"Apaan sih Ma, bawaannya suudzon mulu, aku nggak ngelakuin apa-apa. Ya wajar kalau masih butuh adaptasi, namanya juga baru.""Justru karena dia sedang adaptasi dengan lingkungan barunya, makanya kamu yang peka dikit. Kasihan loh dia lagi hamil gara-gara kamu. Kalau dilihat-lihat, dia juga kayaknya nggak seperti cewek lain yang kegatelan padahal sudah jadi istri kamu. Mungkin dia juga terpaksa kalau bukan karena hamil.""Sudah tahu nggak saling cinta, masih dipaksa buat nikah.""Ini tuh bukan sekedar menikah Saga, tapi tanggung jawab. Berani berbuat harus berani tanggung akibatnya.""Kenapa jadi salahin aku sih, salahin tuh Om Alfa, ngapain pakai nargetin Saga kalau keselnya sama papa.""Karena kamu satu-satunya pewaris Alvares setelah ommu divonis tidak bisa memberikan keturunan. Kalau sampai anak kamu lahir, terus sikap kamu seperti ini, jangan salahkan kami menghibahkan semuanya untuk cucu mama.""Eits, mana bisa begitu Ma, di mana-mana aturanya turun ke Bapaknya dulu, baru anaknya.
"Makasih Kak, jadi ngerepotin sampai sini," ucap Nada setelah turun di parkiran kampus. Sebenarnya ada rasa tidak enaknya, mengingat siapa yang memberi tumpangan. "Sama-sama, semangat belajarnya!" ucap pria itu perhatian. "Nggak kira-kira banget sih lo bawa motornya," omel Saga setelah sampai di kampus berpapasan langsung dengan pria yang memberi tumpangan istrinya. "Lah, lo lihat gue tadi?" balas Zian santai. "Iya lah, nyalip gue pakai nggak ngerasa. Ngapain numpangin tuh cewek." "Lo tuh kenapa sih pagi-pagi ngomel. Lah kan motor motor gue, serah gue lah mau numpangin siapa aja. Kenapa jadi elo yang protes. Ada masalah? Jangan bilang tragedi couple di kondangan berlanjut." "Nggak ada, kok lo tahu? Perasaan kita nggak ketemu." "Tahu lah, kebetulan ada di tempat yang sama juga. Lo aja yang amnesia." "Sialan, lo naksir sama Nada?" "Bukannya tuh cewek udah punya cowok ya? Cerdas sih, tahu ada cewek cantik langsung gercep banget dijadiin pacar." "Iya, emang udah pu
Beberapa menit berlalu, Saga terlihat lebih baik. Dia bahkan bisa melakukan aktivitas pagi seperti biasa. Seolah tidak butuh lagi dengan orang lain. Mereka sarapan bersama sebelum akhirnya terpisah dengan urusannya masing-masing. "Nada nanti pulang jam berapa? Ada berapa kelas, Nak?" tanya Nyonya Zee akan mengantar memeriksakan kehamilannya. "Kebetulan satu saja Ma, jam setengah sebelas sudah selesai.""Kamu nanti antar Nada ke rumah sakit ya Ga, cuma nganter aja, sisanya ditemani mama.""Nggak bisa Ma, Saga tuh ada kegiatan organisasi.""Lebih penting mana mengantar istri chek kandungan atau rapat-rapat kamu itu.""Ma, tolonglah jangan berdebat pagi-pagi. Saga punya banyak tanggung jawab di kampus, kan kemarin mama bilangnya mau nganter Nada.""Nggak apa kok Ma, Nada bisa chek kandungan sendiri. Tidak usah diantar," ucap perempuan itu santai. Nada malah justru tidak nyaman diantar pria itu, takut-takut dibawa ke klinik sesat lagi. "Jangan-jangan, nanti mama jemput saja. Sekalian a
Mata Nada mencoba memejam, tetapi justru hati dan pikirannya tidak bisa berdamai dengan rasa lelah yang seharusnya membawanya lelap. Mungkin karena suasana dingin yang begitu menyala membuatnya tidak nyaman. Nada kembali terduduk, menatap sisi ruangan yang nampak sepi. Terlihat Saga sudah lelap di ranjangnya tanpa memikirkan dirinya sedikit pun yang saat ini sedang berjuang menata hatinya. Tahu begini, mungkin besok dia lebih baik tinggi bersama kedua orang tuanya saja. Walaupun di sini mertuanya memperlakukannya dengan baik, tetapi tidak dengan suaminya. Nada beranjak mengambil pakaian hangat untuk menyelimuti tubuhnya agar terasa hangat. Dicari-cari remote AC karena menurutnya terlalu dingin, dia berniat mengatur suhunya agar lebih bersahabat dengan keadaan tubuhnya. Namun, seketika Nada menguntungkan niatnya karena terlalu berani. Sungguh dia dibuat tidak nyaman di hari pertama tidur di rumahnya. Entah di jam berapa Nada terlelap, dia meringkuk dengan tangan memeluk tubuhny
Nada mengambil duduk di sofa kamar, bingung juga mau ngapain, sementara yang punya kamar sedang sibuk sendiri dengan ponselnya. Untungnya bertepatan waktu maghrib, Nada memutuskan untuk bersih-bersih lalu mengerjakan sholat. Seharian ini beraktivitas cukup padat, tubuhnya terasa begitu penat, jadi memutuskan mandi sekalian. Dia melangkah menuju koper miliknya yang masih tergletak begitu saja di samping tempat duduk. Nada mulai mengambil barang di sana, peralatan mandi dan juga pakaian ganti. Tanpa meminta izin darinya, Nada berniat langsung menuju kamar mandi. "Mau ngapain?" tanya Saga merasa perlu menggunakan kamar mandi juga. "Mandi," jawabnya lirih. Memang benar, seharusnya pria itu bisa menebak dengan peralatan yang dibawanya. "Cepetan, aku mau pakai," ujar pria itu memperingatkan. "Kakak duluan saja," ujar Nada mempersilahkan. Daripada nanti sedang di dalam dicepet-cepetin malah tidak tenang. Pria itu langsung masuk begitu Nada memberi jalan. Sepertinya Saga mandi jug
Nada tidak menyangka kalau dia dijemput secepat ini. Jujur, perkataan kedua orang tuanya masih membuat hatinya galau, bahkan saat kedua orang tua Saga berkunjung ke rumah menyampaikan maksud dan tujuannya, Nada masih belum siap walaupun tidak bisa menolak. Sekali lagi dia kecewa karena Saga tidak ikut datang, hanya kedua orang tua mereka saja sekaligus merencanakan pernikahan secepatnya. "Nada, nanti ikut tante ya, kita cari cincinnya," ujar Nyonya Zee lembut. Pertama melihat Nada entah kenapa hatinya berbeda dengan penilaian putranya. Dia merasa kalau anak ini tidak neko-neko. Bahkan tidak banyak bicara dan terkesan sangat sederhana. "Harus pakai cincin nikah ya Tante," tanya Nada merasa tidak penting. Karena jujur, dia pun tidak berharap apa pun dari pernikahan ini nantinya. "Iya dong, namanya juga nikah, masa polosan. Sekalian nyari gaunnya juga." Nyonya Zee yang akan mengurusnya. Merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuat putranya. "Maafin Saga ya, hari