Share

SNAI2

last update Last Updated: 2025-08-04 20:32:31

Rumah itu terlalu senyap untuk ukuran sebuah pernikahan muda. Jam hampir menunjukkan tengah malam dan suara detiknya terasa seperti cambuk di telinga Renxia. Ia duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kimono satin tipis yang menempel erat di kulit lembutnya, menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.

Sudah tiga hari berturut-turut Johan pulang larut. Hari ini, bahkan belum ada kabar. Tapi bukan itu yang paling mengganggu Renxia malam ini.

Tapi Andre, adik iparnya itu kini terlalu sering muncul tanpa aba-aba. Muncul di dapur hanya dengan celana olahraga tipis dan tubuh setengah basah sehabis berenang, handuk melilit pinggangnya seadanya. Ia menyapa Renxia dengan suara parau dan senyum menyudut yang tak pernah sepenuhnya polos. Kadang hanya berdiri, bersandar pada dinding dengan tatapan yang terlalu berani menelusuri garis leher dan belahan dada Renxia, tanpa bicara, tanpa berkedip, terlalu diam, tapi menelan semua dengan matanya.

Renxia mencoba tak menggubris, menepis getaran aneh di tubuhnya. Tapi ia tetap perempuan normal. Dan di usia pernikahan yang baru seumur jagung, perhatian Johan yang semakin mengering, dan kehadiran Andre yang makin ... mengganggu, membuat semuanya seperti api kecil di bawah kulit.

Renxia turun ke dapur untuk mengambil segelas air. Ia membuka lemari es, saat suara maskulin itu terdengar dan membuatnya terkejut.

"Nggak bisa tidur juga?"

Suara itu muncul dari belakang, rendah, dan terdengar terlalu dekat.

Renxia berbalik dan di sana Andre berdiri. Lelaki muda itu hanya mengenakan handuk.

Air mengalir menetes dari rambutnya ke dada bidang yang berkilat dalam cahaya lampu kulkas. Handuk di pinggangnya tergantung rendah, bahkan terlalu rendah. Renxia ingin berbalik, ingin pergi, tapi kakinya seperti terpaku. Bukan karena takut, tapi karena rasa panas yang tiba-tiba mengalir dalam darahnya. Matanya bergerak cepat ke lantai, namun terlambat. Tubuhnya sudah mengingat lekuk itu. Otot perut indah dan juga aura itu.

Andre berjalan mendekat. Pelan, tanpa tergesa. Seperti tahu kalau dirinya sedang diamati.

Tatapannya menusuk, tajam dan begitu dalam. Seolah sedang membaca tiap denyut di kulit Renxia. Tiba-tiba jarinya menyentuh permukaan meja. Tapi cara Andre meluncurkan jari telunjuknya di permukaan marmer begitu lembut dan perlahan, seperti menyentuh punggung seseorang. Seperti sengaja menggoda Renxia.

"Aku baru selesai berenang. Tapi airnya dingin banget,” jelasnya.

"Oh --" sahut Renxia lirih, nyaris tak terdengar.

“Kamu nggak takut sendirian di rumah sebesar ini?"

Renxia memaksakan senyum. "Aku sudah terbiasa."

"Johan pulang larut lagi?" Suaranya netral. Tapi nada rendahnya menggoda, seperti pertanyaan itu adalah bagian dari permainan yang sudah dirancang sejak awal.

Renxia menjawab lirih, "Dia sibuk."

Andre tertawa pelan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ah. Sibuk."

Ia melangkah mendekat, membuat Renxia melangkah mundur, tubuhnya menyentuh tepi kulkas. Renxia bahkan bisa mencium aroma sabun dari tubuh Andre.

“Kalau kamu butuh teman ngobrol ... atau teman makan malam ... atau sekedar pelukan kecil, aku selalu ada.”

Ucapan itu ringan, tapi nadanya berat. Renxia menelan ludah. Nafasnya sedikit lebih cepat, dadanya naik turun dalam ritme yang tak biasa. Ia menunduk, mencoba menahan debar yang tak sepantasnya tumbuh.

“Jangan bercanda begitu, Andre.”

“Aku nggak bercanda,” bisiknya, menunduk sedikit. “Tapi kalau kamu nyaman menganggapnya candaan ... itu pilihanmu.”

Ia pergi begitu saja, meninggalkan Renxia dengan tangan gemetar dan segelas air yang tak lagi dingin. Tapi bukan karena takut. Tapi karena tubuhnya baru saja berdialog dengan sesuatu yang tak sanggup ia pikirkan.

---

Cahaya matahari menerobos dari sela tirai, menari di permukaan meja makan. Johan duduk sambil membuka laptop, wajahnya tanpa ekspresi.

“Semalam kamu lembur lagi?” tanya Renxia, lirih.

Johan mengangguk, mengunyah roti tanpa menoleh. “Aku kerja juga buat kita, kan?” jawabnya enteng. “Jangan terlalu khawatir. Aku baik-baik aja.”

Renxia hanya mengangguk, lalu menunduk lagi pada piringnya. Hatinya cemas, tapi ia tahu Johan tak akan menghiraukan nasehat apapun darinya.

Langkah kaki terdengar mendekat. Andre muncul dari lorong kamar dengan tubuh basah oleh keringat. Ia hanya mengenakan celana boxer gelap yang sedikit melorot dari pinggang. Tangannya dengan gesit melepas kaos yang setengah basah dari tubuhnya. Butiran peluh mengalir dari leher ke dada, turun ke garis-garis tajam otot perutnya. Nafasnya masih berat.

“Pagi, Kak,” sapa Andre ringan, menyeka leher dengan kaos yang masih dipegangnya.

“Pagi,” jawab Johan.

Renxia tak menjawab. Hanya menunduk, tapi tahu betul sorot mata Andre jatuh ke arahnya. Tajam dan … lagi-lagi nakal.

Andre memutar tubuhnya, berpura-pura meregangkan otot. Tangannya meremas belakang leher, memperlihatkan punggung lebarnya yang berkilat peluh. “Tadi lari sepuluh kilo, pulang pergi,” katanya pada Johan. “Lari pagi emang bikin badan enteng.”

Renxia bisa melihat jelas punggung basah itu, dan boxer yang sedikit turun saat Andre menyeka pahanya. Darahnya menyerbu ke wajah. Panas!

Andre menoleh dan menyapa Renxia, nadanya pelan. “Pagi, Kakak ipar.”

Tatapan itu menusuk, liar dan menggoda, seakan berkata, “Sentuh aku. Rasakan panas ini. Aku tahu kamu penasaran.”

Renxia buru-buru bangkit, mengambil air putih dari dispenser. Gelas di tangannya sedikit bergetar. Johan sibuk menatap layar laptop dan tak memperhatikan apa pun.

“Aku mau mandi. Boleh pinjam handuk yang besar, Kak Ren? Yang di rak paling atas itu. Aku nggak bisa jangkau,” kata Andre yang tiba-tiba berdiri di dekatnya, bahkan terlalu dekat. Nafas hangatnya terasa menyapu telinga Renxia.

Renxia menelan ludah. “Raknya ... di kamar mandi, kan?”

Andre mengangguk pelan. “Tapi Kak Johan lagi fokus. Nggak enak ganggu. Kak Ren aja yang bantuin.”

Ia tersenyum sekilas. Senyum itu tak polos. Ada bara dalam tatapan mata gelapnya. Tubuh tinggi dan keringat di kulitnya membuat Renxia panik sendiri.

“Sebentar lagi aku ambilkan,” jawab Renxia cepat.

Andre berbisik pelan, suaranya nyaris seperti hembusan panas di telinganya. “Thanks ... Kak Ren memang paling baik.”

"Andre ..." panggilnya pelan, nyaris berbisik. "Jangan begini terus."

Andre menoleh, menyandarkan pinggul ke konter dapur, lalu memiringkan kepala. "Begini bagaimana, Kak?”

"Kamu ... sengaja godain aku, kan."

"Aku?" Andre terkekeh pelan. "Aku cuma jalan-jalan dengan tubuh yang kebetulan ... dilahirkan begini."

Tapi kali ini, ia menunduk lebih rendah, membisik nyaris ke telinga Renxia.

"Kalau Kakak takut tergoda ... mungkin karena memang ada yang ingin Kakak sentuh, kan?"

Napas Renxia tercekat. Ia bangkit berdiri mendadak, membawa gelasnya ke dapur sambil menghindari tatapan Andre. Tapi pria itu hanya tertawa, lirih, rendah, dan sangat laki-laki.

Johan mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya dan menatap kedua makhluk di depannya dengan tajam, seakan mengetahui sesuatu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN92

    “Kamu kenapa Ren?” tanya Andre begitu Renxia melangkah masuk ke lobi apartemen. Andre bisa merasakan kegelisahan, panik dan bagaimana gemetarnya tubuh istrinya. Ia langsung mengedarkan pandangannya, mencari tau sesuatu yang mungkin mengganggu Renxia. Namun semua terlihat biasa saja. Terlalu tenang seperti biasanya. Tanpa ragu ia memeluk tubuh Renxia. “Jangan takut. Kamu aman, ada aku di sini,” lirih Andre sembari mengecup kening istrinya dengan lembut. Renxia menoleh ke belakang. Ia menatap sosok lelaki di kejauhan sana. Sosok mantan suami yang pernah membuatnya kecewa. … Malam itu adalah malam pertama pernikahan mereka. Walaupun bukan yang pertama baginya, namun jantungnya tetap saja berdebar dengan kencang. Seperti yang dirasakannya saat ini, ia berbaring dengan gelisah. Tangannya menggenggam tepian selimut yang menutupi tubuhnya. Namun sesaat kemudian ia kembali menyibaknya kembali. Tatapan matanya tertuju pada

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN91

    “Lalu… kamu setuju?” Livi mendengarkan cerita Renxia dengan seksama. “Dia… nggak bisa ditolak.”“Nggak bisa ditolak? Dia… maksa kamu?”Renxia meletakkan surat nikahnya di atas meja. “Dia … gendong aku keluar apartemen, lalu bawa aku ke kantor catatan sipil.”Livi meletakkan kedua lengannya bertumpu di atas meja untuk menyangga dagunya. “Aah … romantisnya. Dia bahkan nggak peduli orang mau gosipin apapun tentang kalian.” Renxia mengangkat tangan kanannya dan menjentikkan jarinya ke kening sahabatnya itu. “Ini gara-gara kamu. Memangnya dibayar berapa kamu, sama dia, sampai tega mengkhianati teman kamu sendiri.”Livi langsung mengelak, namun jari Renxia lebih gesit. Jemari itu mendarat di keningnya dengan sentilan keras yang mau tak mau membuatnya meringis merasakan ngilu di satu titik di kepalanya. Livi mengusap keningnya dengan bibir mengerucut saking kesalnya. “Dih … kamu kira aku semacam orang yang mau jual sahabat

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN90

    “Sebaiknya kamu kasih tau teman kamu buat jauhin dia,” sahut Renxia. Andre masih menatapnya seolah dengan tatapan itu ia dapat membaca semua hal yang tersembunyi dalam pikiran Renxia. “Kamu yakin itu teman kamu?” tanya Renxia, seperti memperjelas bahwa pemikirannya tidak keliru. Andre meneguk isi gelasnya hingga tandas sebelum ia melangkah mendekat, membuat si pemilik tubuh ramping itu terkunci di antara tubuhnya dengan meja dapur. Lelaki muda itu mendekatkan bibirnya ke telinga Renxia. Gerakan yang membuat tubuh Renxia memegang. Ia dapat merasakan hembusan napas yang membelai lehernya. Jantungnya berdegup lebih kencang, saat kegelisahan menyelimuti tubuhnya. Ia bahkan menahan napas, karena takut debaran itu akan terdengar oleh lelaki muda yang jelas sengaja menggodanya.“Bagaimana kalau … teman aku nggak mau menjauh dari perempuan itu?” bisik Andre. Suara maskulin yang begitu dekat itu membuat Renxia mau tak mau menelan lud

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN89

    Renxia membeku saat melihat sosok yang sangat dikenalnya itu berdiri di depan pintu. Ia sama sekali tak menyangka kalau Livi akan mengkhianatinya. Andre melangkah perlahan, ia mendekat dengan hati-hati seakan satu saja gerakan yang salah, akan membuat perempuan di hadapannya lari. Renxia tertawa pelan. Entah kenapa ia merasa situasi yang dihadapinya sangat lucu. “Harusnya aku tau … apartemen mewah, dengan harga murah,” gumamnya seolah menertawakan kebodohannya. “Maaf, aku terpaksa —”Renxia menghela napas ia tahu tak ada gunanya berdebat dengan lelaki muda itu. Andre bisa melakukan apapun keinginannya, apalagi dengan posisinya saat ini. “Livi sialan,” kesalnya. “Jangan salahkan Livi, aku yang memintanya buat bujuk kamu,” cetus Andre cepat, “karena … aku takut Johan ganggu kamu lagi. Aku —”“Kamu nggak takut citra kamu hancur gara-gara ini? Kamu nggak takut saham Sunggana Corporation bakal anjlok gara-gara

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN88

    “Apa maumu?” tegas Livia, “biarkan dia pergi. Jangan ganggu Renxia lagi. Dia sengaja pergi dari rumah itu, buat jauhi kamu.”Lelaki itu menjatuhkan rokok yang tersisa separuh ke lantai. Sepatu hitam berkilatnya menjejak hingga bara itu lenyap, menyisakan arang.“Liv, aku nggak pernah ada niatan buat ganggu dia sama sekali. Justru aku mau jaga dia. Aku nggak mau dia terluka,” sahutnya dengan nada frustasi, “aku cuma takut Johan nyakitin dia lagi.”“Johan? Bukannya mereka sudah nggak ada hubungan lagi? Bukannya Renxia udah ngalah, ninggalin Johan buat perempuan itu?”“Johan … bahkan hampir nyelakain dia.” Andre mendecak kesal saat teringat kembali peristiwa itu.Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide. Wajah lesunya seketika berubah.“Aku punya ide. Apa kamu mau b

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN87

    Pintu kamar terhempas ke tembok, menimbulkan suara gaduh. Namun para jurnalis seolah tak peduli. Mereka langsung menyeruak masuk ke dalam kamar. Suara teriakan terdengar saat lampu blitz menghujani sepasang sejoli yang ada di dalamnya. “Hei! Apa-apaan ini?” Teriak lelaki bertujuh gempal yang ada di dalam ruangan itu. Tangan kekarnya meraih kamera dan segera membantingnya ke lantai. “Pak! Anda sudah merusak properti kami!” Protes sang jurnalis. Ia meraih kameranya yang pecah mencari beberapa bagian. “Oh! Silahkan tuntut! Aku juga bakal tuntut kalian,” ucap lelaki itu sembari menarik salah satu name tag di leher mereka, “karena mengganggu ketenangan di tempat umum, masuk tanpa ijin, juga… pelecehan!”“Tapi Pak Andre, Anda dikabarkan membawa mantan istri kakak Anda ke …”Lelaki itu mengerutkan keningnya. “Andre? Andre siapa? Aku bawa istri siapa? Dia itu istriku. Apa salahnya kami staycation di sini?”Tanpa ragu, lelaki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status