SUAMIKU MANTAN GENGSTER

SUAMIKU MANTAN GENGSTER

last updateLast Updated : 2025-11-12
By:  DOMINOUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
9Chapters
9views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Belasan tahun hidupnya hanya diisi air mata dan lelah—tenaga serta uangnya habis diperas suami yang tak pernah peduli. Hingga suatu malam, ia nekat pergi membawa serta balitanya yang baru berusia tiga tahun. Tak disangka, pelariannya justru mempertemukannya dengan sekelompok gangster. Bukannya celaka, ia justru ditolong. Dan di balik tatapan dingin sang ketua geng, terselip perhatian yang sulit ia abaikan. Namun, benarkah hati wanita yang hancur itu bisa kembali percaya… bahkan pada pria yang hidup di dunia penuh bahaya?

View More

Chapter 1

1. Pertengkaran

Wanita itu berdiri kaku di ujung meja kusam, matanya sayu menatap pria di depannya. Lingkar hitam menggantung di bawah matanya, dan kerutan kecil di keningnya menandakan beban yang terlalu lama dipikul.

Ia mendekap erat anak balitanya yang mulai gelisah, tubuh mungil itu menggeliat dalam pelukannya.

“Sudah aku bilang… aku sudah nggak ada uang lagi, Mas. Sisa gaji kemarin pun sudah kamu ambil semua,” suaranya pelan, namun serak seperti menahan tangis.

“Aku juga bingung... cicilan-cicilan itu... aku juga yang harus mikirin.” Tangannya sibuk menepuk pelan punggung si kecil, berharap tangisan tak pecah di tengah ketegangan ini.

BRAAKK!

Suara meja digebrak memekakkan telinga. Gelas plastik di atasnya loncat dan jatuh terguling ke lantai. Amel tersentak, tubuhnya gemetar.

“ARRGGHH! Banyak alasan aja lo!” teriak pria itu, urat lehernya menegang, wajahnya merah padam, dan matanya membelalak.

“Cicilan... itu juga lo yang pinjem, kan?! Wajar dong, kalau lo yang bayar! Jangan ngeluh ke gue!”

Dia memejamkan mata sejenak, mengatur napas yang mulai tersengal. Dia menggeleng perlahan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap tenang.

“Hufft...” desahnya. Ia menyeka keringat di pelipis dengan punggung tangan yang mulai bergetar.

“Aku capek ngomong sama kamu... percuma. Kamu nggak pernah denger.”

Si kecil mulai menangis pelan. Dia mendekapnya erat, membungkuk sedikit sambil membisikkan sesuatu yang nyaris tak terdengar.

Tangannya mengelus rambut anaknya, meski dirinya sendiri hampir runtuh. Namun pria itu tak berhenti. Ia maju satu langkah, suaranya kembali meninggi.

“Lo pikir uang gue nggak ke pake buat bayar cicilan juga, hah?! Suami minta duit nggak pernah ada! Lo kerja, kan?!” Dia terdiam, menatapnya tajam, seolah menunggu pembelaan darinya. Tapi dia hanya menunduk.

“Apa susahnya sih nyiapin uang buat gue?” lanjut si pria itu.

Dia tetap diam, suaranya seperti hilang di tenggorokan. Ia tahu, tak ada kata yang bisa mengubah apa pun malam itu.

Tanpa menjawab, ia perlahan memutar tubuhnya. Kakinya melangkah menjauh, membawa tubuh lelahnya keluar dari ruangan yang seolah semakin pengap.

Tangan kirinya menopang anaknya yang mulai terlelap lagi dalam pelukannya.

Di dalam kamar yang remang, dia duduk bersandar pada dinding yang dingin. Lantai ubin menyerap dingin tubuhnya, tapi ia tak peduli.

Matanya basah. Tetes demi tetes air mata mengalir, tanpa suara, tanpa jeda. Tangisnya akhirnya pecah. Terisak pelan, lalu dalam. Seisi kamar yang sunyi hanya dipenuhi suara isakan tertahan.

Sudah belasan tahun ia menikah, tapi bukan kebahagiaan yang mengisi hari-harinya. Yang tinggal hanya luka yang tak pernah sembuh, dan luka baru yang terus ia rasakan.

Dipangkuannya, sang anak tidur nyenyak. Wajah kecil itu bersih, polos, dan damai—sebuah dunia kecil yang membuat segalanya tetap berharga.

Dia mengusap rambut halus anaknya, jari-jarinya menyapu perlahan seolah ingin menyimpan ketenangan itu lebih lama.

Air mata jatuh ke kening anaknya, tapi dia tak mengelapnya. Ia hanya menunduk, membiarkan perasaannya tumpah malam itu.

"Aku harus pergi... aku nggak bisa terus kayak gini," batinnya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

Tapi pikirannya terus berputar, "Aku harus pergi dari rumah ini, rumah yang seperti neraka. Aku harus tinggalkan dia. Aku capek di tekan terus olehnya, aku juga berhak bahagia."

Dia menatap anaknya lagi, rasa sayang dan cinta yang mendalam terpancar dari matanya.

Dengan pelan, dia membungkuk, mencium kening anaknya.

"Mama akan melakukan apa saja untuk kamu, nak. Mama akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Dia terus menangis, tapi ada tekad yang kuat di dalam hatinya, tekad untuk mengubah hidupnya dan anaknya menjadi lebih baik.

Dia duduk diam, dia menikmati kehangatan anaknya yang sedang tidur di pangkuannya. Setelah beberapa saat, dia perlahan-lahan berdiri, membawa anaknya ke tempat tidur dan membaringkannya dengan hati-hati.

Kemudian dia berfikir sejenak lalu berdiri dan berjalan ke arah lemari. Dia membuka laci dan mengeluarkan sebuah tas yang tidak terlalu besar, kemudian dia mulai memasukkan beberapa pakaian dan barang-barang penting lainnya.

Dia tidak tahu berapa lama dia akan pergi, tapi dia harus meninggalkan rumahnya hari ini juga. Dengan tas yang sudah penuh, dia menutup lemari dan menatap sekeliling kamar.

Ia merasa sedih meninggalkan tempat yang telah menjadi rumahnya selama ini, tapi dia tahu bahwa itu adalah keputusan yang tepat.

Dia menarik napas dalam-dalam, mengambil tasnya lalu menggendong anaknya yang masih tertidur dan membuka pintu kamar itu perlahan.

Sesekali dia menatap anaknya dan berkata, "Mama akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik," bisiknya lagi, kali ini dengan suara yang lebih kuat.

Dengan tekad yang baru, dia membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Untung saja sang suami sedang tidak ada di rumah dan entah dia pergi kemana.

Moment ini yang membuatnya dapat bergerak cepat dan meninggalkan rumah tanpa hambatan.

Dia berjalan cepat sambil menggendong putrinya yang masih terlelap. Bayangan tubuh mereka terpantul samar di trotoar basah sisa hujan.

Langkahnya terhenti di bibir zebra cross. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan jalanan sepi.

Tapi belum sempat melangkah...

Chiitt!!

Bunyi ban yang menggesek aspal menghentak udara. Dia terlonjak. Kakinya mundur spontan, dan pelukannya pada sang anak semakin erat.

Sebuah motor sport hitam berhenti hanya beberapa jengkal dari ujung sepatunya. Lampu depannya menyala garang, menyilaukan wajahnya yang pucat.

“Sialan!” Suara keras itu keluar dari pengendara motor yang kini melepas helmnya.

Rambutnya sedikit berantakan, matanya tajam menatapnya dari atas ke bawah. Jaket kulit yang melekat di tubuhnya memantulkan sedikit cahaya dari lampu jalan.

Napasnya masih berat, tapi sorot matanya tak sekadar marah—ada rasa ingin tahu di sana.

Dia mengusap dadanya. Jantungnya seperti hendak meledak.

Tatapannya menyapu wajah lelaki itu, lalu turun ke jaketnya yang penuh emblem, celana jeans sobek, dan sepatu bot yang terlihat sedikit kotor.

Tubuhnya tegang, nalurinya ingin segera pergi.

Namun sebelum sempat melangkah, lelaki itu sudah mendekat.

“Tunggu! Mau ke mana lo?” Suaranya tajam, tapi tak sekeras sebelumnya.

Dia mundur setapak, memeluk anaknya semakin erat. Suaranya bergetar, “Sa–saya mau pe... pergi.”

Lelaki itu mengangkat kedua tangan sedikit, mencoba terlihat tidak mengancam. “Tenang, gue nggak akan macem-macem.” Tatapannya menurun pada anak yang tertidur di pelukannya.

Ada perubahan halus di wajahnya—ketegangan tadi mencair, digantikan rasa penasaran.

Dia masih tertunduk, suaranya pelan tapi tegas. “Terus kamu mau apa? Saya nggak mau diganggu. Mending kamu pergi.”

Lelaki itu menatapnya lekat. Bibirnya perlahan membentuk senyum... entah mengejek, entah tulus, tak bisa ditebak. Justru senyum itu membuatnya makin waspada.

“Lo mau ke mana? Mau gue anter nggak? Ini udah malem, loh. Anak lo udah tidur. Jangan egois.” Suaranya kini lebih tenang, seakan mencoba meredam jarak di antara mereka.

Dia menunduk, lalu menatap anaknya yang tetap pulas di pelukannya. Kata-kata lelaki itu menggantung di kepalanya. Benar juga... tapi siapa dia? Bisa di percaya nggak?

“Maaf, Mas… nggak usah. Saya bisa sendiri,” ucapnya.

Lelaki itu mendongak.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
9 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status