Kira kira Galeri kasih pelajaran apa nih? jahil banget. >,<
Pagi ini, Sofia kembali terkejut karena saat bangun sarapan sudah siap di meja makan. Dia tahu ini ulah suaminya yang suka menghamburkan uang dengan memesan makanan mewah. Bahkan dia juga tidak tahu kapan semua menu itu masuk ke rumahnya.“Aku harus pergi hari ini. Urusan bisnis.” Galtero menyeka mulutnya dengan serbet, lalu meninggalkan meja makan. Membiarkan Sofia yang tercengang sambil menggenggam sendok.“Tanganmu bagaimana?” tanya Sofia, tetapi bukan sebuah jawaban yang dia dapatkan, melainkan pernyataan dari suaminya.Dia memperhatikan Galtero yang kesulitan menggunakan jaket kulit cokelatnya. Padahal dari jarak yang tidak jauh ada Sofia, tetapi gengsi pria itu benar-benar setinggi langit sampai tidak mau meminta tolong. Atau mungkin menunggu Sofia peka.Dari tempatnya duduk, Sofia berkata, “Bahkan kamu belum bisa pakai jaket sendiri, sudah mau mengantar Tuan Muda.”“Ini penting,” sahut Galtero, yang tampak kesal dan melempar jaketnya ke lantai. Kemudian pria itu melenggang perg
Beberapa jam kemudian, keduanya sama-sama terbangun dan saling menatap. Bukan pertama kali, tetapi Sofia melihat suaminya itu bagai anak kecil yang tidak berdaya. Jauh dari Galtero yang dia kenal hampir dua bulan ini. “Infusmu habis, aku panggil suster untuk lepas infus,” alasan Sofia. Sebenarnya, dia ingin menormalkan irama jantung yang berdegup tidak sopan. Siapa sangka, Galtero melarang. Pria itu menggenggam jemarinya dengan erat. “Kenapa?” Sofia melihat tangan mereka yang saling menempel dan hangat. “Kamu bisa panggil mereka dari sini.” Galtero melirik pada tombol panggilan di atas sisi ranjangnya. Ini membuat Sofia terlihat bodoh dan memalukan. Wajah wanita itu memerah, tetapi dia tetap mengangkat tegak kepalanya. “Tidak ada salahnya langsung datang, supaya cepat,” kilahnya tak ingin makin jatuh harga dirinya. Galtero menyeringai dan menarik wanita itu makin dekat dengan ranjang. Sofia membelalak menahan tangannya pada dada bidang yang bahkan masih beraroma tubuhnya. “Apa
Sofia hampir pingsan saat darah itu membasahi paha dan sofa. Dia menjerit, tetapi Galtero justru mencengkeramnya kuat dan menyuruhnya tenang. Sofia mengumpulkan energinya untuk membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Bahkan dia gemetaran saat hendak menyetir, hingga Galtero yang memaksa mengambil alih.Gila memang, suaminya itu seolah tidak merasa sakit. Sepanjang jalan Sofia terus menyadarkan agar Galtero tetap membuka mata. Bahaya jika pria itu menutup mata sejenak.Tiba di pusat medis, Sofia sempat membaca logo kecil nama rumah sakit di depan, Torres Memorial Hospital. Nama itu membuat alisnya berkerut. Namun dia tidak ingin bertanya. Terlalu banyak hal yang belum dijelaskan Galtero, dan kenapa semua harus berurusan dengan nama Torres? Ah, dia sudah cukup lelah untuk bertengkar lagi hari ini."Dia kuat sekali,” gumam Sofia, sesekali mengamati Galtero yang saat ini tidak menunjukkan raut tegang atau tak nyaman atas tindakan dokter itu.Sofia menggigit kuku jempolnya sambil berja
Napas Sofia makin berat, dadanya bagai dihantam kepalan tinju dengan kuat yang menjatuhkannya ke lantai. Apalagi, saat Renata kembali berkata, “Sua–mimu to–long aku.” Bukan hanya sebak dalam dada, tubuh Sofia kini gemetar dan dia berusaha menahannya. Renata mengangkat tangan, isyarat agar Galtero mendekat. Pria itu kemudian berdiri di ujung ranjang dengan wajah datarnya, dan tatapan yang fokus pada ibu mertua. Sementara Sofia justru menghindar, mencuri-curi pandang pada luka di tangan suaminya. ‘Apa luka itu ada hubungannya dengan kejadian semalam?’ batinnya, ‘Apa itu perbuatan Papa?’ Dia tidak tahu bagaimana mungkin Galtero tetap diam. Bukan menggaungkan bahwa dirinya adalah sang penyelamat? “Aku … ti–tip Sofia. To–long jaga dia.” Suara Renata terbata dan napasnya terdengar sesak. Refleks, Sofia menggenggam tangan sang ibu dan air matanya jatuh. Kata-kata itu seperti sebuah perpisahan, dia menggeleng. Namun, dia juga menanti jawaban Galtero. Tak menunggu lama, Galtero menjawab
Tangan Sofia mengepal mendengar kata-kata hina itu. Andaikan saja bisa, sudah pasti dia memukul bibir sang suami yang seenaknya itu. Sial, dia masih terlalu takut dituntut secara hukum. Apalagi terjerat kekerasan dalam rumah tangga. Sofia berdiri menghadap jendela. Mereka masih saling membelakangi, seolah masing-masing menyembunyikan api yang siap membakar. “Lalu harus ke mana aku cari perhatian?” Konfrontasi Sofia, meskipun benaknya tidak paham mengapa sang suami berkata hina seperti itu. Tidakkah pria itu tahu hatinya saat ini masih berantakan? Lalu sekarang, bagai dihancurkan hingga tak diinginkan bangkit lagi. Galtero mendekat dan mengamati lekuk tubuh Sofia yang terpahat elok layaknya karya seni melegenda. Ujung jari pria itu menyusuri kulit pundak dan berakhir pada bokong, lalu sedikit menekannya. Sofia merasa sesak, diperlakukan sebagai benda yang bisa disentuh kapan saja Galtero menginginkannya, termasuk saat ini. Bukan seorang istri yang dicintai. “Kamu biarkan d
“Tuan Jose … aku ….” Sofia menjeda ucapannya dan pandangannya tertuju pada tubuh lemah Renata yang sedang ditangani oleh dokter. “Tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu.”Jose tersenyum kecil dan menatap lekat wajah Sofia yang tampak berantakan oleh air mata dan peluh, tetapi masih sangat memesona. Sorot mata Jose tak dipungkiri memancarkan sesuatu yang lebih.“Kamu tadi bilang terima kasih, caranya harus kerja dengan baik, cukup bagiku.” Nada bicara Jose sangat lembut dan tegas.Sofia dibuat menunduk sedikit karenanya, bukan tersipu, tetapi mengambil napas sejenak dari peristiwa ini. Dia bersumpah akan lebih giat lagi bekerja. Menunjukkan pada semua orang bahwa dia mampu.“Pipimu masih memar, mau ke dokter?” tawar pria itu sambil memutar bahu Sofia, hingga mereka saling berhadapan.“Ya, besok aku ke dokter,,” jawabnya. Sungguh dia tidak mau merepotkan Jose lagi.“Bekasnya harus cepat hilang, datanglah ke Velvet Skin Clinic. ” Jose mengeluarkan kartu nama dari dompetnya d