"Kenapa makanmu sedikit sekali?""Aku kenyang, Mas, sebenarnya tadi sudah makan, tapi menghargai kamu saja karena sudah menyiapkan semuanya," jawab Ruma yang memang sudah hilang selera. Rasya terdiam, dia memang tengah berjuang mengambil hatinya. Dia tahu selama ini salah karena telah mengabaikannya dan malah sibuk dengan Rina. Masa lalu itu sudah berlalu, Rasya benar-benar ingin membina rumah tangga dengan sebenar-benarnya. Apalagi kini Ruma sudah tidak hamil anak haram itu. Jadi, Rasya bisa tenang melanjutkan rumah tangganya tanpa harus dibebani dengan status anak yang tidak jelas. Suara ketukan pintu di luar mencuri atensi keduanya. "Biar aku saja yang buka, Mas lanjutin makannya" kata Ruma membuat Rasya mengangguk. Perempuan itu bergegas ke depan membukakan pintu. Dia sedikit kaget saat mantan dari kekasih suaminya itu yang berkunjung. "Ruma!""Rina!" "Rasya ada? Aku ingin bertemu dengannya?" tanya wanita itu dengan wajah sendu. "Ada, tunggu sebentar," ujar perempuan itu l
Rasya kacau sendirian di kamar. Dia tidak menyangka Rina membuat pengakuan seperti ini. "Tidak mungkin dia hamil anakku. Arrhhh ... sial!" gumam pria itu menjambak rambutnya frustrasi. Sepanjang malam pria itu susah menemukan kantuknya. Padahal besok ada pertemuan penting di kantornya. Keesokan paginya, Rasya dan Ruma tidak bertemu di meja makan. Ruma yang pagi itu sudah bersiap ke rumah sakit pun, masih mendapati kamar Rasya tertutup rapat. Wanita itu hanya menyiapkan sarapan, dan bekal roti untuknya. Lalu berangkat ke rumah sakit dengan motor kesayangannya. Pagi ini rasanya tubuh Ruma lebih prima. Mungkin karena sudah tidak mual dan semalam bisa tidur dengan nyenyak. "Pagi Rum!" sapa Raja yang kebetulan juga akan berangkat ke rumah sakit. "Pagi juga, Dok," balas Ruma dengan senyuman. "Mari!" Perempuan itu melajukan motornya lebih dulu. Sejujurnya Raja agak khawatir melihat Ruma motoran. Namun, dia menahan diri untuk tidak mengumbar perhatian yang berlebihan. Takut hal itu akan
"Pulang sana! Kehadiranmu itu tidak diharapkan," bentak Rasya melihat Rina tak beranjak dari rumah sakit."Aku ingin bertemu dengan Tante Maria, aku mau minta maaf. Kamu boleh membenciku, tapi ingat, aku sedang mengandung anakmu," kata Rina memperjelas."Mama ke rumah sakit gara-gara mulutmu yang kaya sampah. Urusanmu hanya akan menjadi urusan kita berdua. Aku tidak mau anak itu lahir. Gugurkan! Aku tidak akan pernah menikahimu!" ucap Rasya membuat Rina makin nelangsa."Kenapa kamu menjadi gelap mata begini. Aku tahu kamu marah, tapi kamu tetap tidak bisa memungkiri kenyataan ini.""Kamu ini berkhianat, Rina, aku memperjuangkan dirimu sampai mengabaikan istriku sendiri. Sekarang kamu datang dengan masalah seolah ini anakku. Minta saja sana pertanggungjawaban dengan pacarmu!" hardik Rasya murka. Dia tidak mengizinkan Rina menemui ibunya lagi."Brengsek! Enak saja lo buang gue di saat seperti ini. Gue bakalan bales Rasya, tunggu saja," batin Rina bergemuruh dendam. Diperlakukan semena-m
Hidup lagi capek-capeknya malah dapat perlakuan begini dari istri yang sedang Rasya perjuangkan. Pria itu langsung murka sembari merobek kertas gugatan perceraian di tangannya.Ruma terperangah mendapati Rasya bersikap seenaknya. Dia baru menyadari benar-benar terjebak ke dalam pria egois yang tidak bisa diajak kompromi."Apa yang harus kita pertahankan, selain tidak ada cinta di antara kita. Kamu harus bertanggung jawab atas kehamilan, Rina," kata Ruma memperjelas hubungan mereka yang begitu rumit. Walaupun sebenarnya Ruma mempunyai misi tersendiri juga. Dia berhak memperjuangkan kebahagiaannya. "Sudah aku bilang itu bukan anakku! Kalaupun kabar buruknya itu anakku, aku bisa bertanggung jawab dengan anak itu saja tanpa harus menikahi, Rina. Kamu ngerti nggak sih!" bentak Rasya dengan netra menajam."Mana bisa begitu, apa kamu tidak merasa kasihan dengan anak yang tidak berdosa itu.""Ayolah Ruma, aku melakukan semua itu demi kamu. Aku bersungguh-sungguh ingin berumah tangga padamu.
"Bapak belum pulang, Buk?" tanya Ruma mendatangi ibunya yang tengah sibuk di dapur menyiapkan menu makan malam."Sudah, lagi ke masjid, mungkin sebentar lagi pulang. Kamu sudah sholat, Rum?""Sudah Buk, Ruma bantu ya.""Eh, ya, bapak tadi nanya, kamu pulang sendirian. Ibuk jawab iya, Rasya sibuk banget ya sampai tidak bisa nganter.""Iya Buk," jawabnya sembari memikirkan cara menjelaskan semuanya. Mengingat ibuk mempunyai riwayat jantung, takut kalau tiba-tiba shock.Ruma tiba-tiba mual dengan bau bawang yang tengah diracik ibuk. Kemarin-kemarin memang agak sensi dengan perbumbuan satu ini, Ruma kira setelah tiga bulan aman, tetapi calon anaknya masih rewel juga. Karena tidak tahan, Ruma langsung berlari ke kamar mandi belakang."Rum! Kamu kenapa?" seru Ibuk mengetuk pintunya khawatir.Ruma masih muntah-muntah, mendadak tidak nyaman sekali. Padahal biasanya Ruma sudah sangat jarang mual-mual di tiga bulan kehamilannya ini."Aduh ... Nak, tolong jangan rewel, bagaimana bunda menjelaskan
"Tentu saja aku khawatir, Rasya, Ruma memang istri kamu, tapi dia sedang mengandung anakku," jawab Raja dalam hati. Sayangnya dia tidak mempunyai petunjuk, dan terkesan memaksa kalau ingin terlalu tahu keberadaannya. Padahal memang Raja sepeduli itu."Mungkin dia pergi ke suatu tempat. Atau pulang ke rumah orang tuanya," duga Raja mengingat Ruma tengah bersangkutan dengan hal penting. Jadi, rasanya tidak mungkin sekali tiba-tiba menghilang begitu saja. "Sepertinya begitu, kenapa kalau pulang nggak pamitan. Istri macam apa dia," gerutu Rasya agak ngilu terdengar di telinga Raja. Sejujurnya dia kepo, dia sangat ingin tahu keberadaan Ruma saat ini. Namun, menahan diri agar tidak menimbulkan curiga Rasya yang saat ini juga tengah mencarinya. Raja cukup tahu kalau Ruma baik-baik saja. Setidaknya sudah cukup membuat perasaan pria itu lega. Atas saran dari Raja, Rasya pun menghubungi orang tua Ruma. Ternyata benar kalau istrinya pulang. Tentu hsl itu membuat Rasya kecewa dan kesal. Dia ha
"Waalaikumsalam ...," jawab Bu Rima dan suaminya menyahut lebih dulu. Sementara Rasya dan Ruma masih terpaku di tempatnya. "Mami, kok bisa sampai sini? Bukannya masih kurang sehat," omel Rasya langsung menghampiri ibunya. Namun, dia sangat tidak suka dengan perempuan yang mengantarnya. "Ngapain juga kamu ke sini?" tanya Rasya lirih. "Jangan macam-macam di sini. Atau aku tidak pernah akan memaafkanmu," desis pria itu menatapnya tajam. "Bu Maria!" seru Bu Rima mempersilahkan besannya masuk. Mereka saling berjabat tangan dan cipika-cipiki. Ruma yang awalnya diam, langsung mendekat dan menyalimnya dengan takzim. "Silahkan duduk," ucap Bu Rima mumpung ada orang tua Rasya juga. Jadi, permasalahan anaknya bisa diselesaikan dengan musyawarah bersama. "Kenapa Mami menyusul. Seharusnya Mami istirahat saja di rumah," omel Rasya yang sebenarnya khawatir dengan kesehatan ibunya. "Apa pembicaraan kalian sudah selesai?" tanya Bu Maria datar. "Rasya sedang mengusahakan Mi, Rasya akan membujuk
"Ayo Rasya, pulang! Apa lagi yang mau kamu tunggu. Ruma juga tidak menginginkan pernikahan ini lagi. Di mana harga dirimu sebagai seorang pria."Nyonya Maria menarik putranya agar kembali bersama dirinya. Dengan berat hati pria itu mengikuti ibunya. Ada rasa tak rela saat pergi tanpa membawa Ruma pulang. Namun, apalah daya, keadaan jadi memanas begini.Sepertinya Nyonya Maria sudah kemakan omongan Rina. Beliau menjadi begitu sentimen dengan hiruk pikuk rumah tangga putranya. Padahal kemarin saja saat di rumah sakit, masih sempat memberikan wejangan sebelum pulang. Mungkin karena tahu masalah kehamilan Ruma bulan lalu yang ternyata bukan anaknya."Kenapa Rina bisa tahu kalau Ruma sempat hamil dengan orang lain. Aneh, bukankah aku tidak pernah membagi hal seprivasi ini kecuali dengan Raja. Masa iya Raja ember. Apa kepentingannya juga. Aku harus menanyakan ini pada Raja.""Mami pulang bareng Rasya," kata pria itu menginterupsi.Rina juga mengekor Nyonya Maria. Namun, jelas pria itu melara