Masuk"Kau masih terlalu lemah untuk melawan ku!" Kata kata itu membuat Ashura benar benar frustasi namun, apa yang dikatakan Pria itu adalah kebenaran. Sebelum memulai jalan balas dendam ini, pastinya Ashura terlebih dahulu membangun kekuatan, tetapi ketika ia mulai memilih jalan balas dendam? ia juga harus siap kehilangan orang yang disayanginya. ketika balas dendam membutakan seluruh mata dan kebenaran yang ada, namun pilihan tak dapat lagi ia rubah. Apakah Ashura mampu menangani nya dan membalas semua dendam nya? dan siapakah pria itu hingga membuat Ashura benar benar frustasi hanya karena kata katanya?
Lihat lebih banyakAku duduk di bangku taman sekolah, menikmati sejuknya udara pagi. Tiba-tiba, bayangan-bayangan gelap muncul, menutupi sinar matahari. Razik, Ojan, Febri, dan Teddy. Mereka datang, dan aku tahu hari ini tidak akan menjadi hari yang baik.
"Apa yang kau lihat?" kata Razik, suaranya dipenuhi nada mengejek. "Kau pikir kau bisa melarikan diri dari kami?" Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk, mencoba menyembunyikan rasa takutku. Tapi mereka tidak peduli mereka terus mengejekku, menertawaiku, dan menghina orang tuaku. Aku merasa sakit, dan aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan mereka. Aku membeku di tempatku, tak bisa bergerak, tak bisa berucap. Kata-kata mereka terasa seperti batu yang dilemparkan ke dadaku. Razik menendang tas punggungku hingga isinya berhamburan. Teddy menertawakan buku-buku yang jatuh. Ojan dan Febri mendorongku sampai aku tersungkur di tanah. Mereka menertawakanku, melihatku yang tak berdaya. Aku merasa begitu kecil dan tak berguna. Aku menutup mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, saat aku membuka mata, aku tidak lagi melihat mereka sebagai monster. Aku melihat mereka sebagai orang-orang bodoh yang tidak punya hati. Rasa sakit yang kurasakan berubah menjadi kemarahan. Aku tahu, aku tidak bisa melawan mereka, tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengalahkan ku. Aku bangkit, mengambil buku-buku yang berserakan lalu berjalan menjauh. Mereka menertawakan ku, mengira aku menyerah tapi mereka salah, aku tidak menyerah aku hanya mundur, dan aku tidak akan pernah kembali. Aku masuk ke ruang kelas dan duduk di bangku ku. Napasku masih memburu, tapi aku berusaha terlihat tenang, aku mengeluarkan buku dan alat tulisku mencoba mengabaikan tatapan sinis dari Razik dan teman-temannya. Bel berbunyi, dan guru pun masuk. Pelajaran pun dimulai. Aku merasa lega. Setidaknya, untuk sementara waktu aku aman dari mereka. Mereka tidak akan berani melakukan apa pun di depan guru. Aku tahu, ini hanya sementara setelah pelajaran selesai, mereka akan kembali. Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan menemukan cara untuk melawan mereka tanpa harus berhadapan langsung. Bel istirahat berbunyi nyaring seperti yang kuduga, itu adalah aba-aba bagi mereka untuk melanjutkan teror. Aku melihat mereka berdiri dengan senyum mengejek di wajah mereka, bersiap menghampiriku. "Sekarang, tidak ada guru," bisik Razik. "Mau lari kemana kau?" Aku tidak menjawab aku menunduk, pura-pura membereskan buku-buku ku, mencoba mengulur waktu. Jantungku berdebar kencang aku tahu, jika aku tidak melakukan sesuatu, ini akan menjadi mimpi buruk. Pikiranku berputar cepat aku harus melakukan sesuatu. Apakah aku akan lari ke guru bimbingan konseling? Atau aku akan mencari bantuan dari teman-temanku? Tapi siapa yang mau membantu anak lemah sepertiku? Tidak, aku tidak bisa lari. Itu hanya akan membuat mereka semakin kuat, aku harus melawan mereka, tapi bagaimana? Mereka mengelilingiku, masing-masing melontarkan kata-kata yang menusuk hati. "Dasar lemah!" ejek Razik. "Beraninya cuma di kelas!" timpal Febri. Sementara Ojan dan Teddy menepuk-nepuk pundakku dengan keras, seolah aku adalah boneka mereka. Aku mencoba menahan diri, tapi rasanya seperti ada gunung berapi di dalam dadaku yang siap meletus. Setiap sentuhan, setiap kata, membuatku semakin tertekan. Aku mengepalkan tanganku, kukunya menusuk telapak tanganku sendiri. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku berdiri tegak aku tidak lagi menunduk, aku menatap mata Razik. Keheningan menyelimuti ruangan mereka terkejut, mereka tidak menyangka aku akan berani menatap mereka. Wajah Razik berubah menjadi marah ia melangkah maju, siap untuk melayangkan pukulan. Tapi aku tidak peduli aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, aku hanya ingin membebaskan diri dari mereka. Razik menatapku dengan mata penuh amarah, namun wajahnya tetap menampilkan senyum sombong. Ia melangkah mendekat, tubuhnya yang lebih besar membuatku merasa kecil. "Kenapa diam?" bisiknya, suaranya dipenuhi nada mengejek. "Kau mau bilang apa? Mau mengadu pada guru? Ayolah, katakan sesuatu!" Aku hanya bisa terdiam. Aku ingin membalasnya, aku ingin mengatakan bahwa aku tidak akan menyerah. Tapi suaraku tidak mau keluar, aku hanya bisa menatap matanya dan di matanya aku melihat bayangan diriku yang penuh amarah. Aku tak tahan lagi, aku sudah muak, aku tak mau lagi hidup dalam ketakutan. Aku melayangkan tinjuku sekuat tenaga, wajah sombong Razik yang semula penuh ejekan berubah menjadi terkejut. Pukulan ku mendarat di wajahnya, membuat ia terhuyung mundur. "Jangan pernah sentuh aku lagi!" teriakku, suaraku serak dan penuh amarah. "Atau akan kubun*h kalian semua!" Keempatnya terdiam mereka tak menyangka aku akan melawannya. Mata mereka kini dipenuhi rasa takut dan aku tahu, aku telah menang. Sejenak, ada keheningan. Wajah mereka yang terkejut membuatku merasa menang. Tapi itu hanya berlangsung sepersekian detik. Tiba-tiba, senyum-senyum mengerikan muncul di bibir mereka. "Ohhh, dia berani juga ya," kata Razik sambil menyeka darah dari sudut bibirnya. Matanya menyala penuh amarah, bukan ketakutan. "Bagus. Aku suka anak yang berani." "Habisi dia!" teriak Teddy. Mereka berempat maju serentak pukulan dan tendangan datang dari segala arah. Aku mencoba melawan, tapi aku kalah jumlah dan kekuatan aku jatuh terhuyung, mencoba melindungi wajahku, tapi mereka terus menghajarku. Aku merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhku. Aku hanya bisa meringkuk di lantai, menerima setiap pukulan rasa sakit ini, rasa takut ini, semuanya terlalu nyata. Mereka tidak peduli jika aku terluka, atau bahkan jika aku m*ti. Aku merasa kalah semua keberanianku menguap, digantikan oleh keputusasaan. Aku tidak bisa mengalahkan mereka, aku terlalu lemah. Tiba-tiba, suara bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah berakhir. Mereka berhenti lalu pergi, meninggalkan aku tergeletak di lantai. Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku terasa terlalu sakit. Sisa jam pelajaran terasa kabur aku hanya duduk di bangku, mencoba mengabaikan sakit di sekujur tubuhku dan pandangan sinis dari Razik dan teman-temannya. Aku tidak bisa berkonsentrasi, pikiranku terus kembali ke momen di mana aku dikeroyok. Bel pulang berbunyi, dan semua orang berhamburan keluar. Aku berjalan perlahan, mencoba menyembunyikan luka-lukaku. Aku tidak tahu harus ke mana, aku takut jika mereka kembali menghajarku.Bugh! Brak!Aku jatuh ke lantai. Kepalaku terasa berdenging, tubuhku lemas. Aku mencoba bangkit, tetapi tenagaku terkuras habis. Latihan yang kupelajari tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pelatihan bertahun-tahun yang diterima Nico dari Golden Circle.Aku terkapar, kelelahan. Di sampingku, Rio dan Bagus juga terengah-engah, tidak berdaya. Kami bertiga kini hanya bisa melihat Nico.Nico berdiri di atasku. Dia tidak terlihat lelah sama sekali. Dia merapikan kerah kemejanya yang sedikit berantakan karena pukulan kejutan tadi. Itu adalah satu-satunya tanda bahwa aku berhasil memberinya perlawanan."Sudah selesai," kata Nico, suaranya kembali datar dan dominan. "Kalian membuktikan bahwa kalian punya keberanian, tapi bukan kecerdasan bertarung."Dia melirik ke pemantik yang masih ada di tangannya."Kalian membuatku membuang waktu. Sekarang, kalian akan membayar harganya."Tepat ketika Nico berjalan ke arah pintu dan meng
Rio, dengan naluri bertarung yang kuat, memahami maksudku. Dia menyeret kursinya dan menggunakan tenaganya untuk menggesekkan tali yang mengikat pergelangan tangannya ke tepi kursi logam Bagus yang tajam. Bagus, dengan kecerdasannya, segera meniru gerakan itu.Aku merasakan tali di pergelangan tanganku mulai melonggar dan menipis. Bau bensin membuat pernapasan terasa berat, menambah tekanan pada upaya melarikan diri ini.Srett!Tali di pergelangan tangan Rio putus lebih dulu."Kita tidak lari keluar!" teriakku, sambil berdiri tegak. "Kita cari Nico! Dia yang tahu di mana kita!"Rio dan Bagus mengangguk. Mereka tahu ancaman di luar sana lebih besar daripada ancaman di ruangan ini. Rio segera mengambil pisau lipatnya dan menghampiri dua penjaga yang mencoba bangkit, Bagus mengambil kesempatan itu dan berlari ke pintu."Ikuti aku!" seru Bagus, yang sudah menganalisis tata letak ruangan itu. "Toilet adalah jebakan! Kita harus naik!"
Sekarang, hanya aku yang tersisa. Sosok ketiga bergerak mendekatiku. Aku tahu melawan secara fisik adalah hal yang bodoh. Aku mencoba melarikan diri, tapi koridor itu terasa seperti perangkap. Tangan bersarung tangan meraih lenganku, dan aku merasakan sensasi menusuk yang tajam. Dunia mulai berputar, suara-suara menjadi kabur.Hal terakhir yang kulihat sebelum kegelapan merenggutku adalah wajah dingin salah satu penculik. Mereka membawa kami pergi, satu per satu, tanpa meninggalkan jejak.Aku membuka mata. Kepalaku pusing dan badanku terasa kaku. Cahaya samar dari sebuah lampu tunggal di langit-langit menyambutku. Kami berada di sebuah ruangan beton kosong yang dingin. Rio dan Bagus sudah ada di sana, terikat di kursi logam yang berbeda, tampak sama bingungnya denganku.Tepat di depan kami, duduk dengan tenang di atas meja kayu, adalah Nico. Dia tidak memakai seragam sekolah. Dia mengenakan kemeja gelap yang rapi. Di tangannya, dia memegang selembar kertas
"Tepat," balasku, lalu menoleh ke Bagus. "Aku butuh analisismu, Bagus. Kau yang paling ahli dalam strategi. Saat kau lihat Nico menyerang Rio, apa yang kau pelajari?"Bagus mengangguk. "Serangannya cepat, brutal, dan efisien. Tapi ada yang lebih penting: Dia tidak bertarung untuk melukai, dia bertarung untuk membaca. Dia mengukur kekuatan dan kelemahan Rio hanya dengan satu pukulan. Dia tahu di mana kelemahan emosional Rio, dan dia mengeksploitasinya. Dia adalah petarung yang menggunakan otaknya sebagai senjata utamanya.""Maka kita harus menyerang kelemahannya yang sesungguhnya," kataku, memandang mereka berdua. "Bagus, strateginya kuserahkan padamu. Kita tidak bisa menghadapinya sendirian. Kita harus menyerang Golden Circle, orang-orang di balik Nico, dan merusak image sempurna yang dia bangun."Bagus menyipitkan mata. "Serangan pada reputasi? Itu bisa jadi bumerang.""Kita harus ambil risiko," ujarku dingin. "Kita punya Rio sebagai kekuatan fis
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan