ANMELDENKeadaan kelas siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena AC-nya rusak, tapi karena keberadaan seseorang yang kini sedang bicara di depan kelas. Tapi melihat rekan-rekannya yang lain dengan santai mengikuti kelas, sepertinya hanya Karina yang merasakan suasana ini. Itu semua karena seorang pria yang sedang berdiri di depan kelas sekarang.
“Perkenalkan,” ucap suara itu. “Saya Garda Bratasena. Saya akan menggantikan dosen sebelumnya untuk mata kuliah ini.”
Dosen baru. Dosen killer. Garda Bratasena.
Pria yang malam itu seharusnya hanya jadi kesalahan Karina di balik pintu kamar hotel.
Karina duduk di barisan tengah, mencoba bersembunyi di antara kerumunan mahasiswa yang tampak lebih bersemangat dari biasanya. Semua orang sibuk berbisik tentang dosen baru yang katanya masih muda, berwajah tegas, dan terkenal perfeksionis.
Tentu saja mereka belum tahu sisi lain pria itu, sisi yang Karina lihat dari jarak sedekat itu.
Tangan Karina terasa dingin di atas meja. Ia memegang pen stylus di tangannya seperti orang yang baru belajar menulis, sementara matanya terus berusaha menghindar dari arah depan. Tapi sia-sia. Sekali Garda berbicara, suaranya langsung menembus ruang kelas. Nadanya rendah, namun suaranya dalam, tenang, membuat siapapun refleks memperhatikan.
“Behavioral Analysis,” katanya, memutar spidol di jemari, “Bukan hanya tentang teori. Tapi tentang bagaimana manusia membaca manusia lain.”
Ia menatap sekeliling kelas, perlahan. Tatapannya bergerak dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain. Sampai akhirnya berhenti. Tepat di arah Karina.
“Contohnya,” lanjutnya dengan senyum tipis, “Saat seseorang berusaha terlihat tenang padahal seluruh bahasa tubuhnya berteriak panik.”
Beberapa mahasiswa tertawa kecil, berpikir itu sekadar contoh umum. Tapi Karina tahu persis kalimat itu bukan kebetulan. Ia menunduk cepat-cepat. Ujung jarinya mencengkeram iPad kuat-kuat hingga layarnya menunjukkan garis bias tanda terlalu ditekan. Jantungnya berdetak gila-gilaan. Ia berusaha menatap papan tulis atau ke arah lain, tapi tatapan Garda tetap terasa, seolah menempel di tengkuknya.
Sepanjang lima belas menit pertama, Garda mengajar dengan nada yang terlalu rapi untuk dosen baru. Tidak ada keraguan sedikit pun di setiap kalimatnya. Ia menjelaskan soal microexpression, tentang bagaimana wajah manusia memunculkan sinyal kecil ketika berbohong atau gugup. Karina hampir yakin pria itu sengaja memilih topik itu hari ini.
“...Misalnya,” kata Garda lagi sambil berjalan ke tengah ruangan, “Seseorang yang baru saja melakukan sesuatu yang membuatnya merasa bersalah. Biasanya pupilnya sedikit membesar, napasnya tidak stabil, dan tangannya dingin.”
Tawa kecil kembali terdengar dari mahasiswa lain. Namun Karina tetap menunduk, tapi tiba-tiba mendengar langkah sepatu kulit mendekat. Suara tap tap itu terasa seperti gema di kepalanya. Ia menegakkan punggung, berharap Garda hanya lewat. Tapi suara itu berhenti tepat di samping mejanya.
“Siapa namamu?” Suara itu terdengar datar tapi berat.
Karina mengangkat wajah pelan. Dan langsung menyesalinya. Tatapan Garda dingin, tapi bukan tanpa makna. Ada sesuatu di balik mata gelap itu, campuran pengendalian diri dan penilaian yang sinis.
Karina hampir lupa cara bicara. “Karina, Pak...” suaranya nyaris tak terdengar.
“Karina,” ujar Garda sambil melirik catatan kosong di depannya. “Tampaknya kamu serius sekali menulis. Kalau begitu, bisa kamu jelaskan lagi materi yang saya sampaikan?”
Mata Karina melirik layar iPad-nya yang menampilkan catatan kosong. Beberapa mahasiswa menoleh dan tertawa kecil. Karina ingin menghilang saat itu juga. Ia tahu Garda dengan sengaja mengujinya.
“Saya... um,” katanya gugup. Kepalanya tidak bisa berpikir sama sekali karena sejak tadi pun tidak ada satu pun pembahasan yang menempel di kepalanya. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Ya?” Garda mencondongkan tubuh sedikit, tidak sabar ingin mendengar jawaban Karina. “Atau mungkin sedang sibuk memikirkan hal lain, hm?” Nada suaranya tenang, tapi Karina bisa mendengar makna tersembunyi di baliknya.
Karina menggigit bibir, tak berani menatap lama-lama. Begitu Garda melangkah lagi ke depan kelas, Karina baru bisa bernapas.
Sisa kelas berjalan seperti mimpi buruk. Setiap kali Garda berbicara, Karina merasa seperti sedang diinterogasi. Dan setiap kali matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan pria itu, kenangan semalam seperti muncul kembali. Ingatan seperti gerak-geriknya di kamar hotel, suara napas yang tak seharusnya ia dengar, dan tangan Garda yang sempat menyentuh pipinya dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang kini berdiri di depan kelas dengan jas berwarna gelap dan ekspresi tanpa emosi.
Ketika waktu akhirnya menunjukkan berakhirnya kelas, hampir semua mahasiswa menghela napas lega. Tapi bagi Karina, itu bukan akhir dari siksaan, karena Garda masih berdiri di depan, matanya berkeliling seperti sedang mencari sesuatu. Darahnya berdesir cepat, takut untuk melihat ke arah pria itu.
“Sebelum kalian pergi,” katanya, “saya ingin kalian menulis esai pendek tentang perilaku yang paling sulit kalian kendalikan dalam kehidupan sehari-hari. Dua halaman. Dikumpulkan minggu depan.”
Untunglah. Karina kira pria itu akan kembali menyudutkannya.
Satu per satu mahasiswa keluar dari kelas. Karina berusaha ikut, tapi suara itu menahannya.
“Saudari Karina.”
Langkah si pemilik suara berhenti di depan pintu. Pelan, ia berbalik. Garda berdiri tak jauh, dengan tangan disilangkan di dada. Tatapannya dingin, tapi tidak sekeras di kelas tadi.
“Ya, Pak?”
“Lain kali, fokuslah di kelas. Saya tidak ingin mahasiswa saya terbagi pikirannya pada hal yang tidak relevan.”
Karina menelan ludah. “Baik, Pak. Maaf.”
Garda tak menjawab. Ia hanya memandang beberapa detik lebih lama sebelum berbalik lagi ke meja.
Karina keluar dengan langkah cepat, menahan napas sampai benar-benar keluar dari ruangan. Begitu berada di lorong, ia menempelkan punggungnya ke dinding, menutup mata dan menghembuskan napas yang sedari tadi ditahan.
“Ya Tuhan... kenapa harus dia?” gumamnya pelan. Napasnya berat. Wajahnya panas.
Dari sikapnya, Karina tahu pria itu ingat segalanya, sama seperti dirinya. Tapi entah kenapa Garda memilih berpura-pura tidak tahu dan justru membuatnya makin tersiksa.
Sementara di dalam kelas, Garda berdiri di depan meja, menatap jendela yang mengarah ke taman fakultas.
Pria itu menghela napas panjang, masih tidak percaya kalau wanita dari bar malam itu adalah Karina. Seharusnya ia bisa mengendalikan dirinya jika bukan karena obat yang gadis itu masukan. Kalau sudah begini, urusannya mungkin akan sedikit lebih rumit dari yang ia kira.
Sepertinya takdir sedang senang mempermainkannya.
Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda
Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya
Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me
Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i
Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke
Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b







