MasukValesco Arden
Leah mempertanyakan kenapa pria itu dikenal sebagai pria yang cukup…. gila.
Ada beberapa rumor yang beredar—berbisik dari satu ruang pesta ke ruang rapat, dari bisik-bisik sosialita hingga meja redaksi majalah bisnis dan semuanya menggambarkan sosok Valesco dengan aura gelap yang sama: tidak bisa diprediksi.
Sebagian mengatakan pria itu menderita gangguan kecemasan akut. Bahwa ia pernah kabur dari sebuah acara konferensi internasional hanya karena air minumnya disajikan di gelas yang bentuknya tidak simetris. Orang-orang menyebutnya “aneh”, padahal mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik sorot mata tajam pria itu.
Yang lain bersikeras Valesco mengidap OCD parah, obsesif terhadap kebersihan dan kontrol. Bahwa ia pernah memecat seluruh staf rumah tangganya hanya karena salah satu dari mereka mengubah posisi lampu aroma terapi di kamar tidurnya. Semua harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Bahkan napas pun, di dekatnya, harus terasa teratur.
Dan rumor yang paling gila, yang tak pernah dikonfirmasi, namun juga tak pernah benar-benar dibantah adalah bahwa Valesco seorang penyuka sesama jenis.
Beberapa mengaitkannya dengan betapa dinginnya ia terhadap perempuan. Tak pernah terlihat mesra. Tak pernah terlibat skandal cinta. Bahkan saat bersama Leah dalam pesta pernikahan, sikapnya begitu kaku, seperti pria yang dipaksa memeluk benda asing.
Valesco pernah dikabarkan dekat dengan seorang perempuan dari kalangan selebriti, agensi selebriti itu bahkan sudah membuat pernyataan jika mereka berkencan namun sehari setelahnya Valesco langsung membantah pernyataan itu dan membuat agensi serta sang selebriti itu langsung dihujat.
Padalah selebriti itu dijuluki malaikat nasional oleh netizen
“Aku lupa namanya” Gumam Leah
Dia mengetukan jemarinya dimeja. Jauh sebelum ia berkata “aku bersedia” di depan altar. Leah sudah tahu jika semua rumor tentang Valesco adalah bagian dari kekuasaan.
Orang seperti Valesco Arden tak akan pernah luput dari cerita dan sebagian besar cerita itu dibuat untuk menaklukkan hal yang tak bisa dipahami.
“S-selamat pagi Nyonya” Seorang pelayan menyapanya
“Ah ya selamat pagi” Balas Leah
“Boleh saya bersihkan mejanya?” Pelayan itu bertanya sopan
“Silahkan” Ucap Leah, dia beranjak dari meja makan dan kembali ke kamar.
Leah berjalan pelan menyusuri lorong, kembali ke kamarnya dengan langkah hati-hati. Matanya menelisik setiap sudut rumah, memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya ia abaikan—ventilasi, ukiran bingkai, bahkan letak vas bunga. Terlalu banyak yang terasa “disusun”, terlalu rapi. Seolah semuanya dirancang untuk dipantau… atau dikendalikan.
Setelah masuk kamar, Leah mengunci pintu dengan satu klik pelan, lalu menuju kamar mandi. Ia menyalakan kran wastafel agar air mengalir dan menutup sebagian suara, kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel pribadi miliknya
Leah menghubungi kontak yang sudah ditandai: Ibu
Tiga dering. Lalu tersambung.
“Leah?” Suara itu terdengar jernih di telinganya, namun tetap berbalut dingin. Nada khas Lilith—ibunya—yang tak pernah berubah: lugas, langsung, tanpa ruang untuk emosi yang tidak efisien. Wanita cerdas, mantan konsultan trauma klinis internasional, kini menjadi pengamat independen bagi jaringan intelijen swasta. Lilith bukan sekadar ibu; dia adalah sistem yang terprogram rapi, dan Leah... adalah salah satu hasil eksperimennya yang paling disiplin.
“Iya bu” Leah menjawab sambil menatap cermin.
“Maaf untuk yang kemarin” ucap Lilith, dengan suara yang lebih pelan namun tetap tidak personal. Permintaan maaf itu seperti formalitas yang ia baca dari skrip. Leah tahu, ibunya tak menyesal—ia hanya efisien dalam menjaga kepercayaan. Dan Leah tahu caranya menjawab.
“Tak apa, Bu. Aku paham” balasnya datar, namun sopan.
“Jadi...” jeda. “Bagaimana kondisinya?” Tanya Lilith
Leah menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Gemericik air dari kran wastafel masih mengalir—pengaman bunyi untuk menghindari kemungkinan penyadapan suara. Ia kembali menatap cermin
“Pria ini… dia rusak, tapi tidak jahat. Aku pikir dia… lebih dari yang kita duga.” Jawab Leah
Di seberang, suara Lilith terdengar tidak berubah, tapi ritme napasnya sedikit bergeser—tanda ia menimbang ulang perhitungan. “Bisa kau sembuhkan dalam enam bulan?” tanyanya. Nada tajam itu bukan bentuk tekanan emosional, melainkan kalkulasi.
“Akan aku coba” Jawab Leah
“Tapi jika setelah enam bulan kau gagal” suara Lilith kini terdengar lebih tenang namun mengandung tekanan yang tak bisa disangkal, “kau harus keluar dari sana. Jangan berani bermain hati, Leah. Ingat tujuannya. Ibu tak mau putri ibu harus selalu terjebak mengurus pria gangguan jiwa selamanya”
Leah menunduk sedikit, matanya tertuju pada uap tipis yang muncul dari permukaan wastafel. “Aku tahu, Bu. Aku tidak lupa. Ini bukan tentang perasaan.”
“Bagus.”
Diam sejenak, lalu Lilith menambahkan, “Aku di Helsinki sekarang. Lokasi aman. Kalau kau berhasil atau terjadi sesuatu yang tak bisa dikendalikan, beri kabar. Aku siapkan jalur keluar. Tapi jangan telepon kecuali keadaan benar-benar genting.”
“Ya, Bu.”
“Dan satu lagi...” Lilith berhenti sejenak, suaranya kini seperti menusuk langsung ke pusat emosi Leah, “Jangan terlalu dekat. Orang rusak kadang tahu cara membuatmu merasa dibutuhkan. Tapi bukan berarti kau harus tinggal untuk memperbaiki semuanya.”
Leah menggigit bibir bawahnya. Ia tak ingin menjawab. Tapi ibunya tahu... Ia selalu tahu, kalau Leah diam, artinya Leah sudah mulai terlibat lebih dari seharusnya.
Klik. Sambungan terputus.
Leah mematikan kran, lalu memandangi pantulan dirinya di cermin—wajah tanpa riasan, rambut sedikit berantakan, mata yang terlalu jernih untuk seorang istri baru dalam pernikahan seperti ini.
Ia membuka pintu kamar mandi perlahan, kembali ke kamar. Matanya langsung menyapu ruangan. Semuanya tetap rapi seperti sebelumnya. Tapi Leah tahu, rumah ini bukan rumah biasa. Setiap sudut bisa berbicara, setiap benda bisa mengawasi. Ia harus tetap berhati-hati. Harus tetap terpisah dari apa pun yang bisa membuatnya lupa tujuan awal.
Namun jauh di lubuk hatinya, Leah juga tahu... Ia sudah mulai terjebak. Bukan dalam jebakan keluarga Arden. Tapi dalam jebakan empatinya sendiri terhadap pria yang duduk semalaman dalam gelap, menelan dua butir obat karena suara-suara di kepalanya tak pernah memberi jeda.
Alesco kembali ke hotel tempat Leah berada.Sejak ia memutuskan untuk datang ke rumah duka dan menghadiri pembacaan wasiat ayahnya, Leah bersikeras untuk tidak ikut. Ia memilih menunggu di hotel mewah dekat pusat kota, ditemani Valeriah dan KaelAlesco membuka pintu kamar suite dengan kunci kartu. Kehangatan yang kontras dengan dinginnya suasana di rumah Maximoff langsung menyambutnya.Di sofa, Leah sedang membaca buku, sementara Valeriah dan Kael duduk di karpet tebal, sibuk membangun kastil besar dari balok mainan.Melihat Alesco, Valeriah menjerit gembira dan berlari ke arahnya. “Papa!”Alesco segera menjatuhkan berlutut, memeluk putrinya erat.“Hai, Sayang. Maaf Papa lama.”Kael hanya menatap Alesco dari jauh, dengan tatapan hati-hati yang khas. Meski ia sudah tinggal bersama mereka selama hampir seminggu, ia masih membawa sikap waspada yang didapatnya dari hidup bersama keluarga Maximoff.Leah menut
Ruang baca keluarga Maximoff sore itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jendela kaca besar menampakkan pemandangan taman musim gugur yang meranggas.Daun-daun oranye berguguran, menyisakan ranting tua yang bergoyang pelan tertiup angin.Di tengah ruangan, meja kayu mahoni panjang dipenuhi wajah-wajah yang sama sekali tak menampakkan duka meski baru seminggu lalu kepala keluarga mereka, Thomas Maximoff, dimakamkan di pemakaman keluarga.Yang ada hanya ketegangan yang dingin, tajam, dan saling menilai.Rey Donovan, pengacara tua yang sudah tiga puluh tahun bekerja untuk keluarga Maximoff, berdiri di ujung meja. Suaranya berat namun tenang ketika ia membuka map cokelat bersegel.Di hadapannya, duduk enam orang anak Thomas, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda, marah, menahan diri, atau datar.Jeremy, anak tertua, tampak paling tegang. Usianya empat puluh lima, mengenakan jas gelap, wajahnya mencerminkan ambisi yang tak lagi disembunyikan
Langit Zurich sore itu kelabu, seakan ikut berduka. Hujan gerimis turun perlahan, menetes di atas payung-payung hitam yang berbaris rapi di sekitar liang lahat seorang Thomas Maximoff.Di tengah barisan tamu yang berpakaian serba hitam, Leah berdiri tenang dengan mantel panjang berwarna abu arang. Satu tangannya menggenggam payung, satu lagi menggandeng Valeriah yang berdiam manis di sampingnya, mengenakan coat kecil dan pita hitam di rambutnya.Di sebelah Valriah, berdiri Kael dengan tatapan datarnya“Dia siapa?” tanya Kael pada ValeriahMata merah Valeriah bergerak sedikit, menatap Kael sebelum kembali ke arah peti kayu tua yang perlahan diturunkan ke dalam tanah.Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan yang terjebak di tenggorokan.“Kakekku.” Jawab Valeriah“Kakekmu?” Kael mengulang pelan.Valeriah hanya mengangguk kecil. Matanya yang sembab kembali menatap ke depan, ke arah kumpulan orang yang menatap mereka.Kael memperhatikan gerak kecil di wajah Valeriah, tremor halus di dagunya
Pagi itu udara di kediaman Maximoff terasa lembap, diselimuti kabut tipis yang belum juga menghilang. Leah baru saja selesai menyiapkan makan siang untuk Valeriah dan Kael ketika ponselnya berdering di atas meja dapur.Ia mengusap tangannya dengan serbet, lalu menatap layar sebentar, nama yang muncul membuat jantungnya langsung berdebar.Joy.Wanita itu jarang menelepon. Biasanya hanya mengirim pesan singkat untuk menanyakan kabar atau meminta foto perkembangan Valeriah. Tapi kali ini, panggilan suara datang tanpa peringatan apa pun.“Selamat pagi” sapa Leah lembut sambil menekan tombol hijau.Suara di seberang terdengar serak, nyaris bergetar.“Leah… sayang… tolong panggil Alesco, Nak.”Nada itu membuat Leah menegang. “Ada apa, Ma? Mama kenapa menangis?”Joy terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan,“Thomas… Thomas sudah pergi, Leah.”Leah membeku. Sekujur tubuhnya seperti kehilangan tenaga.“—apa maksud Mama?” suaranya tercekat. “Pergi… ke mana?”“Thomas meninggal pag
Uap hangat memenuhi kamar mandi, menggantung di udara seperti kabut tipis. Suara air yang mengalir dari jacuzzi terdengar lembut, menenangkan. Alesco sudah berada di dalamnya, tubuhnya bersandar lelah, sementara lengan kanannya yang diperban sengaja diletakkan di sisi agar tidak terkena air.Leah duduk di tepi jacuzzi, menggulung perlahan lengan gaun tidurnya hingga ke siku. Tangannya yang halus mengambil kain lembut yang sudah dibasahi air hangat, lalu dengan hati-hati ia mulai mengusap dada Alesco.Gerakannya pelan, nyaris seperti belaian. Ia tidak bicara banyak, hanya menatap setiap luka kecil di kulit suaminya seolah ingin memastikan sendiri bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja.Alesco memejamkan mata, membiarkan sensasi itu meresap. Bukan karena air hangatnya, tapi karena sentuhan Leah, sentuhan yang selalu mampu menenangkan badai dalam dirinya.“Kalau kau terus memperlakukanku seperti ini, aku akan pura-pura terluka tiap minggu,” gu
Langit masih gelap, tapi garis tipis jingga mulai muncul di ufuk timur, pertanda fajar hampir datang. Janjinya pada Leah masih sempat ditepati, meski nyaris terlambat.Begitu mobil yang Morgan kemudikan berhenti di halaman, Alesco segera melirik bawahannya itu “Istirahatlah, kau tak perlu menjaga Valeriah dua hari ke depan,” ucapnya tenang.“Tapi, Tuan—” Morgan sempat membuka mulut hendak protes, tapi tatapan Alesco membuatnya urung.“Aku serius,” potong Alesco tanpa meninggikan suara. “Kau juga terluka. Luka kecil tetap harus diistirahatkanMorgan hanya menunduk, menahan rasa hormat dan rasa bersalah sekaligus. “Baik, Tuan.”“Dan Morgan,” tambah Alesco sebelum turun dari mobil, suaranya sedikit melembut, “Terima kasih untuk malam ini.”Morgan menatap punggung Alesco yang berjalan perlahan menuju rumah, langkahnya mantap meski bahu kanannya terlihat kaku kare







