap rumah hingga terdengar seperti irama berat dari jauh.Leah sudah tertidur. Napasnya tenang, perutnya naik turun perlahan. Alesco beranjakduduk di tepi ranjang, menatapnya istrinya dengan lembut. Tangannya menyentuh perut Leah lama. Seolah ia mencoba mengingat sensasi kehidupan itu untuk menahan dirinya tetap manusia.Ponsel yang ia lekatakn di atas nakal berbunyi — pesan singkat dari Morgan.“P
Rumah mereka di pinggiran kota Columbus masih terang saat mobil Alesco berhenti di depan gerbang.Jam menunjukkan pukul 01.16 dini hari ketika penjaga membukakan gerbang secara otomatis dan menunduk hormat padanya.Alesco masuk pelan, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, lampu gantung masih menyala lembut. Leah tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Buku terbuka di dadanya, rambutnya berantakan.Pemandangan yang bagi kebanyakan orang sederhana tapi bagi Alesco, itu seperti pisau tajam yang menusuk pelan.Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya dari jarak dekat. Ada noda kecil di kemejanya, bukan darah, tapi debu logam halus yang berkilat samar. Ia berusaha menyibakkannya sebelum Leah terbangun, tapi terlambat.“...Ale?” suara lembut itu terdengar.Leah membuka mata perlahan, matanya setengah sayu.“Kau baru pulang?”“Ya,” jawabnya cepat. “Ada urusan di pelabuhan.







