Nasib hati mau mencari ketenangan dengan pulang ke rumahnya, malah dapat kunjungan tak terduga. Nada benar-benar tidak menyangka kalau Saga menyusulnya ke rumah. Ya walaupun itu perintah ibunya, bisa saja kan pria itu menolak atau pura-pura iyain saja, bukan malah nginep betulan. Mana kedua orang tuanya juga fine-fine saja melihatnya bermalam di sini. "Nad!" panggil Nyonya Hira mengetuk pintu kamarnya. "Ayo keluar, sekalian Saga juga, makan bareng-bareng!" ujar Bu Hira menginterupsi. "Iya Ma, Nada sholat dulu, nanti nyusul." "Saga, habis ini keluar ya!" seru Mam Hira kali ini melingkar ke dalam menginterupsi menantunya. "Iya Ma, nungguin Nada sekalian," jawab pria itu dengan senyuman. Lembut sekali intonasi bicaranya, padahal saat berdua tak ada manis-manisnya. Nada beranjak dengan urusannya, sementara Saga terlihat sibuk bermain handphone. Saat yang bersamaan, ponsel Nada ada panggilan masuk, tetapi berhubung yang punya ponsel sedang sholat, alhasil Saga yang mendeka
"Malam ini aku mau menginap di sini, besok baru aku pikirin lagi." "Gimana sih, tadi katanya sudah iya, kamu buang-buang waktuku saja," omel Saga gemas sendiri melihat keplin planan Nada. "Siapa suruh ke sini, nggak ada yang minta dijemput juga." "Mama, beliau yang nyuruh aku, kalau aku tidak berhasil bawa kamu pulang, katanya tidak usah pulang sekalian." Nada itu sebenarnya malas sekali kalau harus berhadapan dengan Saga. Ya itu derita dia mau diberi tantangan seperti itu oleh ibunya. Nada tidak mau kalau dirinya saja tertekan. Apalagi menuruti pria sengak yang selalu bersikap semena-mena. Dia pikir Nada senang menjadi istrinya. Kalau bukan karena kadung hamil juga dia tidak menuntut tanggung jawab. Pria itu menghela napas kasar, lalu melaporkan pada ibunya. Tetapi sepertinya Nyonya Zee tidak mau tahu, dia malah menyuruh Saga ikut menginap di sana. "Mama ini ada-ada saja, sepertinya mau menyiksaku pelan-pelan," batin Saga mendapati pesan sarkastik dari ibunya. Bagaimana bisa ib
"Apaan sih Ma, bawaannya suudzon mulu, aku nggak ngelakuin apa-apa. Ya wajar kalau masih butuh adaptasi, namanya juga baru.""Justru karena dia sedang adaptasi dengan lingkungan barunya, makanya kamu yang peka dikit. Kasihan loh dia lagi hamil gara-gara kamu. Kalau dilihat-lihat, dia juga kayaknya nggak seperti cewek lain yang kegatelan padahal sudah jadi istri kamu. Mungkin dia juga terpaksa kalau bukan karena hamil.""Sudah tahu nggak saling cinta, masih dipaksa buat nikah.""Ini tuh bukan sekedar menikah Saga, tapi tanggung jawab. Berani berbuat harus berani tanggung akibatnya.""Kenapa jadi salahin aku sih, salahin tuh Om Alfa, ngapain pakai nargetin Saga kalau keselnya sama papa.""Karena kamu satu-satunya pewaris Alvares setelah ommu divonis tidak bisa memberikan keturunan. Kalau sampai anak kamu lahir, terus sikap kamu seperti ini, jangan salahkan kami menghibahkan semuanya untuk cucu mama.""Eits, mana bisa begitu Ma, di mana-mana aturanya turun ke Bapaknya dulu, baru anaknya.
"Makasih Kak, jadi ngerepotin sampai sini," ucap Nada setelah turun di parkiran kampus. Sebenarnya ada rasa tidak enaknya, mengingat siapa yang memberi tumpangan. "Sama-sama, semangat belajarnya!" ucap pria itu perhatian. "Nggak kira-kira banget sih lo bawa motornya," omel Saga setelah sampai di kampus berpapasan langsung dengan pria yang memberi tumpangan istrinya. "Lah, lo lihat gue tadi?" balas Zian santai. "Iya lah, nyalip gue pakai nggak ngerasa. Ngapain numpangin tuh cewek." "Lo tuh kenapa sih pagi-pagi ngomel. Lah kan motor motor gue, serah gue lah mau numpangin siapa aja. Kenapa jadi elo yang protes. Ada masalah? Jangan bilang tragedi couple di kondangan berlanjut." "Nggak ada, kok lo tahu? Perasaan kita nggak ketemu." "Tahu lah, kebetulan ada di tempat yang sama juga. Lo aja yang amnesia." "Sialan, lo naksir sama Nada?" "Bukannya tuh cewek udah punya cowok ya? Cerdas sih, tahu ada cewek cantik langsung gercep banget dijadiin pacar." "Iya, emang udah pu
Beberapa menit berlalu, Saga terlihat lebih baik. Dia bahkan bisa melakukan aktivitas pagi seperti biasa. Seolah tidak butuh lagi dengan orang lain. Mereka sarapan bersama sebelum akhirnya terpisah dengan urusannya masing-masing. "Nada nanti pulang jam berapa? Ada berapa kelas, Nak?" tanya Nyonya Zee akan mengantar memeriksakan kehamilannya. "Kebetulan satu saja Ma, jam setengah sebelas sudah selesai.""Kamu nanti antar Nada ke rumah sakit ya Ga, cuma nganter aja, sisanya ditemani mama.""Nggak bisa Ma, Saga tuh ada kegiatan organisasi.""Lebih penting mana mengantar istri chek kandungan atau rapat-rapat kamu itu.""Ma, tolonglah jangan berdebat pagi-pagi. Saga punya banyak tanggung jawab di kampus, kan kemarin mama bilangnya mau nganter Nada.""Nggak apa kok Ma, Nada bisa chek kandungan sendiri. Tidak usah diantar," ucap perempuan itu santai. Nada malah justru tidak nyaman diantar pria itu, takut-takut dibawa ke klinik sesat lagi. "Jangan-jangan, nanti mama jemput saja. Sekalian a
Mata Nada mencoba memejam, tetapi justru hati dan pikirannya tidak bisa berdamai dengan rasa lelah yang seharusnya membawanya lelap. Mungkin karena suasana dingin yang begitu menyala membuatnya tidak nyaman. Nada kembali terduduk, menatap sisi ruangan yang nampak sepi. Terlihat Saga sudah lelap di ranjangnya tanpa memikirkan dirinya sedikit pun yang saat ini sedang berjuang menata hatinya. Tahu begini, mungkin besok dia lebih baik tinggi bersama kedua orang tuanya saja. Walaupun di sini mertuanya memperlakukannya dengan baik, tetapi tidak dengan suaminya. Nada beranjak mengambil pakaian hangat untuk menyelimuti tubuhnya agar terasa hangat. Dicari-cari remote AC karena menurutnya terlalu dingin, dia berniat mengatur suhunya agar lebih bersahabat dengan keadaan tubuhnya. Namun, seketika Nada menguntungkan niatnya karena terlalu berani. Sungguh dia dibuat tidak nyaman di hari pertama tidur di rumahnya. Entah di jam berapa Nada terlelap, dia meringkuk dengan tangan memeluk tubuhny