LOGINJennar melambaikan tangan saat matanya menangkap sosok Alexa yang duduk sendirian di sudut restoran. Alexa tampak rapi seperti biasa, mengenakan gaun hitam sederhana dengan potongan elegan. Namun, sorot matanya tak setenang penampilannya. Malam ini, mereka sengaja bertemu karena Alexa ingin membicarakan hal penting kepada sahabatnya itu.Jennar mempercepat langkah, lalu duduk di seberang Alexa. Tas selempangnya ia letakkan di kursi kosong di samping, gerakannya sedikit terburu-buru.“Macet, Jen?” tanya Alexa sambil menyandarkan punggung ke kursi, jarinya tanpa sadar mengetuk tepi meja kayu oak.“Lumayan. Tapi ya ... Jakarta, mana pernah nggak macet,” jawab Jennar sambil tersenyum kecil.Alexa mengangguk singkat. Senyumnya muncul sebentar, lalu menghilang. Jennar menangkap wajah sahabatnya yang terlihat tegang, seolah sedang menahan sesuatu yang berat di dada. Namun, Jennar memilih diam. Ia tahu, jika Alexa sudah siap, dia akan bicara sendiri.“Mau pesan sekarang?” Alexa memecah hening
Jennar menggenggam thermal bag di tangan kirinya dengan hati-hati setelah menyerahkan helm pada pengemudi ojek online. Ia langsung melangkah cepat menjauh dari tepi jalan. Ini hari kedua ia bangun lebih pagi demi memasak untuk Birru dan sepertinya ia mulai terbiasa.Begitu matanya menangkap siluet mobil putih milik Kinanti yang baru saja meluncur masuk ke gerbang NeoLand, langkah Jennar otomatis dipercepat.“Please… gue nggak mau satu lift lagi sama mereka,” bisiknya, nyaris seperti doa kecil.Ia melewati pos pemeriksaan satpam, menunduk sekilas sambil mengangguk sopan, lalu nyaris berlari kecil menuju deretan lift. Pintu salah satu lift terbuka tepat waktu. Jennar menyelip masuk, jarinya cepat menekan angka lima.Pintu menutup.Jennar menghembuskan napas panjang, pundaknya merosot lega.“Aaah… syukurlah pagi ini nggak ada drama,” gumamnya, senyum kecil muncul tanpa ia sadari.Di cermin lift, bayangan dirinya tampak sedikit berbeda pagi ini. Pipinya merona, rambutnya rapi meski sederh
Birru menahan batuk yang mulai mencekik di tenggorokannya. Satu telapak tangan mencengkeram tepi meja sekuat tenaga, tubuhnya gemetar menahan sesak yang makin merambat di dada. Napasnya terdengar kasar, bukan terputus, tapi seperti tersangkut di dada.Jennar bangkit setengah berdiri, wajahnya penuh kecemasan. “Ru? Kamu kenapa?! Katakan!”Birru mencoba tersenyum, tapi sudut bibirnya justru menegang. Kulit di sekitar lehernya mulai memerah, merambat pelan ke rahang dan pipi. Ia menelan ludah beberapa kali, tapi sia-sia. Ada rasa gatal dan panas yang menjalar dari tenggorokan ke dalam dada, seperti udara yang tiba-tiba menyempit.“Birru!?”“Nggak apa-apa,” katanya, suaranya tetap tenang meski napasnya pendek-pendek. “A-aku ... cuma alergi.” “Kamu alergi?” Jennar menatapnya kosong sesaat, lalu panik merambat cepat. “Alergi apa? Sambal? Cabai? Kacang?!”Birru mengangguk kecil, satu tangannya kini naik ke leher, bukan mencekik, tapi menahan rasa sesak yang mulai datang bergelombang. “Kacan
Selepas adzan subuh, dapur kecil di rumah Jennar sudah terang benderang. Jennar berdiri di depan kompor, mengenakan celemek sederhana yang membelit tubuh rampingnya. Rambutnya diikat seadanya, beberapa helai jatuh di sisi wajah dan ikut bergerak setiap kali ia menunduk.Di meja kecil, potongan ayam yang sudah dibersihkan tertata rapi dalam wadah bening. Bawang merah, bawang putih, dan ketumbar sudah siap di mangkuk menunggu untuk dihaluskan. Di sudut lain, ulekan dan cobek terisi cabai utuh berwarna merah menyala.Jennar menatap susunan bahan itu sejenak, berpikir kembali.“Kayaknya kurang sayur. Nggak mungkin cuma ayam kecap,” gumamnya pelan.Ia melangkah ke kulkas dan membukanya perlahan. Wortel oranye cerah dan timun segar ia ambil, dinginnya masih terasa di telapak tangan. Pintu kulkas ditutup dengan hati-hati, nyaris tanpa suara.Jennar kembali ke depan meja. Tak lama, pisau menyentuh talenan, suaranya memecah keheningan dengan irama teratur dan penuh kehati-hatian.“Semoga kamu
Birru menatap deretan mobil yang mengantri di pom bensin beberapa detik sebelum akhirnya bersuara, tenang, nyaris terlalu tenang. “Hai, Mbak Jennar. Ini aku. Kak Alexa lagi di toilet, HP-nya ketinggalan.”Dari ujung sana, suara napas Jennar terdengar tersendat.“Hah?” jawabnya singkat, penuh panik.“Tenang, Mbak,” lanjut Birru dengan nada tetap rendah. “Aku cuma—”Klik.Panggilan terputus begitu saja.Birru mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. Bukan senyum mengejek, melainkan senyum seseorang yang paham betul alasan lawan bicaranya menghindar. Ia melirik layar ponsel Alexa, melihat log panggilan yang masih terbuka, lalu dengan satu gerakan cepat menghapusnya. Seolah percakapan itu tak pernah terjadi.“Jangan sampai Kak Alexa tahu. Aku yang harus bantu dia kali ini,” gumam Birru pelan, penuh tekad.Birru mengembalikan ponsel itu ke tempat semula, lalu merogoh saku celananya, mengambil ponsel miliknya sendiri. Nama Jennar sudah tersimpan di sana, entah sejak kapan.Birru menghela napa
“Ma-mama bercanda, kan?” suara Jennar keluar dengan nada ragu, berharap ia salah mendengar.“Enggak, Jen.”Jennar mengerutkan kening, napasnya tercekat. “Tapi kenapa, Ma? Itu kan bukan uang Mama.”Priska menarik napas panjang, lalu meletakkan spatula dengan perlahan di atas meja dapur. Tangannya mengambil serbet, mengusapnya pelan, seolah sedang menyiapkan kata-kata yang berat untuk diucapkan. “Mama bukan nggak merasa bersalah, Jen,” suaranya akhirnya keluar dengan hati-hati. “Tapi uang segitu, kalau cuma didiemin di rekening, sayang banget. Mama pikir, mending muter biar ada hasilnya.”Jennar berdiri kaku, tubuhnya seperti membeku di tempat. Matanya tak berani menatap langsung ke wajah ibunya. “Tapi itu uang aku, Ma. Uang aku dan Daniel.”Priska menghela napas, menatap Jennar dengan tatapan lebih tegas. “Iya, Mama tahu. Tapi waktu itu rencana pernikahan kamu juga nggak jelas. Tunangan hampir setahun, tiap ditanya kapan nikah, selalu mundur. Selalu ada alasan. Mama capek nunggu kepas







