Hari pertama sebagai istri Valesco berlalu dengan cepat, tapi tak meninggalkan jejak manis seperti pengantin baru lainnya. Tak ada pelukan hangat, tak ada percakapan lembut sebelum tidur. Hanya ruang makan besar yang sunyi, beberapa tatapan tak sengaja, dan waktu yang berjalan seperti debu yang mengendap di perabotan tua—diam, namun terasa berat.
Malam itu, Leah berdiri di depan sebuah pintu gelap di ujung lorong lantai dua. Ruang pribadi Valesco. Ia sempat ragu. Ruangan itu tak pernah dikunci, tapi juga tak pernah terbuka sepenuhnya untuk siapa pun. Pelayan pun tampaknya menghindari masuk kecuali disuruh. Ada semacam aura tak terlihat yang menjaga ruangan itu—bukan kekuasaan, melainkan luka.
Leah mengetuk pelan.
Satu kali.
Dua kali.
Tak ada jawaban.
Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba menangkap suara—tapi yang terdengar hanya gemerisik hujan dari luar dan detak jantungnya sendiri.
Khawatir terjadi sesuatu, Leah akhirnya mendorong pintu dengan perlahan. Engsel mengeluarkan bunyi samar saat pintu terbuka, dan udara di dalam ruangan terasa lebih berat, seperti menyimpan musim yang berbeda.
Langkah Leah terhenti di ambang pintu.
Cahaya temaram dari lampu baca menyinari sebagian ruangan. Di tengahnya, Valesco duduk membelakanginya di sebuah kursi berlapis kulit coklat tua, tubuhnya membungkuk sedikit ke depan. Gelas bourbon tergantung lemah di salah satu tangan, setengah kosong, sedangkan kemeja putih yang dikenakannya tak dikancing sepenuhnya—terbuka hingga dada, memperlihatkan guratan luka lama dan satu bekas jahitan memanjang di sisi kiri dadanya.
Leah menahan napas.
Dari sudut ini, pria itu tampak seperti patung—dingin, tak bernyawa, namun menyimpan sejarah yang tak pernah dituliskan. Punggungnya sedikit bergetar. Bukan karena menangis... tapi karena sedang berusaha tidak hancur.
Leah melangkah masuk, perlahan.
"Valesco?" bisiknya, hampir tak terdengar.
Tak ada jawaban.
Tapi saat ia mendekat, ia melihat satu lembar foto di atas meja di samping pria itu. Foto tua, warnanya telah pudar. Seorang wanita—berdiri di bawah pohon musim gugur. Wajahnya mirip seseorang... Leah tak yakin siapa, tapi senyum wanita itu tak hilang dari pikirannya.
Apa yang sebenarnya disembunyikan pria itu?
Karena di balik sikap dinginnya, di balik ketegasan tanpa kompromi dan tatapan yang bisa membekukan siapa pun... Leah melihat sesuatu yang lebih menakutkan dari kegilaan.
Kekosongan.
Dan kosong, bagi Leah, lebih berbahaya dari segalanya—karena sesuatu yang kosong bisa diisi dengan apa saja.Termasuk luka. Termasuk kebencian.
Atau, lebih menyesakkan lagi: cinta yang tidak pernah diajarkan caranya bertumbuh.
Ada untungnya bagi Leah jika Valesco nantinya mencintainya. Tapi di sisi lain, ada terlalu banyak hal buruk yang bisa timbul dari cinta semacam itu. Karena cinta dari pria yang tak pernah diajarkan cara mencintai... bisa berwujud sebagai penguasaan.
Sebagai belenggu yang dibungkus dengan perhatian.
Sebagai obsesi yang dikira kesetiaan.
Leah menatap Valesco yang masih diam di sana—sunyi, nyaris seperti patung di museum yang tak pernah disentuh karena terlalu mahal untuk diusik. Dan untuk sesaat, ia bertanya-tanya... jika pria itu benar-benar mencintainya suatu hari nanti, akankah ia bisa menerima bentuk cinta seperti itu?
Leah menarik napas dalam. Mencoba meredakan rasa sesak yang mulai mengendap di dadanya. Bayangan itu terlalu jauh dari logikanya
Ini tentang masa depan.
Tentang hidup berdampingan dengan seseorang yang mungkin tak akan pernah benar-benar melihatnya sebagai manusia—melainkan sebagai milik.
Dan itu jauh lebih menakutkan.
Terlebih kenyataan jika dirinya hanyalah istri sementara untuk Valesco. Cukup membuat akal sehatnya bekerja dengan optimal.
“Apa yang ingin kau katakan?”
Leah tersentak. Valesco menyadari kehadirannya
Berdehem sejenak, Leah mulai bicara “Boleh aku menemanimu minum?”
Valesco menatapnya dari balik bahu, mata kelabunya menyempit seolah sedang menakar makna tersembunyi di balik permintaan sederhana itu. Ia tidak langsung menjawab, hanya menunduk sebentar ke arah gelas bourbon yang masih tergenggam di tangannya—kemudian ke botol di atas meja.
“Kemarilah” panggilnya
Leah melangkah lebih dekat, lalu duduk perlahan di sofa di seberang pria itu.
Valesco menatap kosong ke arah meja. Lalu dengan satu gerakan lambat, ia mengambil gelas satunya—masih kosong—dan mengisinya hingga setengah.
Ia mendorongnya ke arah Leah.
“Terima kasih” ucapnya lembut, nyaris berbisik.
Valesco tidak menjawab. Ia hanya memutar gelasnya perlahan, menatap pusaran cairan di dalamnya seolah sedang mencari jawaban dari masa lalu yang tidak pernah memberi penjelasan. Cahaya lampu kecil dari meja menyinari wajahnya sebagian, menekankan garis rahang yang tegang dan lingkar gelap di bawah matanya yang belum hilang.
“Apa hari ini sangat buruk untukmu?” Tanya Leah
“Sangat buruk.” Jawab Valesco sambil mengangkat gelas bourbonnya, menyesap pelan, lalu menatap Leah seperti sedang menakar keberadaannya. “Dan kau sungguh tak tahu malu” Ucap Valesco tiba-tiba, suaranya serendah kabut malam, tapi menggigit seperti hawa musim dingin yang mencium kulit tanpa ampun.
“Oh ya? Tak tahu malu seperti apa?” tanya Leah tak tersinggung
Valesco berdecak “Perempuan tak tahu diri yang tetap duduk di sini, seolah kau punya tempat dalam hidupku.”
“Akukan istrimu, tentu saja aku punya tempat dihidupmu”
Uhuk!
Valesco tersedak.
Leah tidak bergeming. Tidak tersenyum simpul karena canggung. Tidak menunduk karena malu. Ia menatap balik pria itu dengan tatapan yang... kosong, namun anehnya menenangkan.
“Kau-“
“Valesco Arden” ucapnya pelan, penuh ketenangan yang tidak masuk akal. “Kalau kau ingin menghina, pastikan kau pakai kata yang tepat. Karena aku tidak duduk di sini untuk meminta tempat atau mendengarmu bicara. Aku duduk karena ingin menemani dan menikmati pemandangan.” Ucap Leah panjang. Jika cara elegan gagal untuk mendekati Valesco maka Leah akan mencoba yang agak sinting yaitu menjadi perempuan centil
Valesco menyipitkan mata, menyandarkan punggung ke sofa, menyilangkan kaki. “Pemandangan?” Ucapnya tertarik. Moodnya jauh lebih baik dari sebelumnya
“Ya.” Leah mengangguk mantap. “Kau tampan”
“huh?!”
Valesco nyaris kembali tersedak dibuatnya
Leah hanya memiringkan kepala, menyandarkan dagu ke jemari yang bertumpu di sandaran sofa, menatap pria itu seolah sedang menikmati tontonan mahal yang tak akan ia ulang dua kali. “Kau tak pernah sadar ya, betapa mematikan caramu duduk diam begitu?”
“Kau gila” gumam Valesco, meletakkan gelasnya dengan sedikit hentakan. Tapi nada suaranya terdengar lebih defensif daripada marah dan kedua telinganya mulai memerah. Entah efek alkohol atau memang pria itu yang salah tingkah
“hmmm... bukankah menjadi gila lebih baik daripada jadi pria penuh luka yang bahkan tak tahu caranya mencium seseorang dengan benar?” Leah menjawab ringan sambil melirik pria itu seperti sedang menonton kucing jalanan yang sok garang
Tatapan Valesco langsung membeku, kali ini wajahnya memerah sempurna hingga ke lehernya. Leah terkekeh, dia tidak berhenti. Ia tahu, kali ini, nyalinya bukan keberanian... tapi bentuk keputusasaan yang elegan akan respon Valesco yang semakin salah tingkah.
Leah menyilangkan kaki, perlahan dan anggun. “Apa yang kau takutkan, Valesco? Kau canggung padaku atau kau takut jika kau akan menikmatinya?”
“C-cukup” desis Valesco. Tapi matanya tidak berkedip. Seperti binatang buas yang tak yakin apakah harus menyerang atau lari.
“Tidak. Belum cukup” bisik Leah, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Karena setiap kali kau menatapku dengan mata itu, aku jadi semakin yakin bahwa kau sebenarnya... sangat ingin tahu seperti apa rasanya aku.”
“Aku minta maaf” Ucap LeahValesco tertarik, matanya menyipit, menatap Leah seolah kata-kata itu terlalu murah untuk diucapkan sekarang.“Maaf?” gumamnya pelan, nyaris seperti ejekan. Ia mendongak sedikit, mengamati wajah Leah yang berdiri tenang “Untuk apa kau minta maaf Leah?”“Karena tidak peka dengan keinginanmu” Jawab LeahValesco menyeringai jahat. Daripada melakukan apa yang ia pikirkan, lebih baik Valesco mengalihkannya dengan meminum alkohol.Mungkin, hanya mungkin...Setelah semua ini, Valesco takkan terluka dengan penolakan Leah atau bahkan sikap tenang Leah“Tidurlah duluan, aku akan menyusul” ucap ValescoLeah tak langsung bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Valesco yang kini tampak sangat jauh. Kata-kata pria itu terdengar tenang, terlalu tenang. Tapi Leah tahu, itu bukan ketenangan yang sebenarnya. Itu adalah diam yang berisi badai.
Mobil itu membawa mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap, melewati hiruk-pikuk jalanan pagi yang mulai padat. Di dalam kendaraan yang hangat dan senyap itu, Valesco tertidur sambil memeluk Leah, tubuhnya sedikit meringkuk seperti seseorang yang baru saja selamat dari serangan badai.Wajahnya tampak damai dalam tidur, tapi masih ada sisa-sisa kelelahan di sekitar matanya. Nafasnya berat, tapi stabil. Tangannya tetap melingkari tubuh Leah, seolah alam bawah sadarnya pun menolak untuk melepaskannya.Leah memandangi wajah pria itu lama, menelusuri garis rahangnya, kelopak matanya yang tertutup, dan dahi yang terkadang berkerut sedikit seolah masih menyimpan mimpi buruk yang belum selesai.Sopir mereka sempat melirik lewat kaca spion dalam, ragu-ragu.“Signora, kita sudah sampai” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, seolah enggan mengganggu keheningan di antara mereka.Leah menoleh pelan, mengangguk kecil sambil menaruh telunjuk di
Valesco dan Leah berjalan menyusuri lorong panjang dengan langkah tanpa suara. Tak satu pun dari mereka berbicara. Hening yang menggantung di antara keduanya bukan karena permusuhan, tapi karena beban yang terlalu berat untuk dijelaskan dengan kata.Lift terbuka tanpa suara. Valesco menekan tombol L untuk Lobby dan mereka berdiri berdampingan di dalam kotak logam yang dingin dan hampa, dengan pantulan wajah mereka saling berseberangan di kaca.Leah menatap ke depan. Tidak menoleh. Tidak bicara. Sementara Valesco mencuri pandang padanya, beberapa kali, seperti seorang pria yang sedang menyusun kalimat pengakuan, tapi tercekik oleh rasa takut dan malu yang terlalu dalam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak setelah apa yang Leah lihat. Dan lebih-lebih lagi, setelah apa yang Leah katakan.Lift meluncur turun, melewati lantai demi lantai.Lalu...Ding.Pintu terbuka di Lobby.Cahaya terang menyambut mereka, disertai kesibukan di antara
Sebelum kejadian...Leah duduk di ujung sofa panjang di ruang pribadi Valesco. Kedua kakinya disilangkan, tangannya menopang dagu. Awalnya ia mencoba membaca buku yang tadi sempat ia temukan di rak kecil dekat jendela, tapi bahkan halaman keempat tak sanggup mengalihkan pikirannya dari detak waktu yang terasa begitu lambat.Ia menengok ke jam dinding. Hampir dua jam sejak Valesco meninggalkannya untuk rapat."Astaga..." desahnya pelan, lalu berdiri dan mulai mondar-mandir di ruangan.Awalnya ia berpikir menunggu adalah hal paling sederhana untuk dilakukan. Ia terbiasa menunggu. Tapi tidak di gedung asing setinggi ini, sendirian, dengan perasaan tak menentu yang perlahan mulai menggrogoti tenangnya.Leah membuka pintu. Memandangi lorong kosong di depan kamar itu. Lalu memutuskan melangkah keluar. Hanya untuk berjalan-jalan sebentar, katanya dalam hati. Mungkin mencari mesin kopi atau... udara.Lift berhenti di lantai 42 dengan suara denting p
Tak butuh waktu lama untuk lift terbuka di lantai empat puluh dua. Seorang pria dengan rambut gelap yang disisir ke belakang sudah berdiri menunggu. Setelan abu-abu gelapnya rapi, dan ekspresinya penuh kehati-hatian namun bersahabat.“Julian” Valesco mengangguk singkat.“Valesco” sapanya dengan nada pelan tapi akrab. “Kukira ayahmu yang datang”Valesco tersenyum miring, singkat, hampir seperti tidak sungguhan. “Kau tahu dia tidak pernah muncul kalau situasinya sudah bisa dibakar dari belakang layar.”Julian mendesah, lalu melirik tangan kiri Valesco yang diperban “Apa kali ini dia berulah lagi?”“Bukan. Bukan dia. Tapi sudah berapa lama kau ditugaskan disini?” Tanya Valesco“Dua minggu” Julian menjawab sambil berjalan beriringan dengannya. “Aku pindah dari Ohio sesuai perintah dewan. Kantor cabang sini... tidak semulus yang kita kira. Jadi mereka ingin
Langit Roma pagi itu abu-abu, tapi hangat. Mobil hitam mengilap dengan plat diplomatik berhenti tepat di depan gedung pencakar langit kaca yang menjulang tajam ke langit seperti pisau. Di bagian atasnya, tersemat satu nama dalam huruf kapital:ARDEN CONSORTIUM.Leah menatapnya dari balik kaca jendela, tanpa sadar menggenggam tangan Valesco yang dingin. Pria itu duduk di sebelahnya, mengenakan setelan jas hitam yang terlalu pas di tubuh tegapnya. Dasi merah marun terikat rapi di lehernya. Rambutnya disisir ke belakang. Kacamata hitam menutupi matanya yang pagi tadi penuh rasa kalut dan tangis.Siang ini... pria itu bukan Valesco yang ia kenal.“Kenapa aku harus ikut?” tanya Leah pelanValesco tidak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil, lalu menoleh sedikit ke arahnya. “Masih bertanya? Kau ingin mengulang kejadian pagi tadi?” Nada suaranya datar, tapi bukan dingin. Lebih seperti... lelah menyembunyikan diri.Leah m