Napas Sofia memburu, dadanya turun naik, dan tangannya mengepal kuat di samping tubuh tegapnya. Dia mengayunkan kaki dengan mantap menyebrangi jalan. Tatapan wanita itu terkunci pada satu pria dewasa di dalam kafe. Dia sudah bertekad harus mendapatkan jawabannya langsung dari Galtero.
Akan tetapi, makin mendekat, sorot mata Sofia justru bergeser pada anak kecil bermata biru terang. Betapa pun meluap amarahnya pada Galtero, Sofia masih memiliki nurani. Sungguh, tidak sampai hati harus merusak kebahagiaan kecil bocah itu yang sedang mengayunkan kaki sembari memakan churros. Alih-alih menghampiri, Sofia justru berjalan menjauh. Dia menuju halte bus. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya ikut menanggung masalah orang dewasa. “Kamu selamat, Tuan Arogan. Tapi di rumah, aku tidak akan membiarkanmu lolos,” gumamnya. Sofia yang sedang berjejal dengan penumpang lainnya di dalam bus menatap kosong pada jendela kaca. Bayangan Galtero dan anak lelaki tampan itu sangat jelas di depan mata. Bagaimana jika benar itu anak Galtero? Lalu di mana ibunya? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar dan dirinya dijadikan pelarian semata? Bukankah artinya Sofia harus mengajukan cerai dalam waktu dekat? Saking banyaknya pertanyaan yang membelenggu kepalanya, dia mengabaikan dering telepon genggam, sampai harus diingatkan penumpang lain. “Nona, teleponmu.” Sofia menunduk sedikit, lalu memeriksa telepon genggamnya. Ternyata itu dari Marco yang terus melakukan panggilan suara. Bahkan pria itu mengirimkan pesan dan foto kepalanya yang memar dan benjol. [Kamu harus membayarnya, Sofia Morales.] Sofia hanya tersenyum kecut. Luka itu belum seberapa dibanding pengkhianatan dan sikap kasar pria itu selama ini. Lalu ketika Marco kembali menghubunginya, dia langsung menonaktifkan ponselnya. Saat ini Sofia menuju ke agensi modelnya. Sebelum memasuki gedung sepuluh lantai itu, dia berbelok memasuki apotek. Dia ingat, bahwa seharusnya melakukan ini sejak kemarin. Wanita itu berkonsultasi mengenai kontrasepsi yang cocok. Setelahnya, diputuskan bahwa Sofia dianjurkan mengonsumsi pil KB darurat yang masih bisa diminum hingga tiga sampai lima hari setelahnya. Meskipun hatinya terasa pedih sebab menolak dititipkannya anugerah terindah, tetapi ini bukanlah pernikahan normal layaknya pasangan lain. Dia tidak mau selamanya hidup dalam kendali pria menyeramkan seperti Galtero. Sofia menghabiskan waktu dengan berlatih runway untuk show minggu depan. Ini proyek pertamanya. Dia begitu fokus, sampai semua mengira dia sangat total. Sofia pulang ke rumah pukul sembilan malam. Dia tersentak mendapati Land Rover hitam sudah terparkir di garasi. Tangannya menyentuh kap mesin mobil yang dingin. Bukankah itu artinya Galtero sudah sangat lama pulang? Sebelum masuk, dia memeriksa ponsel. “Oh tidak!” desahnya saat melihat layar yang gelap. Saat dinyalakan, terdapat satu panggilan tak terjawab dari Galtero. Masuk ke dalam rumah, ternyata masih gelap, tenang, dan tanpa kebisingan apa pun. Sofia berpikir mungkin saja Galtero ada di ruang kerja atau kamar utama. Setelah menghabiskan air minum, Sofia mencoba membuka pintu ruangan lain di rumah ini. Dia ingin ke kamar mandi. “Kenapa terkunci?” Sofia menarik handle pintu. Tidak berhasil, meskipun dipaksa. Dia bergegas ke pintu utama, juga terkunci. “Tuan Arogan!” desisnya tajam, matanya melirik ke arah kamar utama dengan kemarahan mendidih. Dengan langkah lebar dan mantap, Sofia menuju kamar mereka. Cahaya di ruangan ini tampak redup. Di bawah sinar keemasan dan hangat, dia melihat Galtero berdiri memunggungi pintu. Pria itu bertelanjang dada, hanya handuk putih yang melilit pinggang liatnya. Sofia menghentikan langkah. Entah mengapa setiap melihat tubuh Galtero membuatnya merasa terintimidasi. “Apa maksudmu melakukan ini?” Satu pertanyaan akhirnya meluncur dari bibir agak penuh Sofia. Sepasang manik cokelatnya menatap punggung pria itu. Melalui pantulan dinding kaca, Sofia melihat Galtero bukannya menjawab, justru menggoyang gelas berleher panjang di tangannya. Pria itu meneguk minuman dengan santai. Tentu ini membuat Sofia geram bukan main. “Kamu berbohong, ‘kan?” desak Sofia lagi. Seketika Galtero memutar tubuh dan menatap lurus ke arahnya. Pria itu lebih dulu meraih botol anggur dan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Kesabaran Sofia terkikis melihat sikap suaminya yang berlagak seperti tidak terjadi apa pun. Pria itu melangkah mendekat, seketika bulu kuduk Sofia berdiri merasakan aura dingin mencekam, padahal ini musim semi. Sungguh tidak masuk akal. “Minum,” ujar Galtero, menyodorkan gelas bekasnya pada Sofia. Tentu saja Sofia menggeleng. Dia tidak akan menerima. Dia juga tidak tahu apakah pria itu sudah menaruh obat di dalam minumannya atau tidak. Mengingat Galtero sangatlah licik. Bahkan bisa jadi seseorang yang memberinya obat perangsang malam itu adalah … suami berbahayanya ini. “Minum,” ulang Galtero, kali ini maju satu langkah. Sofia berpegang pada pendiriannya, meskipun ditatap penuh intimidasi. Dia mendorong gelas itu pelan dengan tangan kanannya. Tanpa dia sadari, iris biru terang Galtero menatap sejenak jemari polosnya. Kening pria itu tampak mengerut tipis dan tatapannya sangat dingin. “Aku melihatmu tadi siang bersama seorang anak kecil. Apa dia ana—” Sebelum Sofia sempat menyelesaikan kalimat, Galtero menyela, “Kenapa kamu bertemu Marco?” Matanya seakan menyala dan siap membakar apa saja. Sofia menegang. “Apa?” “Dia menyakitimu, dan kamu menemuinya lagi?” Suara pria itu memang terdengar datar, tetapi jemarinya menggenggam gelas dengan kuat. Sambil menyipitkan mata, Sofia juga melangkah mundur. “Dari mana kamu tahu itu?” Ini janggal, karena pria itu selalu tahu segalanya. “Jangan alihkan topik. Aku yang bertanya di sini!” Galtero menatapnya, lalu menenggak anggur dalam satu tegukan. Sofia belum sempat bereaksi, dan pria itu menarik pinggangnya, lalu bibirnya dengan ciuman mendadak. Cairan pahit kuning keemasan itu menyusup paksa ke dalam mulutnya, bersama rasa muak dan getir yang langsung memenuhi kerongkongannya. Sofia berontak. Rasanya perih saat menelan cairan itu. Air mata mengambang karena jijik, marah, dan takut. Dia mendorong dada Galtero sekuat tenaga, tetapi pria itu terus menyesap bibirnya hingga Sofia menelan seluruh cairan tanpa sadar. Dengan sisa tenaga, Sofia memaksa melepaskan diri. Dia hendak menampar pipi Galtero, tetapi pria itu lebih dulu mencekal lengannya dan membanting tubuhnya ke ranjang. Gelas anggur pun berdenting nyaring ke lantai. Galtero menindih tubuh Sofia. Tangannya meremas kuat jemari wanita itu. “Apa masalahmu?” “Kamu!” Sofia menatap Galtero dengan tajam. “Anak itu … dia anakmu, ‘kan?”Sofia menatap tajam pada tubuh kekar di atasnya. Dia menggeliat mencoba melepaskan diri, tetapi tangannya terkunci di atas kepala. Sungguh dia tidak mau diperlakukan dengan kasar, tidak mau disetubuhi lagi tanpa izin.“Jawab aku, Tuan!” desaknya. Dia mendesis nyeri karena tekanan Galtero makin terasa pada tangannya. “Benar ‘kan dia anakmu?”Bukan menjawab, Galtero justru menatap tajam bibir Sofia dan merunduk seolah hendak mencium wanita itu. Namun, sofia memalingkan wajah hingga pria itu hanya berjarak sesenti dari rahangnya. Sedangkan tubuh mereka sudah sangat rapat.Embusan napas hangat beraroma wine begitu pekat menyapu kulit wajah Sofia. Dia menggigit kuat bibir bawahnya untuk menahan gemetar, karena hawa panas dari tubuh Galtero membuatnya menegang dan ngeri sekaligus.Pria itu berbisik, “Kamu tidak pantas cemburu.”Seketika Sofia terdiam sejenak dan mata almondnya melebar. Terlalu menggelikan dan ambigu mendengar jawaban itu. Dengan gerakan cepat, dia menggerakkan kepalanya hin
Napas Sofia memburu, dadanya turun naik, dan tangannya mengepal kuat di samping tubuh tegapnya. Dia mengayunkan kaki dengan mantap menyebrangi jalan. Tatapan wanita itu terkunci pada satu pria dewasa di dalam kafe. Dia sudah bertekad harus mendapatkan jawabannya langsung dari Galtero.Akan tetapi, makin mendekat, sorot mata Sofia justru bergeser pada anak kecil bermata biru terang. Betapa pun meluap amarahnya pada Galtero, Sofia masih memiliki nurani. Sungguh, tidak sampai hati harus merusak kebahagiaan kecil bocah itu yang sedang mengayunkan kaki sembari memakan churros.Alih-alih menghampiri, Sofia justru berjalan menjauh. Dia menuju halte bus. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya ikut menanggung masalah orang dewasa.“Kamu selamat, Tuan Arogan. Tapi di rumah, aku tidak akan membiarkanmu lolos,” gumamnya.Sofia yang sedang berjejal dengan penumpang lainnya di dalam bus menatap kosong pada jendela kaca. Bayangan Galtero dan anak lelaki tampan itu sangat jelas di depan mata.
‘Kamu akan tahu konsekuensinya kalau mencoba lagi.’Ucapan Galtero terus terngiang di kepala Sofia. Bahkan saat pagi ini mereka sudah berpisah untuk urusan pekerjaan masing-masing, kata-kata itu masih melekat bagai bayangan gelap yang tidak bisa diusir.Sofia melamun di dapur Torres Lumière, tempatnya bekerja. Hingga sentakan panas dari cipratan saus mendidih di tangannya membuat wanita itu terbangun dari lamunan.Dia buru-buru menyiram luka di bawah air mengalir. Tatapannya pun jatuh pada cincin bermata biru yang melingkar di jari manisnya.Sofia mendesah lirih. Bisa-bisanya pria itu mengancamnya tadi. Dia bergumam lirih, “Memangnya apa yang akan dia lakukan kalau aku benar-benar mencoba melawannya lagi?”Saat itulah ponsel di sakunya berdenting. Sofia refleks mengambilnya. Ada sebuah pesan masuk dari pengurus panti jompo tempat ibunya dirawat. Mata almondnya melebar dan mulutnya terbuka saat melihat foto yang dikirimkan.“Ini pasti ulahnya ...,” bisik Sofia. Tangannya menggenggam po
Jantung Sofia berdetak makin kencang, napasnya memburu, pelipisnya mulai basah oleh keringat dingin, dan punggungnya menegang.Dia menelan air liur yang terasa pekat ketika di depannya terlihat pantulan bayangan seseorang bertubuh tinggi.Itu pasti Galtero, dan untuk saat ini dia enggan menoleh. Entah mengapa, wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri dan yakin bahwa pria yang baru saja dinikahinya ini sedang marah.Hening tercipta cukup lama di antara mereka. Baik Sofia maupun bayangan itu tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar embusan napas dari keduanya. Hingga Sofia merasa perlu sekadar klarifikasi. Dia enggan dituduh ikut campur urusan pria itu.Sofia berbalik dan melihat Galtero sedang berdiri dengan angkuh. Pria itu menyandarkan punggung pada kusen hitam pekat yang senada dengan kemeja dan celana panjangnya. Tangan kekarnya terlipat di atas perut liatnya, dengan sorot mata tajam tertuju pada Sofia.Ah, sial! Dia justru teringat pada tubuh kekar Galtero."A-aku kebetulan lewa
Seorang pria bermantel hitam pekat bertubuh tinggi dengan sepatu boots senada keluar dari mobil.Pintu di samping Marco tiba-tiba terbuka. Di bawah cahaya terang matahari yang menyilaukan mata, pria tinggi itu menarik tubuh Marco hingga terpental keluar. Setelahnya, dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan Sofia bahkan menggendong wanita itu tanpa permisi.Sofia yang sedang ketakutan tadi, kini merasa ada sesuatu berbeda dalam dirinya.Perasaan aman dan … tentu dia mengenali aroma parfum maskulin ini ….“Tuan Arogan?” Dia mendongak menatap wajah tampan pria itu yang tidak kelihatan jelas.Pria itu tetap berjalan tanpa menjawab pertanyaannya.Sofia dibawa ke dalam mobil hitam mengilap itu, yang kini melaju dengan kecepatan sedang menuju perumahan Monte Sereno.Selama perjalanan, Sofia tidak henti menatap suami dadakannya itu. Dia menelan air liurnya sendiri mengingat kejadian beberapa saat lalu.Bukankah itu artinya, Sofia selalu diawasi? Lalu siapa sebenarnya suami tampan misteriusnya i
Tangan Sofia yang gemetaran menepis tangan pria itu dari dagunya. Tatapannya berubah tajam pada sepasang iris biru terang. Bibir merah agak penuh wanita itu terkunci rapat. Ini merupakan pilihan sulit. Menikahi orang asing atau membiarkan keluarganya, terutama sang ibu menjadi korban? Hidup macam apa seperti itu? Sofia menarik dalam napasnya, lalu meremas kuat telepon genggam seolah meremukkannya. Baik, dia sudah menemukan jawaban untuk pilihan sial ini. “Oke … aku setuju. Tapi kamu harus memberiku uang dan tidak boleh melarang aku berkarier,” tegas Sofia. Dia kira, pria arogan itu akan menentang. Siapa sangka, dia justru mengangguk dengan mudahnya. Kemudian pria itu memberikan paper bag pada Sofia. Gaun putih cantik, bahannya halus dan terlihat mahal. Bahkan lebih elegan dibanding gaun miliknya dengan sang mantan tunangan. Setelah merapikan penampilan, keduanya pergi ke Kantor Catatan Sipil. Pernikahan tak terduga itu resmi terdaftar secara sah. Mereka menandatangani sejumlah