Home / Romansa / Sentuh Aku Seperti Kau Milikku / Bab 5 Bisikan dalam diam

Share

Bab 5 Bisikan dalam diam

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-07-01 15:07:25

Valesco Arden

Leah mempertanyakan kenapa pria itu dikenal sebagai pria yang cukup…. gila.

Ada beberapa rumor yang beredar—berbisik dari satu ruang pesta ke ruang rapat, dari bisik-bisik sosialita hingga meja redaksi majalah bisnis dan semuanya menggambarkan sosok Valesco dengan aura gelap yang sama: tidak bisa diprediksi.

Sebagian mengatakan pria itu menderita gangguan kecemasan akut. Bahwa ia pernah kabur dari sebuah acara konferensi internasional hanya karena air minumnya disajikan di gelas yang bentuknya tidak simetris. Orang-orang menyebutnya “aneh”, padahal mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik sorot mata tajam pria itu.

Yang lain bersikeras Valesco mengidap OCD parah, obsesif terhadap kebersihan dan kontrol. Bahwa ia pernah memecat seluruh staf rumah tangganya hanya karena salah satu dari mereka mengubah posisi lampu aroma terapi di kamar tidurnya. Semua harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Bahkan napas pun, di dekatnya, harus terasa teratur.

Dan rumor yang paling gila, yang tak pernah dikonfirmasi, namun juga tak pernah benar-benar dibantah adalah bahwa Valesco seorang penyuka sesama jenis.

Beberapa mengaitkannya dengan betapa dinginnya ia terhadap perempuan. Tak pernah terlihat mesra. Tak pernah terlibat skandal cinta. Bahkan saat bersama Leah dalam pesta pernikahan, sikapnya begitu kaku, seperti pria yang dipaksa memeluk benda asing.

Valesco pernah dikabarkan dekat dengan seorang perempuan dari kalangan selebriti, agensi selebriti itu bahkan sudah membuat pernyataan jika mereka berkencan namun sehari setelahnya Valesco langsung membantah pernyataan itu dan membuat agensi serta sang selebriti itu langsung dihujat.

Padalah selebriti itu dijuluki malaikat nasional oleh netizen

“Aku lupa namanya” Gumam Leah

Dia mengetukan jemarinya dimeja. Jauh sebelum ia berkata “aku bersedia” di depan altar. Leah sudah tahu jika semua rumor tentang Valesco adalah bagian dari kekuasaan.

Orang seperti Valesco Arden tak akan pernah luput dari cerita dan sebagian besar cerita itu dibuat untuk menaklukkan hal yang tak bisa dipahami.

“S-selamat pagi Nyonya” Seorang pelayan menyapanya

“Ah ya selamat pagi” Balas Leah

“Boleh saya bersihkan mejanya?” Pelayan itu bertanya sopan

“Silahkan” Ucap Leah, dia beranjak dari meja makan dan kembali ke kamar.

Leah berjalan pelan menyusuri lorong, kembali ke kamarnya dengan langkah hati-hati. Matanya menelisik setiap sudut rumah, memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya ia abaikan—ventilasi, ukiran bingkai, bahkan letak vas bunga. Terlalu banyak yang terasa “disusun”, terlalu rapi. Seolah semuanya dirancang untuk dipantau… atau dikendalikan.

Setelah masuk kamar, Leah mengunci pintu dengan satu klik pelan, lalu menuju kamar mandi. Ia menyalakan kran wastafel agar air mengalir dan menutup sebagian suara, kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel pribadi miliknya

Leah menghubungi kontak yang sudah ditandai: Ibu

Tiga dering. Lalu tersambung.

“Leah?” Suara itu terdengar jernih di telinganya, namun tetap berbalut dingin. Nada khas Lilith—ibunya—yang tak pernah berubah: lugas, langsung, tanpa ruang untuk emosi yang tidak efisien. Wanita cerdas, mantan konsultan trauma klinis internasional, kini menjadi pengamat independen bagi jaringan intelijen swasta. Lilith bukan sekadar ibu; dia adalah sistem yang terprogram rapi, dan Leah... adalah salah satu hasil eksperimennya yang paling disiplin.

“Iya bu” Leah menjawab sambil menatap cermin.

“Maaf untuk yang kemarin” ucap Lilith, dengan suara yang lebih pelan namun tetap tidak personal. Permintaan maaf itu seperti formalitas yang ia baca dari skrip. Leah tahu, ibunya tak menyesal—ia hanya efisien dalam menjaga kepercayaan. Dan Leah tahu caranya menjawab.

“Tak apa, Bu. Aku paham” balasnya datar, namun sopan.

“Jadi...” jeda. “Bagaimana kondisinya?” Tanya Lilith

Leah menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Gemericik air dari kran wastafel masih mengalir—pengaman bunyi untuk menghindari kemungkinan penyadapan suara. Ia kembali menatap cermin

“Pria ini… dia rusak, tapi tidak jahat. Aku pikir dia… lebih dari yang kita duga.” Jawab Leah

Di seberang, suara Lilith terdengar tidak berubah, tapi ritme napasnya sedikit bergeser—tanda ia menimbang ulang perhitungan. “Bisa kau sembuhkan dalam enam bulan?” tanyanya. Nada tajam itu bukan bentuk tekanan emosional, melainkan kalkulasi.

“Akan aku coba” Jawab Leah

“Tapi jika setelah enam bulan kau gagal” suara Lilith kini terdengar lebih tenang namun mengandung tekanan yang tak bisa disangkal, “kau harus keluar dari sana. Jangan berani bermain hati, Leah. Ingat tujuannya. Ibu tak mau putri ibu harus selalu terjebak mengurus pria gangguan jiwa selamanya”

Leah menunduk sedikit, matanya tertuju pada uap tipis yang muncul dari permukaan wastafel. “Aku tahu, Bu. Aku tidak lupa. Ini bukan tentang perasaan.”

“Bagus.”

Diam sejenak, lalu Lilith menambahkan, “Aku di Helsinki sekarang. Lokasi aman. Kalau kau berhasil atau terjadi sesuatu yang tak bisa dikendalikan, beri kabar. Aku siapkan jalur keluar. Tapi jangan telepon kecuali keadaan benar-benar genting.”

“Ya, Bu.”

“Dan satu lagi...” Lilith berhenti sejenak, suaranya kini seperti menusuk langsung ke pusat emosi Leah, “Jangan terlalu dekat. Orang rusak kadang tahu cara membuatmu merasa dibutuhkan. Tapi bukan berarti kau harus tinggal untuk memperbaiki semuanya.”

Leah menggigit bibir bawahnya. Ia tak ingin menjawab. Tapi ibunya tahu... Ia selalu tahu, kalau Leah diam, artinya Leah sudah mulai terlibat lebih dari seharusnya.

Klik. Sambungan terputus.

Leah mematikan kran, lalu memandangi pantulan dirinya di cermin—wajah tanpa riasan, rambut sedikit berantakan, mata yang terlalu jernih untuk seorang istri baru dalam pernikahan seperti ini.

Ia membuka pintu kamar mandi perlahan, kembali ke kamar. Matanya langsung menyapu ruangan. Semuanya tetap rapi seperti sebelumnya. Tapi Leah tahu, rumah ini bukan rumah biasa. Setiap sudut bisa berbicara, setiap benda bisa mengawasi. Ia harus tetap berhati-hati. Harus tetap terpisah dari apa pun yang bisa membuatnya lupa tujuan awal.

Namun jauh di lubuk hatinya, Leah juga tahu... Ia sudah mulai terjebak. Bukan dalam jebakan keluarga Arden. Tapi dalam jebakan empatinya sendiri terhadap pria yang duduk semalaman dalam gelap, menelan dua butir obat karena suara-suara di kepalanya tak pernah memberi jeda.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 67 Love to hate me

    “Aku minta maaf” Ucap LeahValesco tertarik, matanya menyipit, menatap Leah seolah kata-kata itu terlalu murah untuk diucapkan sekarang.“Maaf?” gumamnya pelan, nyaris seperti ejekan. Ia mendongak sedikit, mengamati wajah Leah yang berdiri tenang “Untuk apa kau minta maaf Leah?”“Karena tidak peka dengan keinginanmu” Jawab LeahValesco menyeringai jahat. Daripada melakukan apa yang ia pikirkan, lebih baik Valesco mengalihkannya dengan meminum alkohol.Mungkin, hanya mungkin...Setelah semua ini, Valesco takkan terluka dengan penolakan Leah atau bahkan sikap tenang Leah“Tidurlah duluan, aku akan menyusul” ucap ValescoLeah tak langsung bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Valesco yang kini tampak sangat jauh. Kata-kata pria itu terdengar tenang, terlalu tenang. Tapi Leah tahu, itu bukan ketenangan yang sebenarnya. Itu adalah diam yang berisi badai.

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 66 His Hope

    Mobil itu membawa mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap, melewati hiruk-pikuk jalanan pagi yang mulai padat. Di dalam kendaraan yang hangat dan senyap itu, Valesco tertidur sambil memeluk Leah, tubuhnya sedikit meringkuk seperti seseorang yang baru saja selamat dari serangan badai.Wajahnya tampak damai dalam tidur, tapi masih ada sisa-sisa kelelahan di sekitar matanya. Nafasnya berat, tapi stabil. Tangannya tetap melingkari tubuh Leah, seolah alam bawah sadarnya pun menolak untuk melepaskannya.Leah memandangi wajah pria itu lama, menelusuri garis rahangnya, kelopak matanya yang tertutup, dan dahi yang terkadang berkerut sedikit seolah masih menyimpan mimpi buruk yang belum selesai.Sopir mereka sempat melirik lewat kaca spion dalam, ragu-ragu.“Signora, kita sudah sampai” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, seolah enggan mengganggu keheningan di antara mereka.Leah menoleh pelan, mengangguk kecil sambil menaruh telunjuk di

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 65 Keraguannya

    Valesco dan Leah berjalan menyusuri lorong panjang dengan langkah tanpa suara. Tak satu pun dari mereka berbicara. Hening yang menggantung di antara keduanya bukan karena permusuhan, tapi karena beban yang terlalu berat untuk dijelaskan dengan kata.Lift terbuka tanpa suara. Valesco menekan tombol L untuk Lobby dan mereka berdiri berdampingan di dalam kotak logam yang dingin dan hampa, dengan pantulan wajah mereka saling berseberangan di kaca.Leah menatap ke depan. Tidak menoleh. Tidak bicara. Sementara Valesco mencuri pandang padanya, beberapa kali, seperti seorang pria yang sedang menyusun kalimat pengakuan, tapi tercekik oleh rasa takut dan malu yang terlalu dalam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak setelah apa yang Leah lihat. Dan lebih-lebih lagi, setelah apa yang Leah katakan.Lift meluncur turun, melewati lantai demi lantai.Lalu...Ding.Pintu terbuka di Lobby.Cahaya terang menyambut mereka, disertai kesibukan di antara

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 64 The Fragile Cure

    Sebelum kejadian...Leah duduk di ujung sofa panjang di ruang pribadi Valesco. Kedua kakinya disilangkan, tangannya menopang dagu. Awalnya ia mencoba membaca buku yang tadi sempat ia temukan di rak kecil dekat jendela, tapi bahkan halaman keempat tak sanggup mengalihkan pikirannya dari detak waktu yang terasa begitu lambat.Ia menengok ke jam dinding. Hampir dua jam sejak Valesco meninggalkannya untuk rapat."Astaga..." desahnya pelan, lalu berdiri dan mulai mondar-mandir di ruangan.Awalnya ia berpikir menunggu adalah hal paling sederhana untuk dilakukan. Ia terbiasa menunggu. Tapi tidak di gedung asing setinggi ini, sendirian, dengan perasaan tak menentu yang perlahan mulai menggrogoti tenangnya.Leah membuka pintu. Memandangi lorong kosong di depan kamar itu. Lalu memutuskan melangkah keluar. Hanya untuk berjalan-jalan sebentar, katanya dalam hati. Mungkin mencari mesin kopi atau... udara.Lift berhenti di lantai 42 dengan suara denting p

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 63 Breaking

    Tak butuh waktu lama untuk lift terbuka di lantai empat puluh dua. Seorang pria dengan rambut gelap yang disisir ke belakang sudah berdiri menunggu. Setelan abu-abu gelapnya rapi, dan ekspresinya penuh kehati-hatian namun bersahabat.“Julian” Valesco mengangguk singkat.“Valesco” sapanya dengan nada pelan tapi akrab. “Kukira ayahmu yang datang”Valesco tersenyum miring, singkat, hampir seperti tidak sungguhan. “Kau tahu dia tidak pernah muncul kalau situasinya sudah bisa dibakar dari belakang layar.”Julian mendesah, lalu melirik tangan kiri Valesco yang diperban “Apa kali ini dia berulah lagi?”“Bukan. Bukan dia. Tapi sudah berapa lama kau ditugaskan disini?” Tanya Valesco“Dua minggu” Julian menjawab sambil berjalan beriringan dengannya. “Aku pindah dari Ohio sesuai perintah dewan. Kantor cabang sini... tidak semulus yang kita kira. Jadi mereka ingin

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 62 With her

    Langit Roma pagi itu abu-abu, tapi hangat. Mobil hitam mengilap dengan plat diplomatik berhenti tepat di depan gedung pencakar langit kaca yang menjulang tajam ke langit seperti pisau. Di bagian atasnya, tersemat satu nama dalam huruf kapital:ARDEN CONSORTIUM.Leah menatapnya dari balik kaca jendela, tanpa sadar menggenggam tangan Valesco yang dingin. Pria itu duduk di sebelahnya, mengenakan setelan jas hitam yang terlalu pas di tubuh tegapnya. Dasi merah marun terikat rapi di lehernya. Rambutnya disisir ke belakang. Kacamata hitam menutupi matanya yang pagi tadi penuh rasa kalut dan tangis.Siang ini... pria itu bukan Valesco yang ia kenal.“Kenapa aku harus ikut?” tanya Leah pelanValesco tidak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil, lalu menoleh sedikit ke arahnya. “Masih bertanya? Kau ingin mengulang kejadian pagi tadi?” Nada suaranya datar, tapi bukan dingin. Lebih seperti... lelah menyembunyikan diri.Leah m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status