Renxia mendorong dada Andre. Ia menarik napas panjang, membiarkan oksigen kembali memenuhi paru-parunya setelah ciuman panjang tadi. Napasnya masih berantakan saat Andre kembali mengecupnya, melumat bibirnya kembali dengan penuh hasrat. Lelaki muda itu mengangkat tubuh Renxia dengan satu tangannya dan merebahkannya di atas ranjangnya sendiri. Tangan kanannya menyibak anak rambut yang jatuh ke pipinya. “Aku bisa mati kalau harus kehilangan kamu lagi, Ren.” Tatapan mata sayu itu terlihat sangat tulus, membuat hati Renxia gemetar. Perlahan lelaki muda itu menyelipkan tangannya ke dalam kaos crop top yang dipakai Renxia. Tangan itu menelusur kulitnya yang lembut hingga menyentuh pengait bra di punggung Renxia. Renxia menatap bibir Andre. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sesuatu di lehernya bergerak naik turun dengan sensual. Begitu dekat, bahkan terlalu dekat. Dan suara desahan itu pun terdengar saat tangan Andre meremas gumpalan kenyal di dadanya dengan lembut. Jemari tan
“A–apa?” “Mereka akan merestui kami. Bukankah mereka mengharapkan bayi di dalam perutku ini?” ulang Safira dengan sangat yakin.Renxia tertawa sampai bahunya terguncang. “Oh … malang sekali nasibmu. Bagaimana nantinya dengan bayi itu? Teman-temannya akan menghinanya karena ibunya hanyalah wanita murahan yang merampas suami orang.”“Aah … mulai kapan seorang pengganti menganggap orang yang digantikannya sebagai pelakor?” Renxia mengangkat kedua tangannya. “Aku nggak pernah bilang gitu. Ternyata kamu ngerasa juga ya, kalau kamu itu cuma pelakor.” “Kamu!” Safira mengepalkan tangannya saking kesalnya. Kursinya berderit saat tanpa sadar kakinya menjejak ke lantai. “Aah … satu hal lagi,” lanjut Renxia dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya, “aku nggak peduli itu anak kamu dengan pria manapun. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, bayi itu tak akan pernah menjadi salah satu dari keluarga Sunggana.”Safira tersenyum lebar. “Kenapa kamu begitu yakin?”Renxia berdiri, membuat kursi yan
Andre mengecup cairan bening yang meluncur turun di pipi Renxia. Ibu jarinya mengusap jejak basah yang dilaluinya dengan lembut. “Air matamu terlalu berharga jika harus terbuang buat dia.”Tapi kalimat itu sama sekali tak bisa mengobati rasa sakit di hati Renxia. Rasa kecewa itu telah menyayat hatinya begitu dalam.“Dia … bohong, Ndre. Dia nggak keluar kota, dia ketemu sama perempuan yang kemaren. Dia –” Tangan Andre menyentuh kepala Ren, menariknya lebih dekat, menenggelamkan isakan perempuan muda itu di dadanya.Hatinya terasa hancur mendengar setiap isakannya, setiap guncangan yang terasa di tubuhnya yang gemetar, seperti menyampaikan setiap kegetiran yang dirasakannya.…..Malam sudah semakin larut saat mereka sampai di rumah. Andre melepaskan helm dari kepala Renxia. Ia menatap wajah perempuan di hadapannya dengan lembut. Matanya terlihat sembab, seolah kejadian ini adalah mimpi terburuk. Renxia menundukkan kepalanya. Ia melangkah tanpa semangat masuk ke dalam rumah. Mulutnya
Tubuh Ren gemetar. Kedut-kedut di bawah tubuhnya terasa begitu nyata, senyata kilatan cairan di jemari Andre. Ia tak bisa menyangkal perkataan Andre. Tubuhnya menginginkan lebih dari sekedar sentuhan tadi. Jiwa mudanya meronta karena rasa haus yang diberikan oleh suaminya sendiri. Sementara Andre seolah sebuah oase indah yang menawarkan segalanya. Bibir Ren terlalu kering, tenggorokannya seolah tercekat, tak mampu mengatakan apapun. Yang terdengar hanya napasnya yang masih memburu.Tapi Andre justru tersenyum. Ia mengecup singkat bibir yang masih setengah terbuka di depannya, sebelum melepaskan tubuh Renxia. “Tapi sayangnya … kali ini aku harus menghukummu karena tuduhan itu dan karena kamu lagi-lagi nggak mau mengakui perasaanmu sendiri, Renxia.” Andre menegakkan tubuhnya lalu berdiri. Ia menatap Renxia dengan senyum kemenangan, saat melihat dada itu masih saja naik turun hanya demi mengatur debaran jantung dan rasa kedut yang masih menyiksanya. “Aku yakin, kamu nggak bodoh. Kamu
Andre menghela napas panjang. Mimik wajahnya berubah seketika, seperti raut kecewa atau bahkan tersinggung karena pertanyaan yang juga sebuah tuduhan yang baru saja Renxia ucapkan. Lelaki itu mengangkat dagu Renxia, membuat sepasang matanya sejajar dengan matanya sendiri. “Ren, aku nggak perlu menyelipkan perempuan lain manapun buat ngedapatin hati kamu. Tapi …” Andre menghela napas dengan kesal, “... setelah kamu lihat sendiri semuanya dengan mata kepalamu sendiri. Aku makin nggak ngerti, kenapa kamu masih juga membela dia? Aku nggak ngerti … kamu ini emang dungu, atau justru terlalu cinta sama si Johan keparat itu.”Ren diam tak bersuara. Matanya masih tak lepas dari wajah kecewa lelaki di hadapannya. Jantungnya berdebar makin kencang setiap ucapan sanggahan itu terucap, penuh rasa bersalah. Andre benar, kenapa ia selama ini seperti dibutakan? Bahkan masih percaya bahwa semua hanyalah rekayasa. Kenapa ia justru menimpakan kesalahan itu ke Andre? Tapi … bukankah sebuah pernikahan h
Ren terdiam. Matanya tak beranjak dari tatapan mata Andre, seolah ingin menggali apakah kata-kata itu tulus atau sekadar permainan. Tatapan Andre sama sekali tidak beralih, begitu serius, begitu dekat, hingga membuat napas Ren tercekat dan dadanya sesak.“Ren …” suara Andre terdengar rendah, berat, dan hangat sekaligus. “Aku nggak cuma mikirin kamu. Aku rasa, aku sudah jatuh cinta sama kamu.”Kata itu keluar begitu saja, membuat ruang kamar itu mendadak sunyi, seolah waktu ikut berhenti.Ren bergeming. Tangannya masih menggenggam sandaran kursi. Jemarinya mencengkram semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Sejak … sejak kapan?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya penuh tanya sekaligus ketakutan.Andre sama sekali tak memperlihatkan keraguan, seolah pengakuan ini sudah lama direncanakan. Rahangnya mengeras, tapi sorot matanya lembut. “Sejak masa orientasi. Waktu kamu pertama kali masuk SMA yang sama denganku.”Ren mengerjapkan matanya, kepalanya sedikit menggeleng seperti t