Share

Sentuhan Nakal Adik Iparku
Sentuhan Nakal Adik Iparku
Penulis: Chocoberry pie

SNAI 1

Penulis: Chocoberry pie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-02 22:36:00

Air hangat masih menetes dari rambut Renxia saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Handuk putih membalut tubuhnya, menempel erat di kulit lembap yang masih beruap. Dingin AC kamar menggerayangi pundaknya, membuat bulu-bulu halus di lengannya meremang.

Renxia menghela napas. Kamar itu terasa terlalu sunyi. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Sejak pagi, Johan tak terlihat batang hidungnya. Pria yang dinikahinya enam bulan lalu karena perjodohan keluarga. Tampan, mapan, dan dihormati, tapi jarang pulang, jarang bicara, dan terasa asing baginya. Lelaki itu memperlakukan Renxia seolah benda manis yang diletakkan di etalase pernikahan untuk sekedar dipamerkan.

Ia membuka lemari, hendak mengambil piyama. Tapi langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak biasa.

Matanya menyipit. Hatinya menegang saat merasakan aroma asing di udara. Seperti parfum pria yang maskulin, segar, tapi bukan milik suaminya.

Suara napas itu terdengar lirih dan dalam.

Renxia menoleh cepat ke arah kasur. Tak ada siapa pun.

“Johan?” panggilnya pelan, sedikit ragu.

Tak ada jawaban.

Dadanya berdebar saat ia melangkah ke sisi lain kamar.

“Johan? Kalau kamu pulang, kenapa nggak bilang? Aku—”

Tiba-tiba, dari sudut ruangan ia merasakan sebuah pergerakan.

Renxia menoleh cepat. Dan jantungnya nyaris meloncat keluar dari dadanya. Saat matanya menemukan seorang lelaki muda berdiri bersandar di dinding, menatapnya dengan pandangan tajam dan ... nakal.

Tubuhnya tinggi dan kekar, wajahnya setengah gelap karena bayangan, tapi mata itu, mata hitam gelap yang menyala seperti bara, jelas mengarah langsung ke tubuh Renxia yang hanya terbalut handuk.

Renxia mundur satu langkah, tangan menutupi dada.

“Kamu siapa? Kenapa masuk kamarku tanpa izin?” serunya panik, tapi suaranya bergetar, antara takut dan marah.

Lelaki itu hanya menghela napas, seolah kepergok mengintip bukanlah masalah besar. Ia melangkah santai melewati Renxia, tangannya dimasukkan ke saku celana jeans robeknya yang menggantung longgar di pinggul.

“Johan belum pulang,” suaranya dalam, santai, tapi ada sesuatu yang mengganggu di balik nada bicara itu, seperti pelancong yang masuk ke zona terlarang tapi tak takut dihukum. “Sepertinya dia nggak akan pulang malam ini.”

Renxia membelalak. “Apa maksudmu?”

Tapi lelaki itu tidak menjawab. Ia justru melangkah lebih dekat padanya.

Renxia merasa marah dan terhina. Dipandang seperti itu, dimasuki kamarnya tanpa izin, dan dianggap enteng.

“Hei!” serunya, melangkah cepat dan mendorong tubuh lelaki itu ke luar kamar. “Keluar! Aku nggak peduli kamu siapa, kamu tidak berhak masuk ke kamarku—”

Tapi lelaki itu tiba-tiba berbalik seperti sengaja mengelak disentuh.

Gerakan itu membuat tubuh Renxia goyah dan kehilangan keseimbangan. Ia hampir jatuh ke lantai, namun tangan lelaki itu dengan cepat menangkap pinggangnya.

Waktu seolah membeku.

Tubuh mereka bersentuhan. Nafas mereka saling bersilang. Dan lebih buruk lagi, handuk yang membalut tubuh Renxia terlepas, jatuh ke lantai begitu saja.

Keduanya membeku. Mata mereka bertemu.

Mata Renxia melebar menyadari tubuhnya terekspos begitu saja di depan lelaki asing yang bahkan bukan suaminya. Dengan panik, ia segera menutup dadanya. Tangannya gemetar, wajahnya langsung memerah.

“Keluar dari kamarku!” jeritnya, kini dengan suara yang pecah karena malu dan marah bercampur jadi satu.

Lelaki itu tidak tertawa. Ia menunduk, mengambil handuknya dan menyerahkannya kembali, matanya tetap mengunci pandangan Renxia.

Dengan tenang ia berkata, “Tenang aja. Aku nggak tertarik sama istri kakakku.”

Deg!

Darah Renxia seperti membeku.

“Kamu … Andre?”

Lelaki itu menyeringai tipis, lalu membuka pintu dan keluar tanpa menjawab.

Renxia berdiri terpaku dengan tubuh setengah telanjang, gemetar dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bukan karena udara dingin, tapi karena cara Andre menatapnya tadi, seperti lelaki yang tahu persis … di mana titik lemah seorang perempuan yang kesepian.

Renxia berdiri cukup lama di depan cermin, berusaha menghapus rasa panas dan malu yang masih melekat di pipinya. Walau handuk sudah terganti dengan blus satin berwarna gading dan celana longgar, tapi tubuhnya masih terasa seolah belum terlindungi. Masih terasa jejak tatapan nakal itu … menyusup lewat kulit dan tinggal di balik benaknya.

Ia menarik napas panjang, lalu berjalan menuruni anak tangga. Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi. Hanya terdengar denting garpu dan sendok dari ruang makan. Suara yang biasanya ia rindukan dari Johan.

Renxia menghentikan langkahnya di ambang pintu ruang makan. Ia melihat Andre duduk di sana.

Lelaki muda itu duduk di sana dengan kaki terentang malas. Kaos oblongnya yang menempel ketat memperlihatkan garis perutnya yang terlatih. Tangan kirinya menggenggam garpu, mulutnya sibuk mengunyah daging steak dengan gaya seenaknya. Sama sekali berbeda dengan Johan yang selalu sopan, rapi, penuh tata krama. Pria ini duduk seolah rumah itu miliknya.

Renxia menahan diri untuk tidak meracau. Ia duduk di ujung meja, menegakkan punggung, mencoba mengabaikan keberadaan lelaki itu.

Suara Andre lebih dulu memecah diam. “Aku cuma ambil charger tadi.”

Nadanya ringan, nyaris cuek. Seolah tidak ada hal serius yang terjadi sebelumnya. Seolah dia tidak baru saja memandangi tubuh kakak iparnya tanpa kain sehelai pun.

Renxia mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menyipit masih dengan perasaan kesal yang kentara. “Dengan masuk tanpa izin?”

Andre menoleh. Tak sedikit pun terlihat bersalah. Justru ada senyum sarkastik yang mengaduk emosi Renxia.

“Tapi aku nggak tahu … kalau ternyata kakak iparku doyan keliling rumah cuma pakai handuk.”

Renxia membeku. Rahangnya mengeras. Pipinya kembali memanas, bukan karena malu, tapi karena amarah yang dibungkus rasa terhina.

“Oh … jadi kamu adiknya Johan.” Suaranya tajam, namun tetap tenang.

Andre mengangguk ringan, menyilangkan alat makannya di atas piring, lalu berdiri. Gerakannya santai, hampir terlalu santai untuk pria yang baru saja menyaksikan momen paling memalukan dalam hidup Renxia.

“Kamu...” Renxia bersuara lagi, nadanya getir. “Sama sekali nggak seperti yang Johan ceritakan.”

Andre menoleh setengah. “Aku juga nggak nyangka kakakku bakal nikah sama gadis semanis kamu.” Matanya menatapnya dari kepala hingga dada. “Lucu. Rapuh. Tapi ternyata galak juga.”

“Keluar,” desis Renxia.

Andre tertawa pendek, lalu berjalan menjauh.

Langkahnya terdengar menjauh, lalu lenyap. Tapi hawa keberadaannya masih tertinggal. Masih menguar di antara aroma makanan hangat dan dinginnya AC ruang makan.

Renxia menggeram pelan. Ia menatap piring di depannya tanpa selera. Rumah yang selama ini kosong tiba-tiba dipenuhi aroma liar dari seorang Andre.

Renxia tak bisa menahan pikirannya melantur. Bayangan kejadian di kamar tadi berputar kembali. Tatapan mata Andre … sentuhan cepat di pinggangnya … handuk yang melorot … dan cara dia menyebutnya “kakak ipar” dengan nada yang terlalu intim.

Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gemuruh yang mulai kembali mendesak dari dalam.

Renxia meremas sisi meja. Dia harus menghindari lelaki itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN6

    Renxia semakin panik saat jemari itu merambat naik, licin dan penuh keberanian, menyusuri pangkal pahanya yang mulus. Sentuhan itu lalu menyelinap ke balik kain segitiga berbahan renda yang ia kenakan dengan rapi. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tersengal. Ia menundukkan kepala, kedua kelopak mata terpejam rapat, seolah berusaha menolak kenyataan yang justru menggetarkan darahnya.Jari nakal itu mengusap bagian paling intim, membuatnya bergidik. Sebuah sensasi terlarang yang memaksa gairah lama yang selama ini terkubur di balik rutinitas rumah tangga itu bangkit kembali. Jantungnya berdegup keras, saking kerasnya hingga ia takut Johan bisa mendengarnya. Tangannya meremas pinggiran meja lebih kuat, menahan tubuh yang mulai terasa lemas dan nyaris bergetar tak terkendali.Dalam kepanikan, ia sempat melirik Johan. Lelaki itu baru saja mengangkat cangkir latte, matanya fokus menatap layar ponselnya. Tapi sejenak kemudian, ia melangkah mendekati istrinya, hendak menyingkap tirai kecil

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI5

    “Bukan gitu maksudku. Aku nggak mau kalian berdua bertengkar. Aku cuma .... Kenapa nggak kamu minta dia tinggal di apartemen kita yang satu lagi? Yang kosong itu.” “Dan biarkan dia sendirian? Nggak mungkin,” Johan menggeleng keras. “Dia belum stabil. Aku nggak bisa tinggal jauh darinya. Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Renxia menunduk, kecewa. “Lalu aku harus bagaimana? Harus pura-pura nggak apa-apa terus tiap hari?” Johan tak menjawab. Ia berjalan ke sisi tempat tidur, duduk kembali dengan letih. “Aku capek, Renxia. Besok aku harus bangun pagi untuk persiapan meeting proyek kantor kita. Aku nggak sanggup ngelayani kamu debat sekarang.” Ia lalu berbaring, menarik selimut, dan membelakangi istrinya. Renxia mematung. Ia masih ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya menatap punggung suaminya yang dingin, keras, tak tersentuh. Seakan jarak mereka bukan cuma karena posisi tidur ... tapi dunia yang sama sekali berbeda, dunia yang sama sekali tak b

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI4

    Pagi itu, cahaya matahari belum benar-benar menerobos masuk ke dalam ruang makan. Udara di dalam rumah masih dingin, tenang, dan nyaris membeku seperti ketegangan yang menggantung di antara dinding-dindingnya.Renxia duduk diam di meja panjang, menyendok bubur hangat yang tak benar-benar terasa. Kimono sutra tipis berwarna pucat masih membalut tubuhnya dengan lembut, namun kini terasa terlalu terbuka, terlalu ringan. Setiap gesekan bahan di kulitnya mengingatkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Renxia tahu dari suara langkahnya yang berat tapi santai. Ia bahkan belum mendongak, tapi aroma maskulin yang tajam dan bersahaja telah lebih dulu menyentuh hidungnya. Parfum kayu yang hangat, dengan jejak samar jeruk dan rempah. Aroma yang sama yang melekat di mimpinya. Atau ... mungkin justru sesuatu yang nyata.Ia mendongak pelan, saat matanya benar-benar melihat sosok adik iparnya itu. Pria itu baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya mas

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI3

    Johan menatap laptopnya beberapa detik, lalu tiba-tiba matanya membesar. Ia bangkit dari kursinya, suara kursi terseret membelah keheningan pagi.“Yes! Ini dia!” serunya, penuh semangat. “Gila, ini bisa jadi konsep branding baru buat proyek satelit kita!”Renxia yang masih menahan napas di dekat dapur, menoleh dengan bingung. Andre hanya terkekeh ringan, bersandar santai di sisi meja, matanya masih tak lepas dari Renxia.Johan tak peduli. Ia berjalan mondar-mandir, mengetik sesuatu di ponsel, lalu berhenti tiba-tiba, menepuk pelipisnya sendiri.“Kenapa aku baru kepikiran sekarang?” gumamnya sambil tergesa mengambil jaket yang tergantung di kursi bar. “Aku harus ke kantor. Harus bikin pitch deck-nya sekarang juga!”Ia melewati Renxia dengan cepat, sempat mengecup sekilas kening istrinya, dingin dan tergesa, seperti sebuah kebiasaan tanpa rasa. Lalu membuka pintu, dan menghilang begitu saja.—Siang itu, matahari bersinar terik, memantulkan cahaya ke aspal kampus yang mulai lengang. Lan

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI2

    Rumah itu terlalu senyap untuk ukuran sebuah pernikahan muda. Jam hampir menunjukkan tengah malam dan suara detiknya terasa seperti cambuk di telinga Renxia. Ia duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kimono satin tipis yang menempel erat di kulit lembutnya, menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.Sudah tiga hari berturut-turut Johan pulang larut. Hari ini, bahkan belum ada kabar. Tapi bukan itu yang paling mengganggu Renxia malam ini.Tapi Andre, adik iparnya itu kini terlalu sering muncul tanpa aba-aba. Muncul di dapur hanya dengan celana olahraga tipis dan tubuh setengah basah sehabis berenang, handuk melilit pinggangnya seadanya. Ia menyapa Renxia dengan suara parau dan senyum menyudut yang tak pernah sepenuhnya polos. Kadang hanya berdiri, bersandar pada dinding dengan tatapan yang terlalu berani menelusuri garis leher dan belahan dada Renxia, tanpa bicara, tanpa berkedip, terlalu diam, tapi menelan semua dengan matanya.Renxia mencoba tak menggubris, menepis getaran aneh

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI 1

    Air hangat masih menetes dari rambut Renxia saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Handuk putih membalut tubuhnya, menempel erat di kulit lembap yang masih beruap. Dingin AC kamar menggerayangi pundaknya, membuat bulu-bulu halus di lengannya meremang.Renxia menghela napas. Kamar itu terasa terlalu sunyi. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Sejak pagi, Johan tak terlihat batang hidungnya. Pria yang dinikahinya enam bulan lalu karena perjodohan keluarga. Tampan, mapan, dan dihormati, tapi jarang pulang, jarang bicara, dan terasa asing baginya. Lelaki itu memperlakukan Renxia seolah benda manis yang diletakkan di etalase pernikahan untuk sekedar dipamerkan.Ia membuka lemari, hendak mengambil piyama. Tapi langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak biasa.Matanya menyipit. Hatinya menegang saat merasakan aroma asing di udara. Seperti parfum pria yang maskulin, segar, tapi bukan milik suaminya. Suara napas itu terdengar lirih dan dalam.Renxia menoleh cepat ke arah kasur. Tak ada siap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status