Ririn selama kembali ke rumahnya, dirinya tak bisa untuk tidak memikirkan ucapan dari rekan kerjanya tersebut.
"Berfikirlah positif Ririn." Ia menyakinkan dirinya sendiri kalau pacarnya itu tak akan melakukan hal yang membuat ia sedih.
Ririn mengirimkan pesan singkat kepada pacarnya Miko. Ririn menginginkan bertemu berdua saja dicafe yang sering dikunjungi.
Ririn tak mau tau, kalau pacarnya tersebut harus datang. Jika tidak, dirinya akan marah besar dan tak akan bicara lagi sama pacaranya tersebut.
Hanya dengan cara ancaman saja, agar Miko mau diajak bertemu secara berdua saja. Ririn juga sedikit merasa aneh dengan sikap pacarnya.
Miko sering sekali menolak ajakan untuk keluar, padahal ia hanya mengajak untuk makan bersama saja.
Tapi pria itu selalu saja mengatakan sibuk, memang Miko bekerja menjadi sebuah manager diperusahaan ternama dinegeri ini.
Ririn tau kalau pekerjaan menjadi manager pasti sibuk, tapi Miko selalu saja mengatakan sibuk dan sibuk.
Padahal Ririn yakin pekerjaan menjadi manager tak selalu sibuk bukan, pasti ada waktu untuk bertemu pacarnya.
Mengingat kesibukan pacarnya itu saja sudah membuat dirinya merasa kesal, tapi ia menahan itu semua selama 4 tahun pacaran.
Miko mengatakan kepadanya, kalau ia bekerja keras demi pernikahan kita dan juga anak-anak kita dimasa depan.
Karena perkataan itu juga membuat Ririn menahan kekesalan tersebut selama 4 tahun, itu semua demi masa depan yang akan datang.
***
Ririn sudah berada dicafe king yang sering didatangi dirinya dan juga Miko. Ia melihat jam yang sudah menunjukan waktu pukul 7 malam.
Pacarnya tersebut belum juga datang, yang lebih parahnya lagi tak ada balasan pesan yang diberikan sama Miko.
Ririn akan menunggu pria itu, ia menginginkan Miko agar menemui dirinya. Ia tak ingin hatinya menjadi gusar disaat pulang kembali ke rumah.
Ucapan temannya tersebut, membuat ia menjadi tak tenang. Makannya ia ingin sebuah jawaban yang dikeluarkan langsung dari mulut kekasihnya tersebut.
Selagi menunggu kedatangan pacarnya itu, ia memesan Latte kepada pelayan cafe ini. Ririn duduk didekat dinding kaca cafe.
Jika ia datang ke cafe King ini, ia selalu duduk didekat dinding kaca ini. Walapun ada orang yang menepati. Ririn akan menunggu sampai orang itu pergi dan baru ia bisa tempati.
Entahlah kenapa ia melakukan hal itu, tapi ia hanya suka saja. Karena ia bisa melihat orang yang berlalu-lalang dan membuat hatinya menjadi lebih tenang.
"Minumannya." Pelayan itu menaruh secangkir Latte dimeja dann tak lupa juga Ririn mengucapkan kata terima kasih kepada pelayan itu.
Ririn meminumnya dengan perlahan karena secangkir Latte ini masih panas. Matanya kembali melihat jam.
Waktu dengan cepat sudah berlalu, Ririn masih menunggu kedatangan Miko yang tak kunjung datang juga.
Ririn kembali membuka ponselnya untuk melihat pesan yang ia kirim sudah terbaca sama Miko atau belum. Tapi pesan yang ia kirim belum juga dibaca sama kekasihnya tersebut.
30 menit sudah berlalu. Ririn yang sudah merasa jengah, ia menghubungi saja salah satu teman kerja Miko yang ia kenal. Riko akan bertanya kepada teman Miko saja.
Tak membutuhkan waktu lama, setelah ia mengirimkan pesan kepada temannya Miko. Teman dari pacarnya itu, mengatakan kalau Miko sudah pulang dan tak ada acara lembur.
Ririn menjadi lemas sekali, mendengar apa yang dikatakan sama teman dari Miko. Kekasihnya itu benar-benar tega dengan dirinya.
Ririn kembali melihat jam yang sudah menunjukan pukul 20.00 waktu Jakarta. Ia harus kembali ke rumahnya.
Karena hari esok ia harus kembali untuk bekerja, jadi ia tak boleh kelelahan. Ririn keluar dari cafe dengan raut wajah yang sedih.
Dari Cafe, Ririn berjalan kaki untuk sampai ke rumahnya. Tubuh lelah dan juga hatinya yang tak nyaman.
Membuat energinya terkuras habis, hingga membuat ia menjadi lelah seperti ini. Sambil berjalan pulang, Ririn tak henti-hentinya untuk mengecek ponselnya.
Siapa tau saja Miko membalas pesannya dan sedang berada dicafe sekarang, tapi hasilnya semua hanyalah, hayalan dirinya saja.
Miko tak kunjung membalas pesan dari dirinya dan membuat hatinya merasakan kesedihan. Ririn dengan kesal mematikan ponselnya, agar ia tak mengecek lagi ponsel untuk melihat balasan pesan dari Miko.
Ririn tak peduli jika Miko berada dicafe sekarang, kekasihnya tersebuat harus tau, bagaimana rasanya tak enak menunggu seseorang.
"Menyebalkan," gerutu Ririn sambil menendang batu yang ada dijalan.
Ririn berhenti melangkah dan ia berada didepan gerbang rumahnya yang sederhana. Sungguh saking kesalnnya ia, hingga tak menyadari kalau sudah sampai dirumahnya dengan cepat.
Ririn memasuki gerbang rumahnya sendiri, ia tersentak kaget karena mendengar suara motor pacarnya yang sangat ia kenal.
Bibirnya menjadi tersenyum manis, pasti pacarnya itu akan meminta maaf sama dirinya. Permintaan maaf tak akan mudah untuk Miko.
Karena hari ini, kekasihnya sudah melakukan hal yang membuat hatinya menjadi sedih, kesal dan juga kecewa.
Saat Ririn ingin melihat sekilas pacarnya, hal yang paling dirinya tak terduga adalah ada kakaknya Mba Vanya.
Mba Vanya turun dari motor kekasihnya, Ririn mengintip dibalik pagar rumahnya yang tinggi. Entah kenapa perasaan menjadi tak nyaman sekali.
Ririn dengan sigap langsung bersembunyi disaat Mba Vanya akan masuk. Jantungnya berdegup kencang dan ia tak tau kenapa jantungnya berdegup cepat seperti ini.
Deg.
Deg.
Ririn mendengar dan melihat jelas. Disaat Mba Vanya akan masuk ke dalam rumah, ada sebuah tangan yang memeluk Mba Vanya dari belakang.
Ririn sekan berhenti bernafas, air matanya keluar. Telapak tangan miliknya membekap mulutnya sendiri.
Mata Ririn melihat jelas kakaknya dan juga pacarnya sendiri. Mereka saling berpelukan seperti seorang kekasih saja.
Pelukan itu tak berlangsung tak lama. Ririn melihat kakaknya sendiri sudah masuk dan Miko sudah pergi dengan motor ninjanya tersebut.
Tubuhnya terduduk dibawah rerumputan, tangannya menyentuh dadanya yang merasa kesakitan yang amat mendalam.
HIKS HIKS.. HIKS HIKS.
Ririn menangis terseduh-seduh. Tentu saja ia merasakan kesakitan karena pacarnya memeluk wanita lain.
Pasti wanita di mana pun didunia ini, akan merasa sedih jika pacar yang ia cintai, memeluk wanita yang bukan dari keluarga sang pria.
Kelopak mata indahnya masih saja mengeluarkan cairan bening, pipinya besah dan juga lembab. Telapak tangannya yang meremas pakaiannya.
"Miko." Ririn menyebutkan nama kekasihnya tersebut.
Miko ada waktu bersama dengan kakaknya, bahkan mengantarkan Mba Vanya untuk pulang. Tapi kenapa jika bersama dengan dirinya.
Pria itu selalu saja mengatakan sibuk dan sibuk. Hiks.. "Kenapa Miko?" Ririn berkali-kali mengulang pertanyaan itu.
Ririn rasanya tak ingin kembali ke rumah dan ingin pergi ke tempat dimana ia bisa menangis sepuasnya.
Saat Ririn masih menangis, ia mendengar suara pintu rumahnya akan terbuka. Ririn dengan gerakan cepat menghapus air matanya mengunakan baju yang ia kenakan.
"Siapa disana? Itu kamu Ririn" kenapa duduk dibawah?" suara itu berasal dari Ayahnya.
Ririn bangkit dan tangannya yang masih mengusap matanya agar tak ketahuan sama Ayahnya, kalau ia menangis tadi.
"Iya Ayah ini Ririn." jawab Ririn.
Karena lampu dihalaman depan redup, jadi Ayahnya tak bisa melihat jelas dirinya. Ririn merasa bersyukur akan hal itu.
"Masuklah ke dalam cepat. udara malam sangat dingin."
"Iya Ayah," jawab Ririn sambil merangkul tangannya ke lengan Ayahnya dan menyandarkan kepalanya ini ke pundak sang Ayah.
"Apa ada masalah? tanya Fahri.
"Tidak," bohong Ririn.
Di pagi buta seperti ini. Dirinya sudah dipaksa untuk bangun dari tidurnya dan tiba-tiba saja Roy mengatakan kalau kakaknya sedang menunggu didalam mobil sedan berwarna putih. Roy menipunya dengan mengatakan hal tersebut, membawanya pada pukul 6 pagi hari. Bahkan matahari saja belum muncul.Bahkan Ririn ingin meminta bantuan dari Ares, tapi pria itu sama sekali tak bisa dihubungi. Padahal semalam dirinya tidur bersama dengan Ayah dari anaknnya, di kamar rumah sakit. Membuat Ririn mengucapkan sumpah serapah kepada Roy, yang seenaknya saja membawa dirinya di pagi hari ini."Tersenyumlah agar cantik," ucap Roy kepada wanita itu yang sedang duduk."Apa yang elu lakukan sama gue Roy?" Ririn menatap tajam adik dari Ares.Tapi bukannya menjawab apa yang dikatakan sama Ririn, Ares malah memerintahkan kepada staff untuk melakukan hal magic kepada Ririn, yang sedang marah-marah itu."Roy!!
Pukul 8 malam hari di rumah sakit. Ririn tetap berada disamping kakaknya yang tak juga terbangun. Hati Ririn hancur melihat alat-alat yang menempel ditubuh Vanya. Ririn juga tak henti-hentinya untuk menangis.Ririn memegang dengan lembut tangan Vanya, sambil berdoa kepada Tuhan, agar membuat Vanya cepat sadar. Tapi kakaknya tak juga sadar, padahal kata dokter kakaknya akan bangun. Tapi kenapa Vanya belum juga membuka matanya.Kriet. Pintu terbuka dan membuat Ririn menoleh, mendengar suara itu."Rin. kembalilah ke kamar kamu." Roy mendekati wanita hamil tersebut."Masih ada disini?" Ririn yang kaget karena Roy masih berada dirumah sakit, dirinya mengira kalau Roy akan kembali."Hm, priamu itu memintaku untuk menemanimu," jawab Roy yang berdiri disamping Ririn.Ririn hanya menganggukan kepalanya saja. Tatapan matanya kembali melihat ke arah Vanya. "Kapan kakak
Ares mendobrak pintu berkali-kali, tapi pintu ruang bawah itu sangat kuat dan membuat Ares susah menembusnya. Oleh karena itu Ares menembakan pintu terbuka dan membuat kunci pintu hancur. Membuatnya menjadi lebih mudah masuk ke dalam ruang bawah tersebut Bibirnya menyeringai bak seorang iblis. Tatapan matanya dan aura yang Ares keluarkan berubah seketika, saat melihat orang yang dicarinya. Ares menatapnya seakan ingin membunuh langsung Miko, yang sedang duduk dengan wajah yang babak belur. Pria itu langsung saja bangun disaat melihat kedatangan Ares, dengan tangan yang membawa senjata api tersebut. Ares mendekati pria bajingan itu dan membuatnya saling berhadapan dengan pria yang sudah membuat akal sehatnya menghilang. Tapi bukannya takut dengan kedatangan Miko.
Vanya akhirnya mendapatkan pertolongan. Ambulance membawanya pergi tubuhnya menuju rumah sakit bersama dengan Ririn yang tak ingin berpisah dengan kakaknya tersebut. Sedangkan Roy menelpon rumah sakit untuk menyediakan segalanya dan tak lupa juga memberitahu Ares melalui sekretarisnya tentang apa yang terjadi hari ini. Ares sangat sibuk sekali karena jadwal hari ini begitu padat sekali dengan berbagai macam rapat. Hingga membuat kakaknya melupakan ponselnya. Roy yang mengangkat panggilan masuk dari nomer asing di ponsel milik Ares dan yang mendengar suara-suara Ririn meminta pertolongan. Tapi setelah itu panggilannya terputus dan Roy menghubungi balik tapi ponsel tersebut tidak aktif lagi. Lantas dengan cepat Roy melacak semua jaringan itu dengan berbagai cara yang dirinya ketahui, hingga ia menemukan lokasinya. Untung saja Roy biasa menemukan lokasinya dengan cepat. Jika tidak kedua bersaudara itu akan dalam bahaya, terutama Ririn
Miko semakin mendekati Ririn yang terus saja mundur-mundur. Tapi Miko mendekati wanita yang terlihat jelas kalau sedang ketakutan. "Jika saja kamu kebih nurut, pasti tak akan terjadi hal ini." Miko menyeringai sinis dan tatapan mata Miko sangat tajam, seperti pedang yang siap menghunus siapapun.Vanya berdiri dengan susah payah, walapun harus menahan rasa sakit akibat tubuhnya yang menerima hantaman keras oleh Miko. Vanya harus bangkit karena ia melihat adiknya dalam keadaan yang berbahaya, Vanya tak akan membiarkan Miko melukai Ririn dan bayinya.Vanya menarik tangan Miko agar menjauh dari adiknya. Menahannya dengan sekuat tenang, walaupun dengan tubuh yang sakit. "Lari Ririn, keluar dari apartemen ini!!" teriak Vanya kepad adiknya."Tidak, tidak. Kita harus keluar bersama!!" ucap Ririn yang melihat kakaknya terus menahan Miko."Cepatlah, tak punya banyak waktu. Keluarlah!!" teriak Vanya.
Entah keberanian dari mana membuat Ririn melakukan hal gila ini dengan bawa-bawa pisau. Tapi jika dirinya tak melakukan hal ini, pasti Ririn akan di lecehkan lagi sama Miko. Ririn tak ingin membiarkan hal itu terjadi."Baiklah sayang. Aku tak dekat-dekat dengan dirimu."Ririn sedikit tenang karena ancaman dirinya ini sangat ampuh dan membuat Miko tak akan berniat untuk melecehkan dirinya lagi. "Dimana kakak gue?" tanya Ririn kepada Miko.Arah pandangan mata Ririn berahli melihat ke arah telunjuk tersebut. Dugaan dirinya sepertinya memang benar, kalau kakaknya tersebut disembuyikan sama Miko. "Buka pintunya," perintah Ririn. Pasti pintu itu terkunci jika tidak, pasti kakaknya akan keluar dan menemui dirinya."Baiklah, tapi pisau itu jauhkan dari tangan kamu." Miko yang masih panik dengan apa yang dilakukan sama Ririn. Miko hanya menuruti apa yang dikatakan sama Ririn, tapi setelah itu ia akan me