Sudah beberapa hari sejak kejadian hari itu, Anne belum pernah bertemu Leon lagi. Setiap hari, hanya Lina yang menemaninya. Gadis itu masih tampak lemah, tapi jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Lina yang mengurus semua keperluannya dari mulai makan, minum obat, sampai menemani jalan sore di taman belakang mansion.Semua itu tentu dia lakukan atas perintah dari Leon. Majikannya itu bahkan sudah memberikan bonus besar untuk Lina, agar ia melayani Anne dengan baik, dan merahasiakan tentang rencana Leon dari siapa pun.Sedangkan Leon, ia benar-benar menepati ucapannya. Ia tidak mendekati Anne sama sekali, meskipun setiap hari ia tetap mengawasinya dari jauh. Ia tahu setiap langkah Anne, tahu jam tidurnya, bahkan tahu kapan Anne mulai bisa tersenyum sedikit lagi. Ia hanya tidak bisa menatapnya langsung.Tapi selama itu pula, diam-diam Leon terus mengirimkan hal-hal kecil dan kejutan untuk Anne.Ia mengirimkan bunga segar di meja makan. Kotak cokelat di dekat ranjang. Dan kali ini, ada
“Anne, tenang dulu. Aku tidak akan menyakitimu.” Leon mengulurkan tangannya hendak meraih tangan Anne.“Pergi!”Suara napas Anne masih tersengal-sengal. Tatapannya liar, seperti binatang yang baru saja keluar dari jerat. Ketika Leon hendak mendekat, tiba-tiba gadis itu menjerit lagi dan meraih benda apa pun yang bisa dijangkaunya di atas nakas.“Jangan dekati aku!”Prang!Tanpa peduli pada infus yang masih menancap di punggung tangannya, Anne melempar vas bunga itu tepat ke arah Leon. Pecahannya beterbangan dan nyaris mengenai wajah pria tampan itu.“Anne, hentikan!”“Keluar!” teriak Anne histeris. Suaranya pecah, parau, penuh amarah dan ketakutan.Leon tak bergerak. Tatapan matanya membeku, antara kaget, merasa bersalah, dan tak percaya. Ia hanya mampu menatap gadis itu lekat-lekat.“Aku tidak akan menyakitimu lagi, Anne. Aku janji.”Namun, Anne sudah terlalu jauh dalam ketakutannya. Tubuhnya gemetar hebat, dan wajahnya penuh air mata. Ia menutup telinganya dan meringkuk di pojok ran
“Hey budak, kenapa kau tidak bangun juga? Apa kau tidak ingin melayani Tuanmu ini, hah?” Leon menatap wajah Anne lekat-lekat.Sudah dua hari berlalu sejak kejadian di ruang bawah tanah itu, dan Anne belum juga sadar. Tubuh gadis itu masih lemah, wajahnya pucat seperti sosok yang tak bernyawa. Berbagai peralatan medis masih terpasang di sisinya.Sementara itu di sisi ranjang, Leon masih setia duduk menunggunya di sana. Lingkar hitam mengitari matanya karena dua malam penuh ia tak tidur. Hanya sesekali Leon terpejam, tapi setelah itu ia akan terbangun kembali.Suara alat medis berdenting pelan di antara sunyi. Leon menatap jarum infus yang menetes lambat, seolah menghitung detik demi detik harapan yang tersisa untuk gadis itu.“Hey, bangun,” gumamnya lirih sambil menggenggam tangan gadis itu yang terasa dingin. “Aku tidak tahu harus marah atau takut kehilanganmu.”Ia menghela napas panjang, lalu memanggil pelan.“Lina!”Lina yang sejak tadi sedang berdiri di depan pintu, kini segera mas
Suara Leon menggema ke seluruh ruangan lembap itu, memantul di dinding batu yang dingin dan berlumut. Ia segera berlari dan berlutut di samping tubuh Anne yang tergeletak tak bergerak. Wajah gadis itu sudah tampak sangat pucat.“Anne, bangun! Kau dengar aku?” teriak Leon lagi dengan suaranya yang serak.Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi Anne yang terasa sangat dingin. Ia menepuk-nepuk pipi Anne perlahan, tapi tidak ada reaksi sama sekali.Dada Leon rasanya sesak, seperti ada batu besar yang menindihnya. Napasnya tersengal, dan matanya menatap lekat pada luka di kepala gadis itu.Darah sudah mengering, membentuk garis gelap di pelipis. Di sebelahnya, sudut meja batu juga tampak berlumur darah segar yang mulai mengering.“Anne, dia membenturkan kepalanya sendiri?” tanya Leon pada dirinya sendiri dengan gemetar.“Apa yang kau lakukan, Bodoh.” Leon berbisik, suaranya hampir tak keluar.Ia kembali menepuk-nepuk wajah Anne dengan panik dan berharap ada sedikit gerakan, helaan napas, a
Dada Leon berdebar sangat kencang dan terasa sesak. Ia menatap layar itu sangat lama. Rahangnya mengeras, giginya gemeretak, dan jemarinya mengepal hingga buku jarinya memutih.“Apa maksudnya ini? Permainan apa?” gumamnya dengan suara bergetar oleh kebingungan dan amarah yang terpendam.Kalut menguasai pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Leon segera menekan tombol panggil interkom di meja kerjanya.“Jonathan, ke kamarku sekarang. Dan panggil Dev juga.”Tak butuh waktu lama, ketukan pelan terdengar di pintu. Jonathan masuk lebih dulu dengan langkap tegapnya, diikuti seorang pria berjaket hitam dengan laptop di tangan. Dev, sang hacker andalan kepercayaan Leon.“Tuan Leon, apa yang terjadi?” tanya Jonathan dengan hati-hati.Leon melemparkan ponselnya ke meja. Ia memegang dagu dan menopang sikunya di pegangan kursi.“Baca sendiri.”Jonathan dan Dev mencondongkan tubuh untuk membaca pesan di ponsel Leon. Dev menatap layar ponsel itu dengan alis terangkat naik.“Pesan anonim, tanpa ID peng
“Akh, sakit!” pekik Anne meronta-ronta, tetapi tangannya tetap dicengkeram kuat oleh Martha.Suara langkah sepatu Martha bergema di lorong bawah tanah yang lembap. Tangannya masih setia mencengkeram lengan Anne dengan kasar, dan menyeret gadis itu menuruni tangga batu.“Ayo cepat ikut! Tidak usah banyak melawan!” sentak Martha kasar.“Lepaskan aku, Martha! Aku tidak salah apa-apa!” jerit Anne yang masih terus berusaha melepaskan diri. Tapi Martha justru menariknya lebih keras.“Diam!” bentak Martha. “Kau pikir Tuan Leon akan memaafkanmu setelah kau menghancurkan kepercayaannya? Kau sudah mengkhianati Tuan Leon, dan kau masih berani-berani bilang kalau kau tidak bersalah?”Anne terus saja menangis karena dibentak oleh Martha, yang kini sudah menyeretnya semakin kasar.Tak lama, mereka pun akhirnya tiba di ruang gelap beraroma apek, di mana dindingnya lembab dan lantainya basah. Martha membuka pintu ruangan itu dengan kasar.Suasana sangat mencekam, dan gelap pekat. Tubuh Anne gemetar,