Tiga hari setelah kejadian tersebut, Ziea merasa aman. Rahasianya– malam kelam itu, bisa ia sembunyikan dari kedua orang tua dan Kakaknya. Kebetulan saat kejadian, orang tuanya masih di luar negeri. Sedangkan Kakaknya ke luar kota untuk bisnis.
Ziea juga tidak pernah bertemu dengan seseorang itu selama tiga hari ini. Ziea aman!Saat ini Ziea sedang bersama Kakaknya, dia dipaksa ikut oleh kakaknya– menemani sang Kakak untuk membeli buku. Cik, entah buku apa. Namun, kesannya Haiden--kakaknya-- terkesan memaksa agar Ziea bisa ikut."Kenapa ke sini, Kak?!" pekik Ziea, sudah berkeringat dingin dan gugup setengah mati ketika Haiden malah membawa Ziea ke kediaman Azam.I--ini rumah keluarga pria itu!Ziea takut bertemu dengannya. Dia sangat takut! Tolong Ziea."Reigha sudah pulang dari Paris, Kakak ingin bertemu dengannya.""Trus hubungannya denganku apa? Penipu! Kakak bilang ingin ke toko buku. Aaaargk!" Ziea menjerit histeris, antara kesal pada Kakaknya dan panik karena takut bertemu dengan pria itu.Tidak, tidak! Ba--bagaimana jika pria itu ingat dengan kejadian saat malam itu?! Dia bisa menuntut Ziea dan beranggapan jika Ziea adalah perempuan nakal serta Bitch kurang belaian.Ditambah Ziea sangat mengaguminya dahulu, pria itu dengan mudah menuduh Ziea bukan?!"Cik, lebay sekali!" Haiden menyumpal mulut adiknya dengan hiasan buah jeruk yang ia temukan di mobil. Itu membuat Ziea terdiam dan semakin dongkol pada sang Kakak, "harusnya kau senang. Karena apa? Yah, Kakakmu yang baik hati ini akan mempertemukanmu dengan Cinta diam-diammu, setelah kalian berpisah lima tahun lamanya.""Kak, itu sudah lama. Aku tidak suka dengan dia lagi. Dan lagian aku juga sudah punya pacar," dongkol Ziea, menolak turun dari mobil.Namun dengan gilanya Haiden menariknya secara paksa dan menggendongnya masuk ke dalam mansion mewah dan megah tersebut.Sampainya di rumah itu, barulah Haiden menurunkan Ziea. Namun, Haiden sama sekali tak melepaskan tangannya dari genggaman adiknya. Dia terus menarik Ziea agar ikut dengannya."Haiden, Ziea, ayo kemari, Sayang," panggil seorang wanita paru baya yang masih begitu terlihat cantik serta awet muda– Satiya, mommy dari pria yang sangat Ziea takuti.Dengan tersenyum malu-malu, Ziea dan Haiden menghampiri wanita itu. Mereka menyalim tangannya kemudian ikut bergabung dengan sepupu mereka yang lain.Keluarga Ziea berkerabat baik dengan keluarga Reigha, dan faktanya Reigha adalah sepupu Ziea dan Haiden."Woi, Ziea, kau semakin cantik.""Jarang terlihat, sekarang kau sudah besar ternyata."Ziea hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai jawaban celutukan para sepupunya. Dalam hati, Ziea merapalkan doa supaya tidak bertemu dengan pria itu– Reigha! Tidak! Ziea sudah berjanji pada dirinya untuk tak bertemu dengan pria itu lagi.Diam-diam Ziea menoleh ke sana kemari, memastikan pria yang dia takuti tersebut ada di mana. 'Dia kan introvert akut. Jadi dia tak mungkin keluar dari kamarnya. Haaaah, aku selamat sepertinya.' batin Ziea, menghela napas secara pelan."Ziea, kau sedang apa berdiri di situ? Duduklah."Ziea tersenyum kikuk dan lagi-lagi menganggukkan kepala dengan pelan. Dia menoleh ke sana kemari, mencari tempat duduk untuknya. Beberapa sepupunya duduk di lantai dan ada juga yang duduk di sopa. Mereka membentuk kelompok. Itu biasa terjadi.'Aduh, aku malas sekali. Mending aku jaga cafe daripada kumpul di sini. Yara juga tidak ada. Hais.' batin Ziea dengan air muka muram, bingung akan duduk di mana. 'Ini lagi! Dasar penipu!' kesal Ziea sembari menoleh pada kakaknya yang masih berdiri, berada tepat di sebelah Ziea dan tengah mengetik sesuatu di ponselnya.'Aku duduk di mana yah? Gabung dengan Kak Rafael, bicaraan mereka terlalu ngeri. Gabung dengan sepupu yang cewek, kerjaan mereka menggosib terus.' batin Ziea, mengulurkan tangan ke sopa di sebelahnya– berniat untuk bertopang tangan di sana. Namun, kenapa tangannya seperti memegang rambut?Ziea spontan menoleh ke sebelahnya. Matanya langsung membelalak, menatap syok dan kaget pada pria yang ia pegang kepalanya tersebut.Reigha Abbas Azam! Pria yang sangat Ziea takuti dan sekaligus pria yang merampas mahkotanya di malam itu."Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma