Johan menatap laptopnya beberapa detik, lalu tiba-tiba matanya membesar. Ia bangkit dari kursinya, suara kursi terseret membelah keheningan pagi.
“Yes! Ini dia!” serunya, penuh semangat. “Gila, ini bisa jadi konsep branding baru buat proyek satelit kita!” Renxia yang masih menahan napas di dekat dapur, menoleh dengan bingung. Andre hanya terkekeh ringan, bersandar santai di sisi meja, matanya masih tak lepas dari Renxia. Johan tak peduli. Ia berjalan mondar-mandir, mengetik sesuatu di ponsel, lalu berhenti tiba-tiba, menepuk pelipisnya sendiri. “Kenapa aku baru kepikiran sekarang?” gumamnya sambil tergesa mengambil jaket yang tergantung di kursi bar. “Aku harus ke kantor. Harus bikin pitch deck-nya sekarang juga!” Ia melewati Renxia dengan cepat, sempat mengecup sekilas kening istrinya, dingin dan tergesa, seperti sebuah kebiasaan tanpa rasa. Lalu membuka pintu, dan menghilang begitu saja. — Siang itu, matahari bersinar terik, memantulkan cahaya ke aspal kampus yang mulai lengang. Langkah-langkah mahasiswa berseliweran di antara pepohonan rindang, membawa tas dan obrolan ringan selepas kelas. Renxia baru saja keluar dari gedung fakultas. Ia mengikat rambutnya ke belakang sambil membuka ponsel, hendak menunggu ojek online di dekat gerbang. Tapi matanya menangkap sosok pria yang sedang duduk di atas motor sport hitam mengkilap yang terlalu mencolok, meskipun ia tampak santai. Andre bersandar ringan di jok motornya, satu kaki menyentuh tanah, dan helm di tangan kirinya. Kacamata hitam bertengger di hidungnya, tapi tak mampu menyembunyikan senyuman jahil yang menghiasi wajahnya begitu melihat Renxia. Renxia membeku sepersekian detik. "Astaga, dia beneran dateng …" gumamnya, buru-buru menunduk dan berusaha berjalan ke arah seberang, seolah tak melihat. Tapi langkahnya langsung terhenti saat suara Andre yang tenang dan menggoda, membelah udara siang. “Kalau kabur, aku gendong,” ucapnya lantang. Beberapa mahasiswa yang mendengar langsung menoleh. Ada yang terdiam, ada yang tertawa kecil, ada pula yang berbisik-bisik sambil melirik Renxia, lalu ke Andre. Wajah Renxia langsung panas. “Gila … itu pacarnya Ren, ya?” “Bukan cowok sembarangan sih, kalo lihat motornya …” “Dari fakultas mana tuh? Kayak nggak pernah liat, deh .…” Renxia menelan ludah. Jantungnya berdebar tak karuan saking gugup dan malunya. Ia berbisik geram sambil melangkah cepat ke arah Andre. “Apa yang kamu lakuin, hah?” Andre menyeringai, lalu menyodorkan helm ke arahnya. “Menjemput istrinya kakakku. Salah?” Renxia mencelos. “Andre .…” “Aku udah bilang,” bisiknya, mencondongkan wajah, suaranya dalam dan halus. “Kalau kamu nggak naik, aku gendong kamu di sini sekarang juga.” Beberapa langkah dari mereka, suara celetukan teman-teman Renxia mulai terdengar. “Romantis banget sih, sumpah …” “Aku juga pengen dijemput yang kayak gitu.” Renxia menatap Andre tajam, tapi matanya bergetar. Ia tahu Andre tidak main-main. Dan entah kenapa, dibanding digendong di tengah gerbang kampus, naik motor dengannya jadi pilihan yang paling minim bencana. Dengan gerakan cepat dan kesal, ia mengambil helm dari tangan Andre dan memakainya dengan kasar. “Bagus.” Andre tersenyum lebar dan menyentuh pelan dagunya, menyamakan posisi kaca helmnya. “Kamu manis banget pakai ini.” “Jangan banyak ngomong. Cepet jalan,” tukas Renxia pelan dengan suara setengah mendesis. Andre tertawa lirih dan naik ke atas motor. “Pegangan yang kenceng ya … atau kamu mau aku yang narik tanganmu?” Renxia memejamkan mata sejenak, lalu akhirnya memeluk pinggang Andre. Pelan, malu-malu, tapi cukup erat. Motor melaju meninggalkan halaman kampus, dan tatapan semua orang pun mengikuti mereka sampai menghilang di belokan jalan. Di balik helmnya, Renxia mencoba menenangkan debar di dadanya. —- Malam itu, rasa sunyi kembali dirasakannya. Seperti biasa, Johan lebih betah menghabiskan waktunya di luar. Perilaku yang aneh untuk pasangan pengantin yang masih seumur jagung. Renxia merebahkan tubuhnya dan menarik napas pelan saat memejamkan mata di ranjang yang dingin. Hening malam menyusup lewat celah-celah jendela, membuai tubuhnya yang hanya berbalut kimono tipis. Cahaya lampu redup dari meja kecil di samping ranjang memantulkan siluet bayangan di dinding. Lalu tiba-tiba ia merasakan sentuhan hangat di punggungnya. Lembut, tapi jelas dan nyata. Lalu bibir yang mendarat lembut di bahunya, terasa seperti mengecup perlahan. Napas hangat itu menyentuh tengkuknya, membuat tubuhnya menegang sekaligus bergetar. Jari-jari itu menjalar ke pinggangnya, menarik pinggiran kimononya yang longgar. Ia ingin menolak. Tapi yang keluar justru desahan pelan, tubuhnya seperti menjemput rasa asing yang tak terjelaskan itu. Namun ketika perlahan ia membuka mata yang menatapnya dari dekat bukan Johan, tapi Andre. Dengan mata hitam yang menyala dalam gelap, dada bidang itu terlihat kokoh tanpa sehelai benang pun di atasnya. Hanya celana tidur kain tipis yang melekat di pinggangnya. Tubuhnya masih segar, seperti baru mandi, dengan tetes air sisa yang mengalir pelan di garis leher dan menjilat otot-otot perutnya. Aroma parfum maskulin yang samar namun tegas menguar dari tubuhnya. Wangi itu menyelinap masuk ke inderanya dan langsung menampar kesadarannya. Itu Andre. Ia tahu pasti. Tapi … semua ini nyata atau hanya sebuah mimpi …? Renxia sontak terbangun dengan napas berat. Tubuhnya basah oleh keringat. Kimono yang ia kenakan terbuka sebagian, memperlihatkan bahu dan dada atasnya yang bergetar karena rasa yang belum sepenuhnya menguap. Aroma itu masih ada. Wangi kayu yang maskulin, tajam, dan hangat. Ia menggigit bibir. Matanya mengarah ke jendela kamarnya yang terbuka. Dan saat itu, untuk sepersekian detik, ia melihat bayangan lelaki berdiri di luar. Lelaki itu berdiri di balkon kamarnya, diam, menatap, dan tatapan itu seolah menelanjanginya. Lalu bayangan itu lenyap dalam gelap, seolah malam menyerapnya bulat-bulat tanpa sisa. Renxia merinding, pikirannya makin kacau. Apa tadi hanya mimpi? Atau seseorang benar-benar telah masuk ke kamarnya? Aroma itu … masih membekas di bantalnya.Renxia semakin panik saat jemari itu merambat naik, licin dan penuh keberanian, menyusuri pangkal pahanya yang mulus. Sentuhan itu lalu menyelinap ke balik kain segitiga berbahan renda yang ia kenakan dengan rapi. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tersengal. Ia menundukkan kepala, kedua kelopak mata terpejam rapat, seolah berusaha menolak kenyataan yang justru menggetarkan darahnya.Jari nakal itu mengusap bagian paling intim, membuatnya bergidik. Sebuah sensasi terlarang yang memaksa gairah lama yang selama ini terkubur di balik rutinitas rumah tangga itu bangkit kembali. Jantungnya berdegup keras, saking kerasnya hingga ia takut Johan bisa mendengarnya. Tangannya meremas pinggiran meja lebih kuat, menahan tubuh yang mulai terasa lemas dan nyaris bergetar tak terkendali.Dalam kepanikan, ia sempat melirik Johan. Lelaki itu baru saja mengangkat cangkir latte, matanya fokus menatap layar ponselnya. Tapi sejenak kemudian, ia melangkah mendekati istrinya, hendak menyingkap tirai kecil
“Bukan gitu maksudku. Aku nggak mau kalian berdua bertengkar. Aku cuma .... Kenapa nggak kamu minta dia tinggal di apartemen kita yang satu lagi? Yang kosong itu.” “Dan biarkan dia sendirian? Nggak mungkin,” Johan menggeleng keras. “Dia belum stabil. Aku nggak bisa tinggal jauh darinya. Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Renxia menunduk, kecewa. “Lalu aku harus bagaimana? Harus pura-pura nggak apa-apa terus tiap hari?” Johan tak menjawab. Ia berjalan ke sisi tempat tidur, duduk kembali dengan letih. “Aku capek, Renxia. Besok aku harus bangun pagi untuk persiapan meeting proyek kantor kita. Aku nggak sanggup ngelayani kamu debat sekarang.” Ia lalu berbaring, menarik selimut, dan membelakangi istrinya. Renxia mematung. Ia masih ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya menatap punggung suaminya yang dingin, keras, tak tersentuh. Seakan jarak mereka bukan cuma karena posisi tidur ... tapi dunia yang sama sekali berbeda, dunia yang sama sekali tak b
Pagi itu, cahaya matahari belum benar-benar menerobos masuk ke dalam ruang makan. Udara di dalam rumah masih dingin, tenang, dan nyaris membeku seperti ketegangan yang menggantung di antara dinding-dindingnya.Renxia duduk diam di meja panjang, menyendok bubur hangat yang tak benar-benar terasa. Kimono sutra tipis berwarna pucat masih membalut tubuhnya dengan lembut, namun kini terasa terlalu terbuka, terlalu ringan. Setiap gesekan bahan di kulitnya mengingatkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Renxia tahu dari suara langkahnya yang berat tapi santai. Ia bahkan belum mendongak, tapi aroma maskulin yang tajam dan bersahaja telah lebih dulu menyentuh hidungnya. Parfum kayu yang hangat, dengan jejak samar jeruk dan rempah. Aroma yang sama yang melekat di mimpinya. Atau ... mungkin justru sesuatu yang nyata.Ia mendongak pelan, saat matanya benar-benar melihat sosok adik iparnya itu. Pria itu baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya mas
Johan menatap laptopnya beberapa detik, lalu tiba-tiba matanya membesar. Ia bangkit dari kursinya, suara kursi terseret membelah keheningan pagi.“Yes! Ini dia!” serunya, penuh semangat. “Gila, ini bisa jadi konsep branding baru buat proyek satelit kita!”Renxia yang masih menahan napas di dekat dapur, menoleh dengan bingung. Andre hanya terkekeh ringan, bersandar santai di sisi meja, matanya masih tak lepas dari Renxia.Johan tak peduli. Ia berjalan mondar-mandir, mengetik sesuatu di ponsel, lalu berhenti tiba-tiba, menepuk pelipisnya sendiri.“Kenapa aku baru kepikiran sekarang?” gumamnya sambil tergesa mengambil jaket yang tergantung di kursi bar. “Aku harus ke kantor. Harus bikin pitch deck-nya sekarang juga!”Ia melewati Renxia dengan cepat, sempat mengecup sekilas kening istrinya, dingin dan tergesa, seperti sebuah kebiasaan tanpa rasa. Lalu membuka pintu, dan menghilang begitu saja.—Siang itu, matahari bersinar terik, memantulkan cahaya ke aspal kampus yang mulai lengang. Lan
Rumah itu terlalu senyap untuk ukuran sebuah pernikahan muda. Jam hampir menunjukkan tengah malam dan suara detiknya terasa seperti cambuk di telinga Renxia. Ia duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kimono satin tipis yang menempel erat di kulit lembutnya, menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.Sudah tiga hari berturut-turut Johan pulang larut. Hari ini, bahkan belum ada kabar. Tapi bukan itu yang paling mengganggu Renxia malam ini.Tapi Andre, adik iparnya itu kini terlalu sering muncul tanpa aba-aba. Muncul di dapur hanya dengan celana olahraga tipis dan tubuh setengah basah sehabis berenang, handuk melilit pinggangnya seadanya. Ia menyapa Renxia dengan suara parau dan senyum menyudut yang tak pernah sepenuhnya polos. Kadang hanya berdiri, bersandar pada dinding dengan tatapan yang terlalu berani menelusuri garis leher dan belahan dada Renxia, tanpa bicara, tanpa berkedip, terlalu diam, tapi menelan semua dengan matanya.Renxia mencoba tak menggubris, menepis getaran aneh
Air hangat masih menetes dari rambut Renxia saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Handuk putih membalut tubuhnya, menempel erat di kulit lembap yang masih beruap. Dingin AC kamar menggerayangi pundaknya, membuat bulu-bulu halus di lengannya meremang.Renxia menghela napas. Kamar itu terasa terlalu sunyi. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Sejak pagi, Johan tak terlihat batang hidungnya. Pria yang dinikahinya enam bulan lalu karena perjodohan keluarga. Tampan, mapan, dan dihormati, tapi jarang pulang, jarang bicara, dan terasa asing baginya. Lelaki itu memperlakukan Renxia seolah benda manis yang diletakkan di etalase pernikahan untuk sekedar dipamerkan.Ia membuka lemari, hendak mengambil piyama. Tapi langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak biasa.Matanya menyipit. Hatinya menegang saat merasakan aroma asing di udara. Seperti parfum pria yang maskulin, segar, tapi bukan milik suaminya. Suara napas itu terdengar lirih dan dalam.Renxia menoleh cepat ke arah kasur. Tak ada siap