Beranda / Romansa / Sentuhan Berbahaya Tuan Muda / Bab 6 : Kamu Masalahku!

Share

Bab 6 : Kamu Masalahku!

Penulis: NACL
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-02 16:37:50

Napas Sofia memburu, dadanya turun naik, dan tangannya mengepal kuat di samping tubuh tegapnya. Dia mengayunkan kaki dengan mantap menyebrangi jalan. Tatapan wanita itu terkunci pada satu pria dewasa di dalam kafe. Dia sudah bertekad harus mendapatkan jawabannya langsung dari Galtero.

Akan tetapi, makin mendekat, sorot mata Sofia justru bergeser pada anak kecil bermata biru terang. Betapa pun meluap amarahnya pada Galtero, Sofia masih memiliki nurani. Sungguh, tidak sampai hati harus merusak kebahagiaan kecil bocah itu yang sedang mengayunkan kaki sembari memakan churros.

Alih-alih menghampiri, Sofia justru berjalan menjauh. Dia menuju halte bus. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya ikut menanggung masalah orang dewasa.

“Kamu selamat, Tuan Arogan. Tapi di rumah, aku tidak akan membiarkanmu lolos,” gumamnya.

Sofia yang sedang berjejal dengan penumpang lainnya di dalam bus menatap kosong pada jendela kaca. Bayangan Galtero dan anak lelaki tampan itu sangat jelas di depan mata.

Bagaimana jika benar itu anak Galtero? Lalu di mana ibunya? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar dan dirinya dijadikan pelarian semata? Bukankah artinya Sofia harus mengajukan cerai dalam waktu dekat?

Saking banyaknya pertanyaan yang membelenggu kepalanya, dia mengabaikan dering telepon genggam, sampai harus diingatkan penumpang lain.

“Nona, teleponmu.”

Sofia menunduk sedikit, lalu memeriksa telepon genggamnya. Ternyata itu dari Marco yang terus melakukan panggilan suara. Bahkan pria itu mengirimkan pesan dan foto kepalanya yang memar dan benjol.

[Kamu harus membayarnya, Sofia Morales.]

Sofia hanya tersenyum kecut. Luka itu belum seberapa dibanding pengkhianatan dan sikap kasar pria itu selama ini. Lalu ketika Marco kembali menghubunginya, dia langsung menonaktifkan ponselnya.

Saat ini Sofia menuju ke agensi modelnya. Sebelum memasuki gedung sepuluh lantai itu, dia berbelok memasuki apotek. Dia ingat, bahwa seharusnya melakukan ini sejak kemarin.

Wanita itu berkonsultasi mengenai kontrasepsi yang cocok. Setelahnya, diputuskan bahwa Sofia dianjurkan mengonsumsi pil KB darurat yang masih bisa diminum hingga tiga sampai lima hari setelahnya.

Meskipun hatinya terasa pedih sebab menolak dititipkannya anugerah terindah, tetapi ini bukanlah pernikahan normal layaknya pasangan lain. Dia tidak mau selamanya hidup dalam kendali pria menyeramkan seperti Galtero.

Sofia menghabiskan waktu dengan berlatih runway untuk show minggu depan. Ini proyek pertamanya. Dia begitu fokus, sampai semua mengira dia sangat total.

Sofia pulang ke rumah pukul sembilan malam. Dia tersentak mendapati Land Rover hitam sudah terparkir di garasi. Tangannya menyentuh kap mesin mobil yang dingin. Bukankah itu artinya Galtero sudah sangat lama pulang?

Sebelum masuk, dia memeriksa ponsel. “Oh tidak!” desahnya saat melihat layar yang gelap. Saat dinyalakan, terdapat satu panggilan tak terjawab dari Galtero.

Masuk ke dalam rumah, ternyata masih gelap, tenang, dan tanpa kebisingan apa pun. Sofia berpikir mungkin saja Galtero ada di ruang kerja atau kamar utama. Setelah menghabiskan air minum, Sofia mencoba membuka pintu ruangan lain di rumah ini. Dia ingin ke kamar mandi.

“Kenapa terkunci?” Sofia menarik handle pintu. Tidak berhasil, meskipun dipaksa. Dia bergegas ke pintu utama, juga terkunci. “Tuan Arogan!” desisnya tajam, matanya melirik ke arah kamar utama dengan kemarahan mendidih.

Dengan langkah lebar dan mantap, Sofia menuju kamar mereka. Cahaya di ruangan ini tampak redup. Di bawah sinar keemasan dan hangat, dia melihat Galtero berdiri memunggungi pintu. Pria itu bertelanjang dada, hanya handuk putih yang melilit pinggang liatnya.

Sofia menghentikan langkah. Entah mengapa setiap melihat tubuh Galtero membuatnya merasa terintimidasi.

“Apa maksudmu melakukan ini?” Satu pertanyaan akhirnya meluncur dari bibir agak penuh Sofia. Sepasang manik cokelatnya menatap punggung pria itu.

Melalui pantulan dinding kaca, Sofia melihat Galtero bukannya menjawab, justru menggoyang gelas berleher panjang di tangannya. Pria itu meneguk minuman dengan santai. Tentu ini membuat Sofia geram bukan main.

“Kamu berbohong, ‘kan?” desak Sofia lagi.

Seketika Galtero memutar tubuh dan menatap lurus ke arahnya. Pria itu lebih dulu meraih botol anggur dan menuangkannya lagi ke dalam gelas.

Kesabaran Sofia terkikis melihat sikap suaminya yang berlagak seperti tidak terjadi apa pun. Pria itu melangkah mendekat, seketika bulu kuduk Sofia berdiri merasakan aura dingin mencekam, padahal ini musim semi. Sungguh tidak masuk akal.

“Minum,” ujar Galtero, menyodorkan gelas bekasnya pada Sofia.

Tentu saja Sofia menggeleng. Dia tidak akan menerima. Dia juga tidak tahu apakah pria itu sudah menaruh obat di dalam minumannya atau tidak. Mengingat Galtero sangatlah licik. Bahkan bisa jadi seseorang yang memberinya obat perangsang malam itu adalah … suami berbahayanya ini.

“Minum,” ulang Galtero, kali ini maju satu langkah.

Sofia berpegang pada pendiriannya, meskipun ditatap penuh intimidasi. Dia mendorong gelas itu pelan dengan tangan kanannya. Tanpa dia sadari, iris biru terang Galtero menatap sejenak jemari polosnya. Kening pria itu tampak mengerut tipis dan tatapannya sangat dingin.

“Aku melihatmu tadi siang bersama seorang anak kecil. Apa dia ana—”

Sebelum Sofia sempat menyelesaikan kalimat, Galtero menyela, “Kenapa kamu bertemu Marco?” Matanya seakan menyala dan siap membakar apa saja.

Sofia menegang. “Apa?”

“Dia menyakitimu, dan kamu menemuinya lagi?” Suara pria itu memang terdengar datar, tetapi jemarinya menggenggam gelas dengan kuat.

Sambil menyipitkan mata, Sofia juga melangkah mundur. “Dari mana kamu tahu itu?” Ini janggal, karena pria itu selalu tahu segalanya. “Jangan alihkan topik. Aku yang bertanya di sini!”

Galtero menatapnya, lalu menenggak anggur dalam satu tegukan. Sofia belum sempat bereaksi, dan pria itu menarik pinggangnya, lalu bibirnya dengan ciuman mendadak. Cairan pahit kuning keemasan itu menyusup paksa ke dalam mulutnya, bersama rasa muak dan getir yang langsung memenuhi kerongkongannya.

Sofia berontak. Rasanya perih saat menelan cairan itu. Air mata mengambang karena jijik, marah, dan takut. Dia mendorong dada Galtero sekuat tenaga, tetapi pria itu terus menyesap bibirnya hingga Sofia menelan seluruh cairan tanpa sadar.

Dengan sisa tenaga, Sofia memaksa melepaskan diri. Dia hendak menampar pipi Galtero, tetapi pria itu lebih dulu mencekal lengannya dan membanting tubuhnya ke ranjang. Gelas anggur pun berdenting nyaring ke lantai.

Galtero menindih tubuh Sofia. Tangannya meremas kuat jemari wanita itu. “Apa masalahmu?”

“Kamu!” Sofia menatap Galtero dengan tajam. “Anak itu … dia anakmu, ‘kan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 238: Ayah dan Anak Laki-lakinya 

    Suara Nicholas memang pelan, tetapi Sofia mendengarnya lantaran posisi ponsel cukup dekat dengan bibir pria itu. Sofia tersenyum geli membayangkan wajah sang kakak.​Panggilan video berakhir karena Nicholas yang iri hati melihat kehidupan adik iparnya tidak berubah drastis.​“Kakak ada-ada saja,” gumam Sofia. Ia melirik ke arah suami dan putranya yang makin besar, makin tampan. Bahkan menurut Sofia, Ezio lebih tampan daripada Galtero.​“Mi Amor, sudah selesai belum?” Galtero berteriak dari bibir pantai.​Sofia tahu jika sudah begini, suaminya itu pasti kelelahan menjaga Ezio yang sangat aktif.​“Ya, aku ke sana,” sahut wanita itu sembari berlari kecil mendekati kuda Andalusia putih.​“Papa, aku ingin ke kebun anggur lagi. Ayo, Pa! Kenapa harus pulang?” oceh Ezio dengan bibir yang menekuk kecil. Bocah itu bahkan melipat tangan di depan dada, persis seperti apa yang tengah dilakukan Sofia saat ini.​“Kenapa lagi?

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 237: Ayah dan Anak perempuannya

    ​Sudah enam tahun berlalu. Setiap hari yang dilewati oleh Isela begitu ringan seolah tanpa beban. Meskipun sejak usia Alba memasuki tiga tahun, ia mulai disibukkan dengan pekerjaan kantor. Nicholas memaksa untuk menjadi asisten pribadi lagi. Namun, tidak sekalipun ibu satu anak itu melewati masa tumbuh kembang Alba.​Tak jarang Isela membawa Alba ke kantor jika tidak ada kesibukan. Seperti sekarang ini, Isela bekerja sambil memperhatikan putrinya yang duduk di kursi kerja Nicholas. Bukan hanya duduk biasa, tetapi kedua tangan mungilnya itu memegang sisir dan jepit rambut. Ia begitu luwes menyisi rambut sang ayah. Bahkan Nicholas sampai diperintah untuk duduk di bawah.​“Apa sudah selesai salonnya, Putriku?” Nicholas menatap pantulan dirinya di depan cermin. Untung saja hari ini tidak banyak pekerjaan ataupun rapat. Kalau iya, ia bisa terlambat karena harus melepas ikat kecil yang menghiasi rambutnya.​Alba menggeleng pelan. “Belum, Papa. Papa harus diam sampai semua selesai,” celoteh

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 236: Benci Tapi Tidak Tega

    ​Abel berbaring miring sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Malam makin pekat dan sunyi, suhu dingin seakan menyayat kulitnya yang tipis. Cairan bening dan asin mengalir dari ekor matanya.​“Mama, Papa, kalian di mana?” gumamnya pelan. Sudah hampir satu bulan ini Abel tidak dijenguk oleh kedua orang tuanya. Wanita itu hanya bisa bersuara pada diri sendiri tanpa bisa beraksi apa pun.​“Aku merindukan kalian. Tolong ke sini, Pa, Ma.” Abel memejamkan mata, tubuhnya bergetar pelan di bawah selimut.​Ia yang terbiasa bergaul dengan teman-temannya untuk belanja, duduk di kafe, dan jalan-jalan ke luar negeri, merasa menyesal karena tak pernah memiliki waktu untuk kedua orang tuanya.​Saking sibuknya Abel, ia memercayakan jodohnya pada orang tua. Berpikir bahwa Nicholas pasti bersedia menerimanya, tanpa perlu ia berusaha meluluhkan hati kepala keluarga Marquez itu.​Sekarang rasa percaya dirinya luntur tak bersisa. Ia yakin tuan muda dari keluarga mana pun tidak akan ada yang mau mener

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   ​Bab 235

    ​Isela hanya memerlukan waktu satu hari untuk observasi di rumah sakit. Setelahnya pun ia kembali pulang ke Mansion Marquez bersama putri kecilnya yang sehat.​Sepanjang perjalanan, Isela tersenyum lebar dan manis. Matanya menatap ke samping, ke arah di mana Nicholas duduk sambil memandangi putri kecil yang ada di tengah-tengah mereka.​“Aku tidak menyangka memiliki anak secantik ini.” Nicholas terpesona memandangi putrinya. Bahkan itu menjadi kegiatan baru yang menyenangkan. Tentu saja euforia menjadi ayah sangat berbeda. Ia merasa hidupnya lebih berwarna dan ada sesuatu yang dinantikan.​“Kapan dia bangun? Kenapa dia tidur terus? Seingatku selama hamil kamu tidak mengonsumsi obat tidur.” Nicholas mengetuk-ngetuk dagunya. Ia merasa heran karena sejak bayi itu dilahirkan, ia lebih sering tidur dibanding berinteraksi dengan orang tuanya. Padahal Nicholas berharap bisa mengobrol dan membuat bayinya tertawa, ya, seperti gambar keluarga bahagia yang dilihatnya di majalah.​Isela melirik m

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 234: Papa Mengajarimu, Sayang

    Nicholas makin meringis kesakitan, tetapi saat Galtero hendak mendorong kursi rodanya untuk menjauh dari ruang bersalin, pria itu menolak dengan mengibaskan tangan. ​“Kamu sakit. Untuk apa diam di ruang bersalin? Ini tidak cocok untukmu. Sebaiknya periksa saja kesehatanmu. Sebagai ipar yang baik, aku akan mengantar,” ucap Galtero, nada suaranya datar. ​“Diamlah. Kamu tidak tahu apa-apa. Rasa sakitku berbeda … sebelum ke Madrid dokter sudah memeriksaku,” papar Nicholas dengan suara yang tersendat-sendat. “Aku ingin tetap bersama Isela!” pintanya. ​Dari balik tirai, terdengar suara Isela yang merintih, “Nico … tidak apa-apa kamu periksa saja. Ada Sofia di sini, jangan khawatir.” ​Ibu hamil itu berjuang menahan rasa sakit sekaligus berbesar hati jika Nicholas harus menangani penyakitnya. Isela berharap itu bukanlah sakit yang serius. Sungguh, ia tidak bisa hidup tanpa suaminya tercinta. ​“Tidak! Tidak! Bukan begitu, Sayang. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap menemanimu di sini. Men

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 233: Sama-sama Sakit

    Raungan sirine ambulans yang tiba-tiba membuat suasana damai di rumah merajut itu porak-poranda. Sofia bergerak cepat, wajahnya sepucat kain putih. Ia menopang Isela yang kini sudah berdiri, keringat membasahi pelipisnya.​“Aku sudah telepon ambulans dan Nicholas,” ucap Sofia, suaranya sedikit bergetar. “Jangan khawatir, kita akan segera sampai rumah sakit. Ini pasti kontraksi!”​“Tidak, Sofia, tunggu,” cegah Isela lembut, meski ia harus bersandar pada kusen pintu. “Jangan terlalu panik. Ini tidak mungkin melahirkan. Aku memang sakit perut, tapi rasanya tidak sakit sekali seperti yang diceritakan di buku-buku. Ini hanya sakit biasa.”​Sofia menggeleng keras. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. “Sakit biasa tidak membuatmu menahan napas seperti itu, Kakak Ipar! Dokter yang akan memutuskan. Kita harus pergi sekarang!”​Sofia menuntun Isela menuju pintu depan, sementara di luar, suara ambulans semakin memekakkan telinga. Isela hanya bisa pasrah, membiarkan kepanikan adikny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status