LOGIN"Selamat datang di rumah kita, Rania!" Lucas dan Rania akhirnya tiba di kota menjelang siang itu. Lucas langsung mengajak Rania ke rumahnya dulu untuk beristirahat karena Sissy sedang bekerja saat itu, jadi rumah Sissy kosong. Rania sendiri langsung terkesima melihat rumah itu. Rumah Lucas berdiri di kawasan elit yang rapi dan tenang, deretan rumah modern dengan jarak yang cukup untuk memberi privasi. Bukan rumah gedung yang mewah dan kaku, melainkan rumah bertingkat yang lebih sederhana, hangat, dan nyaman. Begitu masuk, kesan pertama adalah lapang dan bersih. Lantainya berwarna abu-abu terang yang membuat ruangan terasa sejuk. Dindingnya putih polos, tanpa dekorasi berlebihan, hanya satu dua lukisan abstrak bernuansa lembut.Ruang tamu menyatu dengan ruang makan dengan dapur terbuka berkonsep minimalis. Tatapan Rania langsung berbinar-binar menatap dapur rumah itu, bagian favoritnya di dalam sebuah rumah. "Dapurnya bagus sekali, Lucas," seru Rania sambil membelai meja keramik
Sebuah restu mengubah segalanya. Ganjalan dan keraguan di hati Rania benar-benar lenyap entah ke mana dan akhirnya ia menerima Lucas sebagai calon suaminya. "Tidak semua hal harus diperjuangkan, Ibu setuju dengan itu. Tapi saat ada banyak hal yang mengikat kita bersamanya, sebuah perjuangan adalah hal yang layak untuk kita lakukan, Rania," ucap Yetty kemarin malam sebelum mereka tidur. "Cintamu, kesempatan kedua untuk bahagia, dan terutama anak-anak kalian. Mereka berhak mendapatkan keluarga yang utuh dan itu harus kalian perjuangkan." "Ibu tahu berhadapan dengan restu itu sangat sulit, apalagi jurang antara kalian terlihat sangat dalam. Namun, Ibu masih percaya kebesaran Tuhan. Pasti Tuhan akan menunjukkan jalan. Batu yang keras saja akan berlubang karena tetesan air yang terus-menerus, apalagi hati manusia." Rania menangis bahagia tadi malam. Berpelukan dengan ibunya dan menyimpan kalung safir bersamanya. Ia secara resmi menjadi calon istri yang berbahagia sekarang. "Apa semua s
Debaran jantung Rania masih tidak mau normal. Makin lama makin berdebar sampai mungkin Lucas bisa melihat debarannya. Apa itu lamaran? Lucas melamarnya? "Lucas, jangan menjadikan lamaran sebagai candaan! Aku tidak bisa seperti ini!" ucap Rania akhirnya dengan susah payah. "Siapa yang bercanda? Kau tahu aku orang yang seperti apa kan? Apa kau pikir aku akan menjadikan lamaran sebagai candaan?" Lucas tersenyum sambil mengangkat tangannya. Dengan ibu jarinya, Lucas menghapus air mata di pipi Rania. "Percayalah, seumur hidup aku tidak pernah memikirkan pernikahan, Rania. Bahkan sampai saat aku harus bertunangan dan menikah dengan Vanessa, itu terasa seperti sebuah transaksi saja." "Tidak ada keinginan untuk berkeluarga dan bersama selamanya. Kupikir aku akan menganggap pernikahan seperti itu selamanya, hanya hubungan saling menguntungkan, tanpa perasaan lebih." "Tapi semuanya berubah karena kau. Bersamamu, ini bukan hanya transaksi. Bersamamu, rasanya sangat hangat, hidup, dan meng
Dua hari di kampung benar-benar meninggalkan jejak yang mendalam bagi Lucas. Lucas tidak menyangka, kampung kecil itu justru membuatnya merasa paling hidup. Bukan karena udara pagi yang segar atau malam yang sunyi tanpa hiruk-pikuk kota, tapi karena keluarga Rania dan warga kampung yang hangat. Lucas tidak berkutat dengan berkas dan meeting, tapi berkutat dengan berbagai macam orang dan kebutuhannya. Bahkan Lucas begitu cepat disukai oleh warga kampung karena ia begitu sigap menolong dan tidak sombong sama sekali. "Rania, kalau masih ada yang seperti ini, jangan lupa kenalkan pada anakku ya." "Aku juga mau, Rania!" Para tetangganya bersahut-sahutan dan hanya bisa mengangguk. "Kalau ada, aku pasti akan mengenalkannya." "Kalau ada pekerjaan di kota juga jangan lupakan anak-anak kami ya." Kali ini Lucas yang mengangguk. "Kami tidak akan lupa. Nanti kalau ada lowongan kerja, aku akan meminta Rania menghubungi anak-anak muda di sini." "Wah, terima kasih banyak, Nak Lucas. Semoga ka
Malam itu, Rania terlihat berbeda. Sejak kembali dari kandang kerbau, ia sudah mondar-mandir di dapur kecil rumah Yetty. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya terlihat lelah, tapi matanya berbinar. Sebuah semangat yang tidak ia sadari sendiri dari mana datangnya. Mungkin juga dari hormon kehamilannya yang entah mengapa meletup-letup, seolah kedua janinnya juga ikut bersemangat. "Kau memasak banyak sekali, ada perayaan apa hari ini?" seru Rendy yang baru masuk ke dapur. "Tidak ada perayaan apa-apa, hanya ingin saja. Sana, kau mandi dulu saja! Bau kerbaunya masih tertinggal di bajumu." Rendy langsung mengangkat tangan dan mencium aroma dirinya sendiri. "Mana ada bau kerbau? Aku tidak ikut memegang kerbau. Tapi memang aku berkeringat setelah membereskan sisa hasil panen yang tadi. Tapi Kak Lucas masih memakai kamar mandi, aku menunggu dia selesai." Rania terdiam sejenak mendengar nama itu. Ada sesuatu yang bergejolak dan meloncat di hati dan perutnya. "Oh, kalau begitu, tunggu dia sa
"M-memandikan kerbau?" Lucas benar-benar syok mendengar ia harus memandikan kerbau. Sungguh, ia tidak pernah membayangkan bagaimana cara memandikan kerbau dan haruskah hewan besar itu dimandikan? "Ah, maaf, Bu Yetty, tapi bosku ... dia tidak pernah menyentuh kerbau sebelumnya ...." Surya berniat membela Lucas, tapi Lucas langsung menggeram marah dan meliriknya sampai Surya pun tidak berani bicara lagi. "Ada apa? Kau keberatan?" tanya Yetty tiba-tiba. "Baru saja kau bilang akan menuruti apa pun yang Rania inginkan. Dia itu sedang ngidam. Kalau sebagai pria, kau tidak bisa memenuhi ngidamnya Rania, bagaimana Ibu bisa menyerahkan anak Ibu padamu?" Lagi-lagi ucapan Yetty melecut semangatnya. "Siapa bilang aku keberatan, Ibu? Dan aku bersungguh-sungguh. Itu ... tentu saja aku akan melakukan apa pun untuk memenuhi ngidamnya Rania. Tapi ... apa tidak ada hal lain yang kau inginkan selain ... kerbau?" Lucas menatap Rania penuh harap. Walau sudah berjanji akan menuruti apa pun, tapi tida







