LOGINLeah terbangun. Tubuhnya terasa berat, seperti ditarik oleh beban yang tak terlihat. Matanya perlahan terbuka mencari penyebab beban berat ditubuhnya dan ternyata itu adalah Valesco, yang memeluknya erat dari belakang.
Napas hangat Valesco menyentuh tengkuknya dengan ritmenya tenang... terlalu tenang untuk pria yang biasanya selalu diliputi badai. Lengan kokohnya melingkar di pinggang Leah, bukan dalam pose menggoda, tapi seperti seseorang yang sedang berpegangan pada sesuatu agar tidak tenggelam.
Perlahan, ia memiringkan tubuhnya, berusaha melihat sedikit ekspresi pria itu dari sudut matanya.
Senyum kecil terpatri dibibirnya begitu menatap wajah Valesco. Alis suaminya itu sedikit berkerut, seolah dalam tidurnya, pria itu tak benar-benar bebas dari bayangan yang menghantui.
“tenang Valesco” Gumam Leah menenangkan meskipun dalam pikirannya terisi tanya: apa yang sebenarnya terjadi semalam?
Ia mengingat perbincangan terakhir mere
Alesco kembali ke hotel tempat Leah berada.Sejak ia memutuskan untuk datang ke rumah duka dan menghadiri pembacaan wasiat ayahnya, Leah bersikeras untuk tidak ikut. Ia memilih menunggu di hotel mewah dekat pusat kota, ditemani Valeriah dan KaelAlesco membuka pintu kamar suite dengan kunci kartu. Kehangatan yang kontras dengan dinginnya suasana di rumah Maximoff langsung menyambutnya.Di sofa, Leah sedang membaca buku, sementara Valeriah dan Kael duduk di karpet tebal, sibuk membangun kastil besar dari balok mainan.Melihat Alesco, Valeriah menjerit gembira dan berlari ke arahnya. “Papa!”Alesco segera menjatuhkan berlutut, memeluk putrinya erat.“Hai, Sayang. Maaf Papa lama.”Kael hanya menatap Alesco dari jauh, dengan tatapan hati-hati yang khas. Meski ia sudah tinggal bersama mereka selama hampir seminggu, ia masih membawa sikap waspada yang didapatnya dari hidup bersama keluarga Maximoff.Leah menut
Ruang baca keluarga Maximoff sore itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jendela kaca besar menampakkan pemandangan taman musim gugur yang meranggas.Daun-daun oranye berguguran, menyisakan ranting tua yang bergoyang pelan tertiup angin.Di tengah ruangan, meja kayu mahoni panjang dipenuhi wajah-wajah yang sama sekali tak menampakkan duka meski baru seminggu lalu kepala keluarga mereka, Thomas Maximoff, dimakamkan di pemakaman keluarga.Yang ada hanya ketegangan yang dingin, tajam, dan saling menilai.Rey Donovan, pengacara tua yang sudah tiga puluh tahun bekerja untuk keluarga Maximoff, berdiri di ujung meja. Suaranya berat namun tenang ketika ia membuka map cokelat bersegel.Di hadapannya, duduk enam orang anak Thomas, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda, marah, menahan diri, atau datar.Jeremy, anak tertua, tampak paling tegang. Usianya empat puluh lima, mengenakan jas gelap, wajahnya mencerminkan ambisi yang tak lagi disembunyikan
Langit Zurich sore itu kelabu, seakan ikut berduka. Hujan gerimis turun perlahan, menetes di atas payung-payung hitam yang berbaris rapi di sekitar liang lahat seorang Thomas Maximoff.Di tengah barisan tamu yang berpakaian serba hitam, Leah berdiri tenang dengan mantel panjang berwarna abu arang. Satu tangannya menggenggam payung, satu lagi menggandeng Valeriah yang berdiam manis di sampingnya, mengenakan coat kecil dan pita hitam di rambutnya.Di sebelah Valriah, berdiri Kael dengan tatapan datarnya“Dia siapa?” tanya Kael pada ValeriahMata merah Valeriah bergerak sedikit, menatap Kael sebelum kembali ke arah peti kayu tua yang perlahan diturunkan ke dalam tanah.Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan yang terjebak di tenggorokan.“Kakekku.” Jawab Valeriah“Kakekmu?” Kael mengulang pelan.Valeriah hanya mengangguk kecil. Matanya yang sembab kembali menatap ke depan, ke arah kumpulan orang yang menatap mereka.Kael memperhatikan gerak kecil di wajah Valeriah, tremor halus di dagunya
Pagi itu udara di kediaman Maximoff terasa lembap, diselimuti kabut tipis yang belum juga menghilang. Leah baru saja selesai menyiapkan makan siang untuk Valeriah dan Kael ketika ponselnya berdering di atas meja dapur.Ia mengusap tangannya dengan serbet, lalu menatap layar sebentar, nama yang muncul membuat jantungnya langsung berdebar.Joy.Wanita itu jarang menelepon. Biasanya hanya mengirim pesan singkat untuk menanyakan kabar atau meminta foto perkembangan Valeriah. Tapi kali ini, panggilan suara datang tanpa peringatan apa pun.“Selamat pagi” sapa Leah lembut sambil menekan tombol hijau.Suara di seberang terdengar serak, nyaris bergetar.“Leah… sayang… tolong panggil Alesco, Nak.”Nada itu membuat Leah menegang. “Ada apa, Ma? Mama kenapa menangis?”Joy terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan,“Thomas… Thomas sudah pergi, Leah.”Leah membeku. Sekujur tubuhnya seperti kehilangan tenaga.“—apa maksud Mama?” suaranya tercekat. “Pergi… ke mana?”“Thomas meninggal pag
Uap hangat memenuhi kamar mandi, menggantung di udara seperti kabut tipis. Suara air yang mengalir dari jacuzzi terdengar lembut, menenangkan. Alesco sudah berada di dalamnya, tubuhnya bersandar lelah, sementara lengan kanannya yang diperban sengaja diletakkan di sisi agar tidak terkena air.Leah duduk di tepi jacuzzi, menggulung perlahan lengan gaun tidurnya hingga ke siku. Tangannya yang halus mengambil kain lembut yang sudah dibasahi air hangat, lalu dengan hati-hati ia mulai mengusap dada Alesco.Gerakannya pelan, nyaris seperti belaian. Ia tidak bicara banyak, hanya menatap setiap luka kecil di kulit suaminya seolah ingin memastikan sendiri bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja.Alesco memejamkan mata, membiarkan sensasi itu meresap. Bukan karena air hangatnya, tapi karena sentuhan Leah, sentuhan yang selalu mampu menenangkan badai dalam dirinya.“Kalau kau terus memperlakukanku seperti ini, aku akan pura-pura terluka tiap minggu,” gu
Langit masih gelap, tapi garis tipis jingga mulai muncul di ufuk timur, pertanda fajar hampir datang. Janjinya pada Leah masih sempat ditepati, meski nyaris terlambat.Begitu mobil yang Morgan kemudikan berhenti di halaman, Alesco segera melirik bawahannya itu “Istirahatlah, kau tak perlu menjaga Valeriah dua hari ke depan,” ucapnya tenang.“Tapi, Tuan—” Morgan sempat membuka mulut hendak protes, tapi tatapan Alesco membuatnya urung.“Aku serius,” potong Alesco tanpa meninggikan suara. “Kau juga terluka. Luka kecil tetap harus diistirahatkanMorgan hanya menunduk, menahan rasa hormat dan rasa bersalah sekaligus. “Baik, Tuan.”“Dan Morgan,” tambah Alesco sebelum turun dari mobil, suaranya sedikit melembut, “Terima kasih untuk malam ini.”Morgan menatap punggung Alesco yang berjalan perlahan menuju rumah, langkahnya mantap meski bahu kanannya terlihat kaku kare







