Rumah itu terlalu senyap untuk ukuran sebuah pernikahan muda. Jam hampir menunjukkan tengah malam dan suara detiknya terasa seperti cambuk di telinga Renxia. Ia duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kimono satin tipis yang menempel erat di kulit lembutnya, menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.
Sudah tiga hari berturut-turut Johan pulang larut. Hari ini, bahkan belum ada kabar. Tapi bukan itu yang paling mengganggu Renxia malam ini. Tapi Andre, adik iparnya itu kini terlalu sering muncul tanpa aba-aba. Muncul di dapur hanya dengan celana olahraga tipis dan tubuh setengah basah sehabis berenang, handuk melilit pinggangnya seadanya. Ia menyapa Renxia dengan suara parau dan senyum menyudut yang tak pernah sepenuhnya polos. Kadang hanya berdiri, bersandar pada dinding dengan tatapan yang terlalu berani menelusuri garis leher dan belahan dada Renxia, tanpa bicara, tanpa berkedip, terlalu diam, tapi menelan semua dengan matanya. Renxia mencoba tak menggubris, menepis getaran aneh di tubuhnya. Tapi ia manusia. Dan di usia pernikahan yang baru seumur jagung, perhatian Johan yang semakin mengering, dan kehadiran Andre yang makin ... mengganggu, membuat semuanya seperti api kecil di bawah kulit. Malam itu, Renxia turun ke dapur untuk mengambil segelas air. Ia membuka lemari es, saat suara itu terdengar dan membuatnya terkejut. "Nggak bisa tidur juga?" Suara itu muncul dari belakang, rendah, dan terdengar terlalu dekat. Renxia berbalik dan di sana Andre berdiri. Lelaki muda itu hanya mengenakan handuk. Air mengalir menetes dari rambutnya ke dada bidang yang berkilat dalam cahaya lampu kulkas. Handuk di pinggangnya tergantung rendah, bahkan terlalu rendah. Renxia ingin berbalik, ingin pergi, tapi kakinya seperti terpaku. Bukan karena takut, tapi karena rasa panas yang tiba-tiba mengalir dalam darahnya. Matanya bergerak cepat ke lantai, namun terlambat. Tubuhnya sudah mengingat lekuk itu. Otot perut indah dan juga aura itu. Andre berjalan mendekat. Pelan, tanpa tergesa. Seperti tahu kalau dirinya sedang diamati. Tatapannya menusuk, tajam dan begitu dalam. Seolah sedang membaca tiap denyut di kulit Renxia. Tiba-tiba jarinya menyentuh permukaan meja. Tapi cara Andre meluncurkan jari telunjuknya di permukaan marmer begitu lembut dan perlahan, seperti menyentuh punggung seseorang. Seperti sengaja menggoda Renxia. "Aku baru selesai berenang. Tapi airnya dingin banget,” jelasnya. “Kamu nggak takut sendirian di rumah sebesar ini?" Renxia memaksakan senyum. "Aku sudah terbiasa." "Johan pulang larut lagi?" Suaranya netral. Tapi nada rendahnya menggoda, seperti pertanyaan itu adalah bagian dari permainan yang sudah dirancang sejak awal. Renxia menjawab lirih, "Dia sibuk." Andre tertawa pelan sambil mengangguk angguk. "Ah. Sibuk." Ia melangkah mendekat, membuat Renxia melangkah mundur, tubuhnya menyentuh tepi kulkas. Renxia bahkan bisa mencium aroma sabun dari tubuh Andre. “Kalau kamu butuh teman ngobrol ... atau teman makan malam ... atau pelukan kecil, aku selalu ada.” Ucapan itu ringan, tapi nadanya berat. Renxia menelan ludah. Nafasnya sedikit lebih cepat, dadanya naik turun dalam ritme yang tak biasa. Ia menunduk, mencoba menahan debar yang tak sepantasnya tumbuh. “Jangan bercanda begitu, Andre.” “Aku nggak bercanda,” bisiknya, menunduk sedikit. “Tapi kalau kamu nyaman menganggapnya candaan ... itu pilihanmu.” Ia pergi begitu saja, meninggalkan Renxia dengan tangan gemetar dan segelas air yang tak lagi dingin. Tapi bukan karena takut. Tapi karena tubuhnya baru saja berdialog dengan sesuatu yang tak sanggup ia pikirkan. --- Cahaya matahari menerobos dari sela tirai, menari di permukaan meja makan. Johan duduk sambil membuka laptop, wajahnya tanpa ekspresi. “Semalam kamu lembur lagi?” tanya Renxia, lirih. Johan mengangguk, mengunyah roti tanpa menoleh. “Aku kerja juga buat kita, kan?” jawabnya enteng. “Jangan terlalu khawatir. Aku baik-baik aja.” Renxia hanya mengangguk, lalu menunduk lagi pada piringnya. Hatinya cemas, tapi ia tahu Johan tak akan menghiraukan nasehat apapun darinya. Langkah kaki terdengar mendekat. Andre muncul dari lorong kamar dengan tubuh basah oleh keringat. Ia hanya mengenakan celana boxer gelap yang sedikit melorot dari pinggang. Kaos bahkan tak dikenakannya lagi. Butiran peluh mengalir dari leher ke dada, turun ke garis-garis tajam otot perutnya. Nafasnya masih berat. “Pagi, Kak,” sapa Andre ringan, menyeka leher dengan handuk kecil. “Pagi,” jawab Johan. Renxia tak menjawab. Hanya menunduk, tapi tahu betul sorot mata Andre jatuh ke arahnya. Tajam dan … nakal. Andre memutar tubuh, berpura-pura meregangkan otot. Tangannya meremas belakang leher, memperlihatkan punggung lebarnya yang berkilat peluh. “Tadi lari sepuluh kilo,” katanya pada Johan. “Lari pagi emang bikin badan enteng.” Renxia bisa melihat jelas punggung basah itu, dan boxer yang sedikit turun saat Andre menyeka paha dengan handuk. Darahnya menyerbu ke wajah. Panas! Andre menoleh dan menyapa Renxia, nadanya pelan. “Pagi, Kak Ren.” Tatapan itu menusuk, liar dan menggoda. Seakan berkata, “Sentuh aku. Rasakan panas ini. Aku tahu kamu penasaran.” Renxia buru-buru bangkit, mengambil air putih dari dispenser. Gelas di tangannya sedikit bergetar. Johan sibuk menatap layar laptop dan tak memperhatikan apa pun. “Boleh pinjam handuk yang besar, Kak Ren? Yang di rak paling atas itu. Aku nggak bisa jangkau,” kata Andre yang tiba-tiba berdiri di dekatnya, bahkan terlalu dekat. Nafas hangatnya terasa menyapu telinga Renxia. Renxia menelan ludah. “Raknya ... di kamar mandi, kan?” Andre mengangguk pelan. “Tapi Kak Johan lagi fokus. Nggak enak ganggu. Kak Ren aja yang bantuin.” Ia tersenyum sekilas. Senyum itu tak polos. Ada bara dalam tatapan mata gelapnya. Tubuh tinggi dan keringat di kulitnya membuat Renxia panik sendiri. “Sebentar lagi aku ambilkan,” jawab Renxia cepat. Andre berbisik pelan, suaranya nyaris seperti hembusan panas di telinganya. “Thanks ... Kak Ren memang paling baik.” "Andre ..." panggilnya pelan, nyaris berbisik. "Jangan begini terus." Andre menoleh, menyandarkan pinggul ke konter dapur, lalu memiringkan kepala. "Begini bagaimana, Kak?” "Jangan menggodaku." "Aku?" Andre terkekeh pelan. "Aku cuma jalan-jalan dengan tubuh yang kebetulan ... dilahirkan begini." Tapi kali ini, ia menunduk lebih rendah, membisik nyaris ke telinga Renxia. "Kalau Kakak takut tergoda ... mungkin karena memang ada yang ingin Kakak sentuh, kan?" Napas Renxia tercekat. Ia bangkit berdiri mendadak, membawa gelasnya ke dapur sambil menghindari tatapan Andre. Tapi pria itu hanya tertawa, lirih, rendah, dan sangat laki-laki. Johan mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya dan menatap keduanya dengan tajam, seakan mengetahui sesuatu.Renxia semakin panik saat jemari itu merambat naik, licin dan penuh keberanian, menyusuri pangkal pahanya yang mulus. Sentuhan itu lalu menyelinap ke balik kain segitiga berbahan renda yang ia kenakan dengan rapi. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tersengal. Ia menundukkan kepala, kedua kelopak mata terpejam rapat, seolah berusaha menolak kenyataan yang justru menggetarkan darahnya.Jari nakal itu mengusap bagian paling intim, membuatnya bergidik. Sebuah sensasi terlarang yang memaksa gairah lama yang selama ini terkubur di balik rutinitas rumah tangga itu bangkit kembali. Jantungnya berdegup keras, saking kerasnya hingga ia takut Johan bisa mendengarnya. Tangannya meremas pinggiran meja lebih kuat, menahan tubuh yang mulai terasa lemas dan nyaris bergetar tak terkendali.Dalam kepanikan, ia sempat melirik Johan. Lelaki itu baru saja mengangkat cangkir latte, matanya fokus menatap layar ponselnya. Tapi sejenak kemudian, ia melangkah mendekati istrinya, hendak menyingkap tirai kecil
“Bukan gitu maksudku. Aku nggak mau kalian berdua bertengkar. Aku cuma .... Kenapa nggak kamu minta dia tinggal di apartemen kita yang satu lagi? Yang kosong itu.” “Dan biarkan dia sendirian? Nggak mungkin,” Johan menggeleng keras. “Dia belum stabil. Aku nggak bisa tinggal jauh darinya. Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Renxia menunduk, kecewa. “Lalu aku harus bagaimana? Harus pura-pura nggak apa-apa terus tiap hari?” Johan tak menjawab. Ia berjalan ke sisi tempat tidur, duduk kembali dengan letih. “Aku capek, Renxia. Besok aku harus bangun pagi untuk persiapan meeting proyek kantor kita. Aku nggak sanggup ngelayani kamu debat sekarang.” Ia lalu berbaring, menarik selimut, dan membelakangi istrinya. Renxia mematung. Ia masih ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya menatap punggung suaminya yang dingin, keras, tak tersentuh. Seakan jarak mereka bukan cuma karena posisi tidur ... tapi dunia yang sama sekali berbeda, dunia yang sama sekali tak b
Pagi itu, cahaya matahari belum benar-benar menerobos masuk ke dalam ruang makan. Udara di dalam rumah masih dingin, tenang, dan nyaris membeku seperti ketegangan yang menggantung di antara dinding-dindingnya.Renxia duduk diam di meja panjang, menyendok bubur hangat yang tak benar-benar terasa. Kimono sutra tipis berwarna pucat masih membalut tubuhnya dengan lembut, namun kini terasa terlalu terbuka, terlalu ringan. Setiap gesekan bahan di kulitnya mengingatkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Renxia tahu dari suara langkahnya yang berat tapi santai. Ia bahkan belum mendongak, tapi aroma maskulin yang tajam dan bersahaja telah lebih dulu menyentuh hidungnya. Parfum kayu yang hangat, dengan jejak samar jeruk dan rempah. Aroma yang sama yang melekat di mimpinya. Atau ... mungkin justru sesuatu yang nyata.Ia mendongak pelan, saat matanya benar-benar melihat sosok adik iparnya itu. Pria itu baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya mas
Johan menatap laptopnya beberapa detik, lalu tiba-tiba matanya membesar. Ia bangkit dari kursinya, suara kursi terseret membelah keheningan pagi.“Yes! Ini dia!” serunya, penuh semangat. “Gila, ini bisa jadi konsep branding baru buat proyek satelit kita!”Renxia yang masih menahan napas di dekat dapur, menoleh dengan bingung. Andre hanya terkekeh ringan, bersandar santai di sisi meja, matanya masih tak lepas dari Renxia.Johan tak peduli. Ia berjalan mondar-mandir, mengetik sesuatu di ponsel, lalu berhenti tiba-tiba, menepuk pelipisnya sendiri.“Kenapa aku baru kepikiran sekarang?” gumamnya sambil tergesa mengambil jaket yang tergantung di kursi bar. “Aku harus ke kantor. Harus bikin pitch deck-nya sekarang juga!”Ia melewati Renxia dengan cepat, sempat mengecup sekilas kening istrinya, dingin dan tergesa, seperti sebuah kebiasaan tanpa rasa. Lalu membuka pintu, dan menghilang begitu saja.—Siang itu, matahari bersinar terik, memantulkan cahaya ke aspal kampus yang mulai lengang. Lan
Rumah itu terlalu senyap untuk ukuran sebuah pernikahan muda. Jam hampir menunjukkan tengah malam dan suara detiknya terasa seperti cambuk di telinga Renxia. Ia duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kimono satin tipis yang menempel erat di kulit lembutnya, menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.Sudah tiga hari berturut-turut Johan pulang larut. Hari ini, bahkan belum ada kabar. Tapi bukan itu yang paling mengganggu Renxia malam ini.Tapi Andre, adik iparnya itu kini terlalu sering muncul tanpa aba-aba. Muncul di dapur hanya dengan celana olahraga tipis dan tubuh setengah basah sehabis berenang, handuk melilit pinggangnya seadanya. Ia menyapa Renxia dengan suara parau dan senyum menyudut yang tak pernah sepenuhnya polos. Kadang hanya berdiri, bersandar pada dinding dengan tatapan yang terlalu berani menelusuri garis leher dan belahan dada Renxia, tanpa bicara, tanpa berkedip, terlalu diam, tapi menelan semua dengan matanya.Renxia mencoba tak menggubris, menepis getaran aneh
Air hangat masih menetes dari rambut Renxia saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Handuk putih membalut tubuhnya, menempel erat di kulit lembap yang masih beruap. Dingin AC kamar menggerayangi pundaknya, membuat bulu-bulu halus di lengannya meremang.Renxia menghela napas. Kamar itu terasa terlalu sunyi. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Sejak pagi, Johan tak terlihat batang hidungnya. Pria yang dinikahinya enam bulan lalu karena perjodohan keluarga. Tampan, mapan, dan dihormati, tapi jarang pulang, jarang bicara, dan terasa asing baginya. Lelaki itu memperlakukan Renxia seolah benda manis yang diletakkan di etalase pernikahan untuk sekedar dipamerkan.Ia membuka lemari, hendak mengambil piyama. Tapi langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak biasa.Matanya menyipit. Hatinya menegang saat merasakan aroma asing di udara. Seperti parfum pria yang maskulin, segar, tapi bukan milik suaminya. Suara napas itu terdengar lirih dan dalam.Renxia menoleh cepat ke arah kasur. Tak ada siap