Materi selesai menjelang sore hari. Nada langsung memasukkan buku agendanya yang sudah penuh coretan penting ke dalam tasnya. Sebelum perpisahan, tak lupa nyanyian yel-yel semangat untuk kelompoknya didengungkan dengan penuh gembira. Nada mengikutinya hingga terbawa suasana.
"Seru juga ya," ucap Nimas saat keluar dari ruangan. Mensejajarkan langkah Nada seraya menggandeng tangannya. "Iya, lumayan," jawab Nada tersenyum datar. Ice breakingnya lumayan membuatnya lupa sejenak akan masalahnya. "Apalagi kalau yang kasih materi Kak Saga, berasa mau dilama-lamain. Hehe ...." Nimas nyengir, sementara Nada menatap malas. Kakak Senior itu memang tampan, sayangnya minus akhlak. "Naksir?" tanya Nada dengan intonasi sedikit mencibir. Bisakah sehari saja tidak membahas topik tentangnya. Muak sekali rasanya, apalagi melihat wajah arogannya. "Semua cewek normal harusnya sih iya, emang kamu nggak?" "Jangan sampai," jawab Nada sembari membatin amit-amit. "Dih ... tahu deh, udah punya Aksa, tapi kan orangnya nggak lihat. Jadi boleh dong main mata dikit. Biar kita semangat nugasnya." "Nggak jelas kamu, sesat." "Ya dijelas-jelasin lah, kamu kenapa sih, perasaan dari kemarin spaneng mulu. Padahal tadi tuh seru banget pas yel-yel." "Bad mood," jawab Nada terdengar menyebalkan. "Kamu bawa motor?" "Iya, mau nebeng?" "Nggak, nanya aja, aku sudah pesan grab. Semangat lusa bonding pasti bakalan tambah seru." "Aku kepingin nggak ikut." "Eh, nggak mungkin lah, yang ada semua anak pingin ikut. Semangat, kita itu mahasiswa terpilih. Ingat kan orasi Kak Saga." "Nggak, dia mulu yang kamu sebut, kaya nggak ada cowok lain aja." "Ish, jangan gitu, biasanya yang benci-benci suka bucin." "Nggak mungkin, jangan sampai." Keduanya berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Nada mengambil motornya di parkiran, sedangkan Nimas pulang dijemput Kang ojol pesanannya. Baru juga menarik stang gas, Nada merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia pun kembali turun dan ternyata firasatnya benar. "Ya ampun ... kempes," gumam Nada mendapati ban belakang motornya bocor. Untungnya belum terlalu sore, bengkel depan kampus masih buka. Terpaksa Nada harus mendorongnya. "Nad, motornya kenapa?" tanya Sindu yang sore itu mau pulang. Kebetulan sekali bertemu di dekat parkiran. "Eh, Kak Sindu, kempes Kak, mau aku bawa ke bengkel. Depan masih buka kan ya." "Kayakny masih, mau aku bantu?" tawar pria itu berbaik hati. Dia sampai turun untuk memastikan. "Nggak usah, terima kasih, ini dekat kok," tolak Nada akhirnya menumpangi dengan hati-hati. Daripada dorong lumayan capek juga. Emang dasar lagi ketiban sial, bisa-bisanya di tempat yang sama ada Saga juga tengah duduk sembari bercakap-cakap asyik dengan pemilik bengkelnya. Rasanya tadi mau berbalik, sayangnya pria itu sudah kadung lihat. Jadi, mau tidak mau menerjang dengan tatapan dingin. "Servis Mas, ban belakang bocor, sama rem-nya kurang bener." "Sebentar ya Mbak, antri dua," jawab kang servis yang tengah sibuk mengerjakan motor lainnya. Gadis itu berdiri di depan bengkel, menanti antrian sembari memainkan ponselnya. Sementara Saga masih duduk di salah satu kursi tunggu dengan sebatang rokok menyala di tangannya. Tak sengaja tatapan mata hitam pekat itu bertemu dengan iris coklat Nada. Hingga membuat gadis itu seketika merasa tidak nyaman. "Dia ngapain sih lihatin mulu," batin Nada tidak tenang. Sepintas bayangan pagi itu membuatnya sangat tidak nyaman. "Pak, ini masih lama nggak ya?" "Antri dua lagi Mbak, kemungkinan bisa sampai maghrib." "Waduh, lumayan lama juga ya." Nada merasa buang-buang waktu kalau terus berada di sana. "Ditunggu di dalam saja, Mbak, hujan," ujar pemilik bengkel itu menginterupsi. "Sini saja Pak, cuma gerimis kecil kok. Pak, saya tinggal sebentar nggak apa, 'kan?." "Boleh Mbak, silahkan." Berhubung waktu sudah maghrib, Nada memutuskan untuk ibadah sebentar. Dia kembali ke area kampus memanfaatkan maskam di sana. Langit sudah menggelap sempurna saat gadis itu keluar dari masjid. Masih disambut rintik-rintik gerimis dengan hawa Dingin menembus tubuhnya. Dia masih tertahan di sana, berharap saat kembali ke bengkel Saga sudah meninggalkan tempat itu. Di mana pun asa kakak senior itu, rasanya hidup Nada tidak tenang. Seolah ada sesuatu yang terpendam harus ditumpahkan. Gadis itu berlari-lari kecil untuk menghindari rintik hujan yang belum juga reda. Dia menyesali kembali terlalu awal karena kenyataannya pria itu masih tertahan di sana. Berdiri di luar sembari menghirup rokoknya. Berhubung Saga di luar, Nada beralih mengambil duduk di kursi tunggu. "Duh ... kok ini cowok belum selesai juga. Ini kenapa sepi banget, tukang bengkelnya pada ke mana?" batin Nada bertanya-tanya. Tengah waktu maghrib, mungkin saja sedang ibadah dulu. Sedangkan mau bertanya dengan Saga jelas dia malas. "Eh, mau ngapain?" tanya Nada langsung berdiri menggeser kursinya. Pria dingin itu tidak bersuara sama sekali, melainkan mengambil korek di meja lalu kembali menyingkir. Berdiri menyender dinding dengan satu kaki ditekuk menghadap tembok. Mulutnya penuh kepulan asap hingga membuatnya sangat tidak nyaman. "Uhuks! Uhuks!" Nada terbatuk-batuk sembari mengibaskan tangannya. "Pak, punya saya sudah dibenerin belum ya." "Hampir selesai Mbak," jawab tukang servis itu kembali menyibukan diri. Nada menunggu sampai waktu isya, dia langsung pamit setelah melakukan pembayaran. Anehnya, kenapa Saga sedari tadi justru tidak pulang. Padahal pria itu seharusnya selesai lebih dulu. "Uang pas saja Mbak, nggak ada kembalian," ujar pemilik bengkel saat Nada melakukan pembayaran. "Nggak ada uang chas Pak, cuma bawa ini aja. Gimana ya," ujar gadis itu galau. Tiba-tiba Saga mendekat, menyodorkan pembayaran untuk mereka berdua. Tetapi pria itu justru diam saja, tidak konfirmasi apa pun. Keluar setelah merasa urusannya selesai. Dasar pria aneh, sok cool sok cuek dan pada kenyataannya memang tidak pedulian. "Pak, bisa tf nggak ya, soalnya cuma bawa uang chas segitu." "Sudah dibayar sama Mas Saga, Mbak." "Hah, serius?" "Iya beneran, tinggal bawa aja motornya." "Terima kasih Pak," ucap Nada sebelum beranjak. "Terima kasihnya sama Mas Saga saja," ujar pria itu mengingat semua dibayarkan olehnya. Nada keluar menghampiri Saga yang masih stay dengan motornya. Pria itu tengah mejajakan motor barunya. "Makasih, kirimkan nomor rekeningmu. Biar aku ganti," ucap Nada dengan terpaksa. Ya kali harus berhutang budi dengan pria ini, malas sekali. Semoga ke depannya tidak ada lagi sesuatu yang berurusan dengannya. Lagi-lagi pria itu tidak menjawab, membuat Nada tercenung dibuatnya. Berasa ngomong dengan angin, terparah dia langsung melajukan motornya tanpa menjawab sepatah kata pun. Sangat menyebalkan, berbeda sekali dengan saat mengisi materi. "Ya ampun ... nggak jelas banget tuh cowok," dumel Nada kesal. Berlalu melajukan motornya meninggalkan bengkel. Suasana sudah tidak hujan tetapi gelap lantaran sudah malam. Perempuan itu melajukan motornya tepat di belakang Saga. Sebenarnya dia butuh cepat sampai rumah, tetapi perjalanan malam membuatnya tidak begitu lihai. "Nyalip nggak ya," batin Nada mengingat motor Saga melaju pelan. Seolah sengaja menunggunya walaupun tidak janjian."Kamu nge-prank aku?" tanya pria itu tidak percaya begitu saja. "Mana ada, emangnya sakit bisa buat becandaan. Eh, mama kamu telfon," gumam Nada mendapati layar ponselnya berkerlip. Kebetulan yang menakjubkan, ibu mertuanya memang selalu ada di saat yang tepat. Nada memang sedikit tidak nyaman, tetapi masih cukup aman. Nada hanya malas kalau disuruh belanja sebanyak itu untuk memenuhi post belanjaannya yang seabrek. Kenapa harus Nada yang repot sendirian, sementara pria itu enak-enakan menunggu sambil makan. Kebetulan Nada paling malas belanja kalau tidak penting-penting amat. Jaman sekarang semua bisa dichek out dari rumah, tidak usah terlalu repot. "Mana, kamu kali yang menghubunginya. Awas ya ngadu macam-macam," ucap Saga memperingatkan. Bisa kena omel tujuh hari delapan malam kalau tahu tidak respect dengan istrinya. Nada langsung menerima panggilan dari ibu mertuanya. Kebetulan banget putranya hendak menindasnya, jadi dia harus sedikit mendrama untuk menyelamatkan dir
Sejak kedatangan Saga, Nada sudah mencium aroma tidak setuju, sayangnya jawaban Saga di luar ekspektasinya. Pria itu justru mengiyakan dengan senang hati. Hal itu membuat Nada makin bersusah hati. "Terima kasih banyak Kak, atas waktunya. Jadi ini kapan nih bisa mulai langsung kontek Kak Saga." "Mulai besok juga bisa, siapa yang buat script." "Nada Kak, mungkin nanti Nada akan wawancarai Kakak juga. Untuk waktunya lebih cepat lebih baik." "Owh Nada yang jadi penulisnya, oke, nanti bisa dibicarakan kapan waktunya. Nada sudah tahu nomor saya kan?" tanya pria itu terseyum manis sekali. "Iya," jawab Nada mengangguk datar. Tadi pagi saja bikin dia nangis-nangis, eh sekarang malah harus ketemu di kampus, parahnya menjadi Nara sumber projectnya. Apakah dunia sebecanda ini. Di dunia ini ada banyak sekali orang pintar dan sangat berkompeten, kenapa harus suaminya yang minim akhlak, galak, dan menyebalkan ini. Seketika anak-anak di sana merasa bersyukur karena Kak Saga menerimanya
Gegara kamar dikuasai pemilik rumah, Nada jadi tidak leluasa di ruang kamarnya. Dia sedang bersiap-siap pergi ke kampus. Memastikan barang bawaan hari ini tidak ada yang ketinggalan. "Aku juga mau ke kampus, tungguin Nad, berangkatnya bareng." "Bukannya Kak Saga sakit?" "Tadi pagi iya, tapi sekarang aku sehat walafiat." "Bisa gitu ya? Jangan-jangan tadi cuma acting." "Acting sakit untungnya apa, kalau ada obatnya mending aku bayar mau berapa pun. Atau tukar posisi deh, aku yang hamil kamu yang ngalamin semua gejalanya." "Sudah gitu tahu susahnya calon ibu kenapa masih suka ngeles kalau ini anak kamu." "Ragu boleh kan? Eh, ya ngomong-ngomong, kamu sudah putusin Aksa kan?" tanya pria itu kepo maksimal. "Hmm, bukan karena kamu," ralat Nada cepat. Jujur, jika ada kesempatan kedua di masa yang akan datang, Nada ingin mengulang kisah romantis bersama Aksa dalam balutan cinta yang halal. Walaupun saat ini dia sama sekali tidak berani berharap. Apalagi memberikan celah unt
Rasanya Saga sudah tidak tahan dan hampir menelfon ibunya tentang kondisinya saat ini. Sekaligus mengadukan kelakuan Nada yang tidak bersikap layaknya seperti istri. Namun, semua itu Saga urungkan sebab posisi mereka sekarang pisah kamar. Orang tuanya pasti akan mengomel balik lantaran tidur sendiri-sendiri. Saat situasi seperti ini, jelas dia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri. Dengan tertatih pria itu mengetuk pintu kamar Nada yang masih terkunci. Sebenarnya Nada malas sekali keluar. Apalagi hati ini memang tidak ada kuliah pagi. "Apalagi sih tuh orang, tidak pagi, siang, malam, nggak bisa apa tenang sedikit," dumel Nada kesal. Biarpun demikian, Nada tetap membukan pintu untuknya. Menyiapkan hati dan telinganya lantaran pria itu suka berkata yang kemungkinan akan menyakitinya lagi. Baru juga membuka pintu, Nada dikagetkan dengan wajah Saga yang pucat pasi. Terlihat tidak baik-baik saja di depannya. "Nad," panggilnya lirih tak ada tenaga. "Kak Saga sakit?" tanya Nada iba. K
Nada itu ibaratnya sudah di level pasrah, mau Saga melakukan apa pun dia tidak mau melarang atau pun memohon. Sama saja toh kalau seandainya bubaran sekarang sama nanti setelah melahirkan, ujung-ujungnya tetap hanya istri sementara. Bukan itu sebenarnya yang Nada khawatirkan, dia sudah cukup aman dengan status pernikahannya walaupun sebentar. Setidaknya menyelamatkan kehamilannya dari gunjingan banyak orang walaupun pasti mentalnya dipermainkan. Itu lah sebabnya Nada tidak ingin menyembunyikan status pernikahan mereka dengan siapa pun. Ya, walaupun tetap, dia tidak mempublikasikan hubungannya dengan Saga. yang penting tahunya Nada sudah menikah walaupun tidak jelas suaminya siapa. Berat jadi dia, tentu tidak ada orang yang mau dalam posisinya sekarang. Kehilangan sesuatu paling berharga dengan orang yang tidak dikenal, ditambah meninggalkan jejak di rahimnya. "Yakin banget kalau orang tua kamu nggak akan marah sama kelakuan putrinya. Bagaimana kalau hal itu membuat orang tuaku
"Nad, kenapa diem aja, tolong jangan nangis," ucap Aksa mendekat. Tidak bisa menahan diri untuk membiarkan kekasihnya bersedih. Pria itu mengusap air mata yang membasahi pipinya, tetapi justru itu yang membuat Nada makin terasa lara. Dia sedikit memberi jarak, takut tidak bisa menahan perhatian yang makin membuat hatinya nelangsa. "Katakan sesuatu, kenapa ini bisa terjadi? Musibah apa, Nad? Apa kamu dijodohkan?" tandas pria itu lembut. Berusaha menenangkan Nada yang semakin tergugu. Nada terdiam, tidak mungkin rasanya dia mengatakan aib dirinya. Biarpun itu tidak disengaja dan pyur musibah, tetap saja dia merasa rendah diri. Aksa pasti akan lebih kecewa kalau tahu kejadian yang sebenarnya. Biarlah tetap seperti ini, dia hanya ingin perpisahan secara damai. "Mas, itu ceweknya kenapa dibikin nangis gitu?" tanya seseorang yang kebetulan ada di sekitar sana. Rupanya sangat penasaran dengan pasangan muda mudi itu. Nada yang mendengar itu langsung tersadar bahwa dia sedang di