Share

Bab 7 : Menghilang?

Author: NACL
last update Huling Na-update: 2025-06-09 17:12:15

Sofia menatap tajam pada tubuh kekar di atasnya. Dia menggeliat mencoba melepaskan diri, tetapi tangannya terkunci di atas kepala. Sungguh dia tidak mau diperlakukan dengan kasar, tidak mau disetubuhi lagi tanpa izin.

“Jawab aku, Tuan!” desaknya. Dia mendesis nyeri karena tekanan Galtero makin terasa pada tangannya. “Benar ‘kan dia anakmu?”

Bukan menjawab, Galtero justru menatap tajam bibir Sofia dan merunduk seolah hendak mencium wanita itu. Namun, sofia memalingkan wajah hingga pria itu hanya berjarak sesenti dari rahangnya. Sedangkan tubuh mereka sudah sangat rapat.

Embusan napas hangat beraroma wine begitu pekat menyapu kulit wajah Sofia. Dia menggigit kuat bibir bawahnya untuk menahan gemetar, karena hawa panas dari tubuh Galtero membuatnya menegang dan ngeri sekaligus.

Pria itu berbisik, “Kamu tidak pantas cemburu.”

Seketika Sofia terdiam sejenak dan mata almondnya melebar. Terlalu menggelikan dan ambigu mendengar jawaban itu. Dengan gerakan cepat, dia menggerakkan kepalanya hingga saling berpandangan dalam diam bersama Galtero. Bibir Sofia tersenyum pahit karena pria di depannya seorang pecundang yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri.

“Kalau dia memang anakmu, lepaskan aku! Hiduplah bahagia dengan anakmu!” tegas Sofia. Dia bukan mengalah pada anak itu, justru memberi keadilan supaya mereka bersama.

“Di mana?” Suara Galtero merambat dingin, meskipun tubuhnya sepanas bara api.

Sofia hanya mengerutkan alisnya karena Galtero benar-benar tidak nyambung diajak bicara.

“Apanya?!” balas Sofia tak gentar, mungkin pria itu ingin bertanya di mana dia melihat mereka.

Galtero menarik napas dalam, seakan sedang menahan sesuatu yang mendesak di dadanya.

“Cincinmu,” desis pria itu penuh penekanan, “atau sengaja disembunyikan … demi mantanmu?”

Sofia membalas dengan suara tercekat bagai menahan luka, “Apa itu lebih penting bagimu?”

“Di mana cincinnya?!” tanya Galtero lagi, kali ini suaranya lebih tegas dan mendominasi, seolah menusuk lawan bicaranya.

Sofia berani mengangkat dagunya. Dia tidak mau terlhat seperti anak itik di tengah terkamanan harimau jantan.

Dengan tangan yang mengepal kuat dalam genggaman Galtero dan suara sedikit bergetar, dia menjawab, “Sudah kubuang di pinggir jalan. Cincin itu juga … mungkin sudah hilang.”

Sontak saja Galtero melepaskan Sofia. Tubuh tegap pria itu turun dari ranjang. Entah karena marah atau memang sengaja. Dia menginjak pecahan gelas di atas lantai. Anehnya, tidak ada ekspresi kesakitan pada pria itu.

Akan tetapi, Sofia yang baru saja merasa bisa menghirup oksigen langsung membekap mulut melihat darah keluar dari kaki suaminya. Namun, dia menahan diri, ingin tahu apa yang dilakukan pria itu.

Ternyata Galtero berjalan normal menuju ruang pakaian. Tak lama kemudian, tanpa sepatah kata apa pun, pria itu meninggalkan Sofia sendirian di kamar luas ini.

Gegas Sofia memeriksa ke dalam ruang pakaian, dan menyentuh tengkuknya karena melihat pecahan kaca bernoda darah tergeletak di atas lemari aksesoris. Pria itu mencabutnya snediri. Bahkan jejak merah dari kaki Galtero tercetak pada lantai. Dengan cepat, dia membersihkan ruangan itu termasuk pecahan lainnya.

Daun telinganya menangkap deru mesin mobil yang menjauh dengan cepat. Dia mengintip dari jendela, tetapi hanya melihat beberapa SUV hitam berbaris rapi dan berjalan seolah mengikuti seseorang yang baru saja pergi.

“Apa dia mencari cincinnya?” gumam sofia sambil menarik napas.

Sambil memandangi langit yang sudah pekat sepenuhnya. Hati Sofia mencelos karena cara pria itu mencari cincin tanpa ragu, bahkan membiarkan darah menetes dari kaki, membuatnya berpikir ulang.

Benda itu bukan sekadar cincin. Ada sesuatu yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata-kata. Namun jelas satu hal, itu sangat penting, dan Sofia entah kenapa merasa sedikit bersalah telah membuangnya begitu saja.

Mustahil Galtero bisa menemukan cincin itu, mengingat kejadiannya terjadi lebih dari enam jam lalu. Pria itu juga tidak bertanya di mana Sofia membuangnya.

Ah, sial. Ini membuat kepala Sofia sakit. Dihantui rasa cemas. Bagaimana jika tidak ketemu? Apa yang akan Galtero lakukan padanya?

Sofia pun berdiri selama berjam-jam, menggigiti kukunya sambil menatap pergantian jam. Untuk pertama kalinya, dia menanti pria itu pulang dan berharap semua baik-baik saja.

Saat mendengar mesin mobil di sekitar rumah, dia mengintip melalui celah tirai. Ternyata itu bukan suaminya.

“Galtero!” desisnya sembari meremas kain tirai.

Sementara di tempat lain, sudah berjam-jam Galtero mencari cincin di depan gedung Torres Lumiere. Bahkan para petugas keamanan gedung turut membantunya. Bukan hanya menggunakan mata, tetapi alat pendeteksi logam ikut bersusah payah.

“Temukan cincin itu!” perintahnya.

“Baik, Tuan Muda.”

Beberapa pria berjas hitam sampai berjongkok untuk memeriksa dengan seksama.

Sambil terus mencari, Galtero mengetatkan rahangnya. Wanita itu, Sofia, telah mencari masalah dengannya.

Salah satu alat pendeteksi berbunyi nyaring. Ternyata, benda mengilap itu terselip pada pembatas antara jalan dan saluran pembuangan air.

“Sterilkan!” perintah Galtero pada seorang pria berjas hitam.

Mereka membawa cincin itu pergi. Galtero masuk ke dalam mobilnya. Dia melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan lengang di bawah sinar bulan. Beberapa mobil hitam pun mengekor.

Pria itu kembali ke rumah menjelang pagi. Tubuh menjulang tinggi dan wajah tampannya tampak mengeras saat membuka pintu.

Seketika, Sofia terlonjak di balik pintu utama. Supaya tidak terlihat gugup, wanita itu meraih roti panggang yang sempat dibuatnya, lalu menggigitnya seolah semua tampak normal.

Sofia juga tidak bertanya apa pun untuk menunjukkan kepeduliannya pada Galtero. Dia menghadap sisi lain, tetapi ekor matanya terpusat pada pria itu. Tubuhnya meremang ketika pria itu mendekat dan meraih paksa tangan kanannya yang memegang roti.

“Lepas, Tuan!” tolak Sofia. Dia menepis tangan pria itu, tetapi tercenung saat menangkap noda kotor pada kaos hitam suaminya. Sial, kenapa dia menjadi iba seperti ini?

Tanpa basa-basi Galtero menyematkan cincin bermata biru itu. Sofia terbelalak, tak percaya cincin itu kembali dalam keadaan utuh dan bersih. Seolah tidak pernah hilang.

“Jangan pernah melepasnya lagi!” Lalu Galtero meraih tengkuk Sofia dan mendaratkan ciuman dalam pada bibir merah muda. Lidahnya terasa panas, menyapu remahan roti di bibir wanita itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 97 : Sang Pendusta Yang Melindungi

    Mereka memutuskan langsung pulang tanpa membeli crema catalana. Sofia masih menggigil, dan Galtero belum mengenakan apa-apa selain celana panjang. Bentley abu-abu yang dikemudikan Galtero membelah jalanan malam Barcelona. Lampu kota memantul di kaca jendela, menciptakan bayang-bayang kelabu di wajah Sofia yang diam menatap ke luar. Monte Sereno Nomor 1 menyambut mereka dalam kesunyian. Begitu mesin mati, Galtero langsung melepas sabuknya, lalu sabuk Sofia. Dia turun, mengitari mobil, dan membuka pintu untuknya. Sofia baru saja menurunkan satu kaki, masih mengambang di udara, ketika tubuhnya kembali terangkat. “Galtero…,” bisik Sofia pelan. Pria itu tidak menjawab. Hanya membawa Sofia masuk ke dalam dengan langkah panjang. Di dalam kamar, dia tidak menurunkan Sofia ke tempat tidur. Malah berjalan terus ke kamar mandi, menyalakan keran dan menyiapkan air panas. Butir-butir uap segera mengisi ruangan. “Air hangat bisa bantu merilekskan pembuluh darah,” kata pria itu, kini sudah dud

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 96 : Ranjang Tuan Muda

    “Sofia.”Suara yang biasanya tegas itu kini terdengar agak gemetar, dihantam angin laut yang dingin menusuk.Bisik-bisik pengunjung pantai menghantam telinganya.“Kasihan banget … dia lagi hamil, katanya.”“Tapi perempuan cantik. Sayang banget kalau beneran bunuh diri.”“Katanya sih dia depresi .…”Galtero mengepalkan tangan. Tidak mungkin rasanya Sofia bertindak seceroboh itu.Sepatu boot Galtero melangkah mantap menerjang pasir. Mata biru terangnya terkunci pada satu pemandangan, dan tangannya sudah siap membelah kerumunan orang-orang.“Tunggu.” Intonasinya dingin, dominan, dan sedikit gugup.Dia menyingkirkan beberapa orang di depannya tanpa basa-basi. Seketika matanya melebar melihat sosok di atas tandu.“Silakan jalan lagi,” ucapnya pelan. Membiarkan tim SAR menjalankan tugas setelah memastikan wanita pucat itu bukan istrinya.Napas Galtero berembus kasar. Dia menyapu pantai dengan tatapan tegang. Hari sudah berganti gelap. Namun, dia tidak menunggu bantuan. Kakinya terus melangk

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 95 : Wanita Pucat di Pantai

    Sementara Sofia terus berjalan di atas pasir basah, pikirannya berkecamuk dengan berita-berita miring yang menyebar begitu cepat. Di sisi lain, seorang wanita berambut pirang tersenyum puas menatap layar telepon genggam. “Ini belum seberapa, Sofia Morales,” desisnya. Jari Isabel membuka file lain di ponselnya—berkas rahasia yang diambil diam-diam dari sekretaris pribadi CEO Lumière waktu itu. Tatapan Isabel penuh kebencian. Layar ponsel dalam genggamannya menampilkan bukti pembayaran fasilitas panti jompo Renata oleh Torres Lumière. Tanpa ragu, Isabel mengirimkannya ke seorang buzzer bayaran dengan nomor sekali pakai. Setelahnya, dia terbahak pelan. Tawa itu terhenti oleh suara dingin di belakangnya. “Apa yang kamu tertawakan?” Nicolas menyambar, begitu tajam. Pria itu hanya mengenakan handuk, tubuhnya basah bukan oleh air mandi, tetapi karena keringat. Isabel meringis. Dia bisa mencium sisa-sisa tubuh perempuan lain yang baru saja disentuh pria itu. Padahal dia sendiri yang memb

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 94 : Penjilat Kelas Atas

    Sofia baru saja selesai mengganti pakaian. Dia mengenakan mantel rajut merah muda dengan celana jeans dan sepatu boots cokelat Milo. Rambutnya disisir rapi ke tengah, menciptakan belahan simetris yang mempertegas bentuk wajahnya. Helaiannya jatuh lurus menutup sebagian dada, dipoles serum hingga tampak berkilau seperti sutra. Bersama empat model lainnya, dia bergaya di depan kamera, mengikuti arahan fotografer, mengabaikan rasa ngilu di tangannya. Alina–Manajer baru berdiri tak jauh dari mereka. Sofia sempat diam-diam melirik wanita itu yang tampak mengarahkan kamera ponsel kepadanha. Belum sempat curiga lebih dalam, fotografer kembali memintanya berpindah gaya. Sofia tidak tahu bahwa rekaman singkat dan potret dirinya barusan sudah dikirim ke Madrid. Saat Sofia berjuang berdiri di depan kamera, di kota lain, seseorang memandangi wajahnya dengan kecemasan tersembunyi. “Tuan, Nyonya baik-baik saja.” Alonso menunjukkan layar telepon genggamnya pada Galtero yang baru saja menur

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 93 : Disembunyikan Darimu

    “Bibi!” seru Carlitos, matanya membulat dan wajahnya yang semula masam berubah mendung. Refleks anak itu mengulurkan tangan pada Sofia. Sedangkan Sofia yang tadi terkejut karena didorong berhasil menopang bobot tubuhnya dengan kedua telapak di atas karpet. Lengannya terasa nyeri. Bahkan jantungnya masih berdebar karena tidak sanggup kehilangan calon anaknya. Tangan Sofia bergetar. Dia dihantam antara fisik yang sakit, atau hati ditolak mentah-mentah. Sofia yang sedang hamil mudah sekali tersentuh. Sikap keras kepalanya tidak sebanding dengan kerisauan dalam dada. Mata karamelnya mengembun. Dia menatap Carlitos dengan pandangan tidak percaya. Namun, dia tak menolak uluran tangan bocah itu. “Terima kasih,” lirihnya, “tapi kenapa kamu dorong aku?” Carlitos menunduk dan menggeleng pelan. “Aku tidak mau punya adik bayi. Nanti Papa dan Bibi sayang adik, bukan aku.” Sofia tidak lagi menganggap ini sebagai kecemburuan biasa. Carlitos jelas bisa bertindak sejauh ini pasti ada sebabnya.

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 92 : Bahaya Yang Mengingtai

    “Dia … bekerja di Torres Lumière,” jawab Sofia. Dia mulai merasa ada sesuatu yang janggal, sebab tidak biasanya Jose menyinggung tentang sang suami. “Berhati-hatilah, Sofia. Sebaiknya jangan mencari masalah, baik itu pada suamimu … atau Tuan Marquez.” Ucapan Jose membuat Sofia mengerutkan alis dengan dalam. Dia sungguh tidak mengerti. “Tuan Jose … kenapa Anda bersikap seolah-olah mereka itu monster?” Sofia ingin sekali memukul meja, tetapi tangannya hanya mengepal di pangkuan. Rahang wanita itu menegang. Dia tidak terima suaminya dikatakan tidak baik, setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Galtero belakangan ini. Jose tercengang sesaat, mendengar bahwa Sofia benar-benar tidak tahu siapa Galtero sebenarnya. Pria itu memejamkan mata, seolah sedang mempertimbangkan ucapan yang hampir keluar dari mulutnya. Dia mengembuskan napas pelan. “Ya, benar, aku berlebihan karena ingin melindungi semua modelku,” tanggap Jose akhirnya. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangan mempersilakan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status