LOGINDinda masih menangis sejak meninggalkan sekolah. Sepanjang perjalanan pulang, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
‘Sumpah, aku benci banget sama kamu Mik.’‘Kamu tahu gimana aku. Tapi kamu masih begitu!’‘Kamu jahat Miko, kamu jahat! Aku benci sama kamu!’Suara isakannya memenuhi kabin mobil. Terkadang ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menahan suara agar tidak terlalu keras, tapi rasa sakit di dadanya sudah tidak bisa dibendung lagi.Hatinya berantakan. Kata-kata Miko, tatapan Kayla, dan kejadian di parkiran terus terputar di kepalanya.Sopir keluarga yang sudah bekerja puluhan tahun hanya bisa melirik lewat kaca spion. Ia sangat hafal Dinda gadis itu jarang sekali menangis.Bahkan ketika dimarahi mamanya pun biasanya ia diam atau membantah, bukan menangis. Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang benar-benar membuatnya patah.Begitu mobil masuk ke halaman rumah, suasana megah bangunan modern dengan pilar tinggi dan jendela kaca besar tid“Miko!!!” teriak Marsha histeris dari ujung lorong. “Astaga Miko, lepasin Mikha!”Marsha berlari tergesa ke arah mereka, wajahnya pucat karena panik.“Rafiiii! Cepetan naik!” teriaknya lagi dengan suara bergetar.Langkah kaki terdengar cepat dari lantai bawah. Rafi yang mendengar keributan itu langsung berlari naik ke lantai dua, wajahnya penuh kebingungan dan kaget melihat pemandangan di hadapannya.Miko yang dipenuhi amarah, Mikha yang menangis ketakutan, dan Marsha yang hampir kehilangan kendali.Setibanya Rafi di lantai dua Pemandangan di depannya membuat darahnya langsung mendidih.Miko berdiri dengan rahang mengeras, tubuhnya menegang penuh amarah, sementara Mikha terhimpit di sudut tembok, wajahnya pucat, air mata sudah membasahi pipinya.Rafi segera menarik tubuh Miko, berusaha memisahkan keduanya. Namun amarah Miko sudah terlanjur meledak. Tatapannya masih tertuju tajam pada Mikha, seolah menunggu satu pengakuan yang tak kunjung keluar dari bibir adik kembarnya itu.“Miko le
Camping itu akhirnya benar-benar berakhir dengan cara yang tak pernah dibayangkan siapa pun.Bukan dengan tawa, api unggun, atau kenangan manis seperti rencana awal melainkan dengan sirene ambulans yang meraung memecah hutan.Tubuh Kayla yang lemah segera ditangani oleh tim medis. Selimut darurat membungkusnya rapat, sementara infus dipasang dengan cepat. Arion tak pernah melepaskan genggaman tangannya sejak mereka ditemukan. Wajahnya pucat, matanya merah, napasnya masih belum stabil antara lega dan trauma yang belum sepenuhnya reda.Ambulans melaju membawa Kayla dan Arion menuju rumah sakit terdekat.Sementara itu, para siswa lain dipulangkan menggunakan bus sekolah.Tak ada yang bersuara.Tak ada yang bercanda.Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing.Di kejauhan, lampu ambulans yang membawa Kayla semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Dadanya terasa sesak.Ada lega karena Kayla selamat.Tapi juga ada rasa bersalah, marah, dan firasat buruk yang terus meng
Kayla menangis di pelukan itu. Tangis yang bukan hanya tentang malam tadi, tapi tentang rasa takut kehilangan, rasa malu, rasa tidak berdaya. Namun di antara isakannya, ada satu hal yang tetap ia rasakan Arion tidak menjauh. Tidak pergi. Tidak menghindar. Dan di gua kecil yang dingin itu, di tengah hutan yang masih membungkam mereka, dua hati yang sama-sama terluka hanya bisa saling berpegangan, menunggu hari benar-benar terang dan jawaban perlahan datang. ** Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, memantul di dinding gua dan menyusup di antara pepohonan hutan yang rapat. “Kaylaaaa…!” “Arionnn…!” Kayla yang sejak tadi bersandar lemah di dada Arion, refleks menegakkan tubuhnya meski rasa nyeri langsung menjalar di sekujur badan. Matanya membola, napasnya tercekat. “Itu…” suaranya nyaris tak terdengar, “…itu suara Miko.” Arion ikut menahan napas. Dia memejamkan mata sejenak, memusatk
‘’Mpphhh …’’ Arion terus mencium bibir Kayla, begitu dalam, penuh rasa, namun tidak menuntut. Setiap kecupan terasa seperti permintaan maaf yang tak terucap, seperti pengakuan bahwa ketakutan kehilangan tadi hampir menghancurkannya. Tangannya menopang wajah Kayla dengan lembut, ibu jarinya mengusap pipi dingin yang perlahan kembali berwarna. ‘’Aahh!’’ Suara erangan kecil lolos dari bibir Kayla, menggema pelan di dalam gua yang sunyi. Nafas mereka saling bertabrakan, hangat dan berat, menciptakan uap tipis di udara malam yang dingin. Jantung Arion berdetak keras, bukan hanya karena dekatnya tubuh Kayla, tetapi karena kenyataan bahwa gadis itu masih hidup dan berada dalam pelukannya. “Kayla, maafin aku. Aku hanya mau kamu selamat,” ucapnya lirih, suaranya serak, penuh penyesalan. Kayla menatap Arion lama, seolah ingin menghafal wajah itu. Wajah lelaki yang tadi nekat menerobos arus sungai dan
Hutan semakin gelap. Kabut tipis mulai turun perlahan, menyelimuti pepohonan tinggi yang berdiri rapat seperti barisan penjaga sunyi. Api unggun kecil di depan gua berkedip-kedip, kadang membesar, lalu mengecil kembali, seolah ikut merasakan kepanikan di dada Arion. Tubuh Kayla terbaring di pangkuannya. Bibir gadis itu membiru, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya terus bergetar hebat meski api sudah menyala cukup dekat. Nafasnya terdengar pendek-pendek, tidak beraturan. “Kay… Kayla… dengerin aku,” suara Arion bergetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena takut yang mulai menguasai akalnya. “Tahan ya… tolong tahan… jangan tidur…” bisiknya berulang-ulang, hampir seperti doa. Kayla mengerang pelan. Matanya setengah terbuka, namun pandangannya kosong. “Ar… dingin…” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang bisa hilang kapan saja. “Iya, aku tahu. Aku di sini. Aku gak ke mana-mana,” Arion menempelkan keningn
Arion menarik napas panjang. Ia melepaskan jaketnya, lalu menyelimuti tubuh Kayla agar tidak semakin kedinginan. Setelah itu, ia duduk di sampingnya, punggungnya bersandar ke dinding gua. Di luar, hutan semakin gelap. Suara malam mulai lengkap serangga, burung malam, dan angin yang sesekali berdesir. Arion melirik keluar gua, lalu kembali menatap Kayla. “Tim SAR… Miko… mereka pasti nyari kita,” ucapnya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri. “Kita tunggu di sini, ya.” Kayla mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. Tangannya bergerak, tanpa sadar meraih ujung jaket Arion. Jari-jarinya menggenggam erat, seolah takut jika Arion pergi. Arion terdiam. Dadanya menghangat melihat itu. Tanpa ragu, ia menggenggam tangan Kayla, mengusapnya perlahan. “Aku gak ke mana-mana,” ucapnya pasti. “Aku di sini sama kamu.” ‘’Aku gak takut mati, tapi—” Kayla menarik napas nya panjang, ‘’Aku fikir, aku akan kalah karena penyakitku, tapi tern







